Kita beralih ke sini.
Lupakan soal demo. Lupakan soal carut-marutnya negara. Lupakan soal negara yang tidak stabil lagi berdirinya. Lupakan semua itu kita rehat sejenak bersama si tokoh cowok.Ardika Aksara namanya. Lelaki 35 tahun, duda beranak satu yang masih fresh segar bugar baik tubuh maupun wajah. Penampilan manlynya mendukung keseluruhan yang menjadi pelopor duren—duda keren. Tidak itu saja. Nilai plusnya adalah: pengusaha sukses yang melejit di kotanya, karawang.Pertanyaan yang di ajukan seperti ini: perempuan mana yang tidak menolak?Tidak ada! Hanya perempuan bodoh yang bisa menolaknya. Mendengar namanya saja sudah tentu membuat sebagian dari mereka kelonjotan. Apalagi di tatap secara langsung. Bisa ambyar berserakan itu jantung ke tanah.Faktor pendukung yang menjadikan Ardika paling di cari tidak hanya bentuk wajah dan tubuhnya. Tentu jaminan hidup enak seumur hidup selalu menjadi incaran perempuan di luar sana.Sayangnya, kualifikasi yang Ardika ajukan bukan hanya soal mengurusi dirinya namun juga putrinya—Naomi Aksara. Buah cinta pertamanya bersama sang istri yang sangat berkesan. Bagaimana tidak berkesan?Oke, akan kita mundurkan dulu waktunya. Sekitar lima tahun yang lalu? Ah tidak, tapi sepuluh tahun yang lalu.Saat itu, ketika umur Ardika menginjak angka 25, gelar magister untuk kuliah S2-nya usai. Perayaan pesta besar di gelar. Dengan maksud berbagi. Karena—yeah—tidak di sombongkan lagi, keluarga keturunan sultan yang membuang uang seratus juga saja layaknya uang recehan. Tidak mengejutkan lagi.25 tahun bagi sebagian orang memiliki kesan tersendiri. Selayaknya umur 17 yang menceritakan banyak kenangan untuk di tuang. Di tuliskan lewat sebuah buku lantas di cetak menjadi novel. Sejarah perjalanan hidup akan di baca ribuan orang. Tergantung dari sudut pandang mana akan melihat.Sama halnya dengan Ardika. Di depan semua orang, pasang mata pengusaha dari kolega papanya yang tidak sedikit dan kawan-kawan arisan mamanya—kumpulan emak-emak sosialita. Menatap penuh decak kagum, mengelukan namanya dan berbisik merdu: 'Jeng, anakmu sama anakku saja, ya? Kita, kan satu strata.' 'Aduh jeng! Aku juga mau Ardika sama anakku. Lulusan luar negeri, bisnis juga. Perusahaan kita bakal maju berkembang di tangan mereka.'Kurang lebihnya seperti itu yang tetap Ardika acuhkan dan menyampaikan salam terima kasih atas wujud kehadiran dan penyelesaian kuliahnya. Sampai cuap-cuap terima kasih selesai, obrolan yang mengangkat namanya belum juga usai. Ardika abaikan. Menerobos keramaian, mengambil minum sebelum tungkainya terhenti akan sebuah suara. Yang menarik bibirnya ke kanan dan ke kiri serta mata menyipit sempurna."Aku bangga sama kamu."Sekedar kalimat begitu saja Ardika baper. Lebay sekali, kan. 25 tahun bisa terbang ke awang-awang hanya karena sebuah kata-kata sepele.Yang Ardika balikkan tubuhnya. Menubruk tubuh mungil dalam dekapannya, membaui aromanya yang khas seraya berbisik, "Kamu datang. Aku kangen banget."Ayana Kalias namanya. Perempuan seumuran Ardika yang menjadi tambatan hatinya. Yang Ardika jatuhkan pilihannya tepat di perempuan berdarah jawa-sunda. Yang Ardika percayakan masa depannya bersama Ayana selama lima tahun ini. Yang Ardika jaga hatinya rapat-rapat dari perempuan lain hanya untuk Ayana."Kamu berlebihan," bisiknya menjawab, "Aku harus kabur dulu dari jam penerbangan ke Lombok demi ketemu kamu."Tentu sebagai lelaki Ardika merasa bangga. Di perjuangkan sebegini dalamnya. Bagi Ardika yang nol besar soal cinta. Bagi Ardika yang terlalu rumit mendefinisikan arti cinta. Dan bagi Ardika yang baru pertama kalinya jatuh cinta. Hanya kepada Ayana seorang."Aku kenalin sama mama papa. Mereka sering tanyain kamu.""Oh ya?" Ayana ulangi. Rasanya belum sepenuhnya percaya."Mereka anggap aku belok cuma karena ngumpetin kamu. Padahal nyari waktu yang benar-benar tepat ya sekarang ini.""Bukan karena main sama cewek lain?" Ayana meringis menahan tawa."Hah?!"Eksperesi wajah Ardika sungguh menggemaskan. Mulut yang menganga, dahi berkerut-kerut dan alis tebalnya yang menyatu seperti ulat bulu. Khilaf, Ayana kecup rahang kekasihnya."Tiga bulan nggak ketemu, kamu makin ganteng saja."Shit! Ardika paling lemah jika sudah di beginikan oleh Ayana. Perempuan yang dulunya sangat polos—sampai Ardika polosi pun—ratunya memporandakan hatinya. Dadanya dugun-dugun disko. Tengkuknya merinding maksimal. Gewlaaa.***"Jadi kapan mau nikah?"Di todong pertanyaan macam itu, pasangan Ardika-Ayana melongo. Terutama Ayana yang hampir menjatuhkan rahangnya. Ya maksudnya ... bukan ingin menolak. Tapi, apakah tidak terlalu cepat? Ini pertemuan pertama mereka. Pertama banget dan sudah di tanyai perihal halalnya hubungan keduanya."Papa sudah nggak sabar mau nimang cucu."Apa lagi ini?Pria paruh baya yang mengenakan jas mewah dengan kaca mata bertengger di hidungnya Ayana tamatkan. Kerutan di wajahnya tidak tersamarkan meski kesan tampan masih tercetak jelas. Senyumnya menawan—ah ini mirip milik Ardika."Pa ..." seru Ardika protes."Mama nggak mau, ya kamu makin bikin rumor yang iya-iya."Mamanya tak kalah cantik. Di usia senjanya, wanita bernama Mija Aksara sungguh pandai dalam merawat diri."Jangan buat Ayana bingung."Pasangan Aksara itu tertawa. Membuat Ayana merasa di terima. Yang sejak awal menjadi ketakutannya, bisa Ayana tebas."Bulan depan kalau gitu. No debat, Ar. Jangan bantah mama!"Sudah. Kalau perempuan yang sudah bersuara, memang tak bisa di tentang.***Orang-orang mengatakan, 'yang terlalu terburu dalam berbuka, biasanya akan cepat berakhirnya.'Awalnya, Ardika tidak ingin memercayai hal itu. Yang sayangnya menyapa rumah tangganya. Setelah Naomi lahir, di umur belum genap satu tahun, kembali Ayana geluti aktivitasnya. Pekerjaannya sebagai pramugari tak bisa di tinggalkan sedang Ardika merasa mampu luar dalam sekedar memenuhi kebutuhan material.Uang, mobil, rumah bahkan vila Ardika rengkuh dalam satu waktu. Tidak itu saja, aset-aset berharga dan mahal semuanya dirinya borong. Masuk ke dalam tabungan masa depannya nanti. Bisnis sebagai penerus satu-satunya waris Aksara juga berjalan lancar. Semuanya sukses secara financial.Peliknya rumah tangga dalam pandangan Aksara hanya sekedar salam paham, selisih pendapat dan adu argumen yang bisa selesai dalam satu tarikan napas maaf. Sayangnya, kondisi rumah tangga yang dirinya bina bersama Ayana tidak semudah milik orang lain.Sejak kembali bekerja, kepulangan Ayana bukan hal yang bisa Ardika harapkan. Perempuan itu pulang sekedar untuk berpantas saja jika masih memiliki rumah. Menengok Omi yang dalam pandangannya: 'Putriku tumbuh dengan baik.' 'Gigi kamu sudah tumbuh sayang.' 'Omi cantik.' Dan lain sebagainya yang membuat Ardika muak.Tapi, semuak apapun Ardika pada keadaan rumah tangganya yang tidak sehat, tidak pernah terbersit niatan untuk berpaling. Apalagi mencari kehangatan lain untuk ranjangnya. Ardika tahan sampai mata kepalanya melihat fakta."Oh." Vokalnya sudah sangat serak ketika memergoki pemandangan di hadapannya."Aku bisa jelasin.""Cukup!" sentaknya memangkas. Bagi Ardika yang tidak paham bagaimana cinta yang semestinya berjalan, mengambil jalan untuk mengakhiri jalannya. "Kita sampai sini saja. Tidak perlu memperpanjang masalah. Naomi, aku pastikan jatuh sepenuhnya di aku."Rontaan Ayana lewat teriakan tidak Ardika pedulikan. Sudah terlanjur kecewa pun sakit hati, Ardika pikir ini yang terbaik. Sampai suara decitan ban yang bergesekan dengan aspal, pekikan terkejut dan rintihan bisikan, Ardika tulikan semua fungsi tubuhnya."Maaf. Maaf. Aku egois."Hari itu awal dan akhir Ardika merasa kehilangan secara bersamaan dengan cintanya. Hari itu, cara Ardika melepaskan kebahagiaannya meski tidak ingin. Dan hari itu coretan untuk buku lembaran barunya bahwa terburu dalam bertindak, membuahkan hasil yang tidak setimpal.Ardika percayai itu.Yang sangat bersemangat justru Naomi. Pagi-pagi sekali sebelum matahari menyinari bumi Karawang, racauannya perkara mandi dan pakaian yang ingin di kenakan memekakkan rungu Pulung. Tapi mau bagaimana pun, Pulung hanyalah pengasuh yang bertugas dan di gaji mengikuti keinginan sang tuan putri. Jadi, ketelatenan yang Pulung berikan, selembut mungkin dalam bertindak, sesering yang bisa bibirnya rekahkah senyum, ia lakukan. Dengan harapan, semua rejeki yang sedang di carinya berkah. Kembali mengingat topik keluarga yang mendasari motif semangatnya."Mama harus pakai baju yang sama kaya Omi."Mulai sekarang, pendengaran Pulung harus tebal. Dengan sengaja atau tidak panggilan itu Naomi serukan. Enak tidak enak, Pulung bawa santuy saja. Dasarnya, bocah selalu nggak mau di lawan. Like woman yang merasa benar terus. "Duhh, nggak punya Omi."Wajah cantiknya yang sudah Pulung poles dengan bedak bayi cemberut. Bukannya sangar malah lucu. Yang Pulung towel-towel pelan."Cantik-cantik ngambekan, ya
Pagi itu, datang kurir berseragam orange khas Indonesia. Jarum pendek belum tepat menyentuh angka enam tapi lelaki berkisar umur 45 tahun membunyikan bel di kediaman Ardika. Yang langsung di buka si empunya."Surat, pak," katanya ramah.Ardika terima. Melihat nama yang tertera di sana: Pulung."Terima kasih pak." Setelah Ardika torehkan tanda terima dan bergegas masuk kembali.Bersamaan dengan itu, Pulung melewatinya. Dengan pakaian tidurnya yang tidak mencolok tapi cukup mampu membuat Ardika menelan ludah. Setelah sekian tahun menduda, rasanya cukup aneh mendapati pemandangan lain di dalam rumahnya.Bermain dengan para wanita di luar sana bukan hal sulit untuk Ardika. Tapi Pulung?Kepala Ardika pening dadakan. Kedua matanya terpejam sekedar meredam degup jantungnya yang bertalu. Dalam batinnya bertanya: perasaan apa ini. Jika hanya sesaat yang dirinya rasakan karena napsu, doa dalam hatinya cukup kuatkan imannya saja. Tidak etis jika sampai tindakannya kepada Pulung melampaui batas.
Hal tercepat yang terjadi di dunia?Ada yang tahu?Begini, kamu tidak sadar kapan waktu tepatnya. Kamu juga tidak tahu kenapa bisa terjadi?Masih belum tahu jawabannya?Tck!Jatuh cinta.Itulah hal tercepat yang terjadi di dunia. Kamu tidak bisa memprediksi kapan tepatnya bisa terjadi pun kenapa bisa terjadi bahkan dengan siapa menjatuhkan pilihannya.Itu yang sedang Ardika rasakan saat ini. Setelah satu hari penuh otaknya diisi dengan Pulung, pulang-pulang justru jawaban ini yang dirinya temukan. Tapi apakah pantas?Ardika Aksara seorang anak tunggal merasakan jatuh cinta yang menurutnya waktu berjalan cepat. Dan sebagai seorang anak tunggal yang kesepian, Ardika tahu bahagianya jatuh cinta. Seperti makna: Siapa cepat dapat. Siapa tepat selamat.Tapi sayangnya, setiap jalan memiliki dua arah untuk berlawanan. Maka ada jatuh cinta, ada juga kesakitan lainnya. Jika di setiap pertemuan menghasilkan buih perpisahan di akhir. Maka pernikahan juga memuarakan perceraian. Setelah tidak lagi
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji suci yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda tangani. Pengucapan janji sakral sehidup semati yang sayang terhempas oleh satu surat cerai.Pulung tersenyum miris. Dunia ini memang kejam dan menjengkelkan. Permainan takdir yang berubah haluan secara mendadak hanya bisa Pulung katakan, kita bisa apa? Selain mengikuti derasnya arus, melawan bukan kehendak kita. Yang bisa kita lakukan hanya berjuang sampai akhir hayat.Namun malam ini—dirinya di lamar, kan? Meski tidak secara resmi atau romantis pada umumnya pasangan menyatakan cinta. Ardika Aksara meminta Pulung untuk menjadi ibu sambung Naomi. Yang tanpa Pulung tutupi eksistensi kekehannya membuat lelaki 35 tahun itu mengerutkan dahinya terang-terangan. Pasti heran."Perceraia
Saat hujan turun, orang bisa mengukur besar cinta yang mereka miliki. Bahkan ketika berbagi payung, pandangan manusia menjadi berbeda-beda dengan sudut lain. Mereka mampu melihat jelas betapa besar cinta yang di milikinya. Demikianlah cinta dan hujan saling terhubung satu sama lain.Hujan semalam mengalirkan kenangan yang mendadak berputar dalam pikiran Pulung. Sampai berat kedua matanya dan tertidur pulas di sofa balkon. Bangun-bangun sudah ada selimut hangat melingkupi tubuhnya.Di sambut kekuningan mentari yang belum terik, mata Pulung bercahaya terkena sinarnya. Suara Naomi di dalam rumah terdengar berdebat dengan papanya. Bocah lima tahun itu mulai ngeyel—begitu Ardika mengeluh. Tapi hebatnya, duda keren itu tidak marah. Malahan katanya, 'Saya suka Omi yang rewel ketimbang pendiam. Makasih buat teteh.'Ujungnya itu yang membuat Pulung tidak nyaman. Karena Omi berubah sejak kehadiran dirinya. Karena Omi terus-terusan memanggilnya mama seperti sekarang ini contohnya."Mama kenapa?"
Selalu ada sudut lain yang harus di pandang. Begitu juga dengan perjalanan hidup yang mesti di telusuri untuk bisa di berikan hujatan. Jadi, manusia tidak hanya berucap saja pada apa yang mendasari caciannya.Kebahagiaan itu di ciptakan. Semua orang juga tahu itu. Meski katanya tidak akan mati dan abadi, tapi tetap saja, tanpa menjaga semua itu akan luruh.Dan dua kata yang ingin Ayana helakan dalam embusan napasnya adalah hampir dan mampir. Itu untuk Ardika Aksara yang baru saja hengkang dari tempat duduknya. Meringis pilu, nyatanya Ayana sadar jika dirinya bahkan namanya sudah terhapus lama dari hidup Ardika. Faktanya, lelaki itu pergi tanpa mau melihat wajahnya. Tidak sama seperti dulu ketika kebersamaan rajutan cinta terjalin.Ayana sadar diri. Maka untuk dua kata di atas yang tepat hanyalah pernah bersama meski tidak lama mampir. Sudah begitu saja. Karena semua itu bermula dari dirinya yang memberikan kekecewaan pada realita di hidup Ardika. Tapi Ayana tidak kalut mengingat saat-
Sejak dulu Maharaja Askara selalu berulah.Tidak tahu saja kenapa lelaki 30 tahun itu berbuat demikian. Yang terlihat di mata orang lain hanyalah sikapnya yang negatif tidak patut di contoh. Kecuali ketampanan wajahnya yang menjadi pendukung.Kali ini pun ada ulah yang sudah Maha perbuat. Membuat geger seisi lantai di apartemen mewahnya yang tengah pulas tertidur. Jakarta di waktu pagi dan musim hujan serta pandemi Covid-19 yang mendukung membuat sebagian pegawai melakukan tugasnya secara daring. Segala aktivitas dilakukan di dalam rumah atau bekennya work from home."Ya terus?" Maha mainkan kuku-kuku jarinya tanpa mengindahkan tangisan perempuan di depannya.Wajahnya yang tampan tak mengusik sebagian penghuni apartemen. Di perhatikan begitu pun Maha tenang dan santai sekali."Nikahi aku lah!"Nikah embahmu! Maha mendengus. Memalingkan wajah hendak menutup pintu tapi tertahan."Kamu jangan seenak jidat gini dong! Masa mau enaknya doang giliran kebobolan langsung ngacir."Terus salah g
Usai berseteru dengan papanya, Maha putuskan untuk menggali lebih dalam nyalinya.Jadi, setelah mendeklarasi dirinya yang tahan banting akan kemampuan dalam bertahan, Maha jejakkan kedua tungkainya di sini. Di bangunan megah yang cukup membuatnya tersenyum miring, berdecak kagum tapi raut mengejek tak di tutupi.Beberapa jam yang lalu papanya berdalih begini:"Papa juga bertahan. Belajar menjadi orangtua adil untuk kamu dan kakakmu." Hei! Siapa yang percaya? Maha saja membalas dengan dengkusan. "Papa serius Maha.""Aku pun. Di mana mama?"Dan papanya selalu mengalihkan topik. "Selama ini kamu pasti beranggapan papa kejam. Orangtua tunggal yang tidak berperasaan membiarkan kamu bekerja keras sendiri. Tapi papa nggak punya pilihan. Cuma satu yang harus papa lakukan ketika rasa itu muncul: menjaga kamu tapi kalah dalam berperang.""Ayolah pa. Ini bukan perang dunia III yang berlandaskan ketidakharmonisan orangtua dan anak.""Itu faktanya. Ada takdir dan nasib yang berjalan untuk masing-