Pernikahan adalah upacara pengikatan janji suci yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda tangani. Pengucapan janji sakral sehidup semati yang sayang terhempas oleh satu surat cerai.Pulung tersenyum miris. Dunia ini memang kejam dan menjengkelkan. Permainan takdir yang berubah haluan secara mendadak hanya bisa Pulung katakan, kita bisa apa? Selain mengikuti derasnya arus, melawan bukan kehendak kita. Yang bisa kita lakukan hanya berjuang sampai akhir hayat.Namun malam ini—dirinya di lamar, kan? Meski tidak secara resmi atau romantis pada umumnya pasangan menyatakan cinta. Ardika Aksara meminta Pulung untuk menjadi ibu sambung Naomi. Yang tanpa Pulung tutupi eksistensi kekehannya membuat lelaki 35 tahun itu mengerutkan dahinya terang-terangan. Pasti heran."Perceraia
Saat hujan turun, orang bisa mengukur besar cinta yang mereka miliki. Bahkan ketika berbagi payung, pandangan manusia menjadi berbeda-beda dengan sudut lain. Mereka mampu melihat jelas betapa besar cinta yang di milikinya. Demikianlah cinta dan hujan saling terhubung satu sama lain.Hujan semalam mengalirkan kenangan yang mendadak berputar dalam pikiran Pulung. Sampai berat kedua matanya dan tertidur pulas di sofa balkon. Bangun-bangun sudah ada selimut hangat melingkupi tubuhnya.Di sambut kekuningan mentari yang belum terik, mata Pulung bercahaya terkena sinarnya. Suara Naomi di dalam rumah terdengar berdebat dengan papanya. Bocah lima tahun itu mulai ngeyel—begitu Ardika mengeluh. Tapi hebatnya, duda keren itu tidak marah. Malahan katanya, 'Saya suka Omi yang rewel ketimbang pendiam. Makasih buat teteh.'Ujungnya itu yang membuat Pulung tidak nyaman. Karena Omi berubah sejak kehadiran dirinya. Karena Omi terus-terusan memanggilnya mama seperti sekarang ini contohnya."Mama kenapa?"
Selalu ada sudut lain yang harus di pandang. Begitu juga dengan perjalanan hidup yang mesti di telusuri untuk bisa di berikan hujatan. Jadi, manusia tidak hanya berucap saja pada apa yang mendasari caciannya.Kebahagiaan itu di ciptakan. Semua orang juga tahu itu. Meski katanya tidak akan mati dan abadi, tapi tetap saja, tanpa menjaga semua itu akan luruh.Dan dua kata yang ingin Ayana helakan dalam embusan napasnya adalah hampir dan mampir. Itu untuk Ardika Aksara yang baru saja hengkang dari tempat duduknya. Meringis pilu, nyatanya Ayana sadar jika dirinya bahkan namanya sudah terhapus lama dari hidup Ardika. Faktanya, lelaki itu pergi tanpa mau melihat wajahnya. Tidak sama seperti dulu ketika kebersamaan rajutan cinta terjalin.Ayana sadar diri. Maka untuk dua kata di atas yang tepat hanyalah pernah bersama meski tidak lama mampir. Sudah begitu saja. Karena semua itu bermula dari dirinya yang memberikan kekecewaan pada realita di hidup Ardika. Tapi Ayana tidak kalut mengingat saat-
Sejak dulu Maharaja Askara selalu berulah.Tidak tahu saja kenapa lelaki 30 tahun itu berbuat demikian. Yang terlihat di mata orang lain hanyalah sikapnya yang negatif tidak patut di contoh. Kecuali ketampanan wajahnya yang menjadi pendukung.Kali ini pun ada ulah yang sudah Maha perbuat. Membuat geger seisi lantai di apartemen mewahnya yang tengah pulas tertidur. Jakarta di waktu pagi dan musim hujan serta pandemi Covid-19 yang mendukung membuat sebagian pegawai melakukan tugasnya secara daring. Segala aktivitas dilakukan di dalam rumah atau bekennya work from home."Ya terus?" Maha mainkan kuku-kuku jarinya tanpa mengindahkan tangisan perempuan di depannya.Wajahnya yang tampan tak mengusik sebagian penghuni apartemen. Di perhatikan begitu pun Maha tenang dan santai sekali."Nikahi aku lah!"Nikah embahmu! Maha mendengus. Memalingkan wajah hendak menutup pintu tapi tertahan."Kamu jangan seenak jidat gini dong! Masa mau enaknya doang giliran kebobolan langsung ngacir."Terus salah g
Usai berseteru dengan papanya, Maha putuskan untuk menggali lebih dalam nyalinya.Jadi, setelah mendeklarasi dirinya yang tahan banting akan kemampuan dalam bertahan, Maha jejakkan kedua tungkainya di sini. Di bangunan megah yang cukup membuatnya tersenyum miring, berdecak kagum tapi raut mengejek tak di tutupi.Beberapa jam yang lalu papanya berdalih begini:"Papa juga bertahan. Belajar menjadi orangtua adil untuk kamu dan kakakmu." Hei! Siapa yang percaya? Maha saja membalas dengan dengkusan. "Papa serius Maha.""Aku pun. Di mana mama?"Dan papanya selalu mengalihkan topik. "Selama ini kamu pasti beranggapan papa kejam. Orangtua tunggal yang tidak berperasaan membiarkan kamu bekerja keras sendiri. Tapi papa nggak punya pilihan. Cuma satu yang harus papa lakukan ketika rasa itu muncul: menjaga kamu tapi kalah dalam berperang.""Ayolah pa. Ini bukan perang dunia III yang berlandaskan ketidakharmonisan orangtua dan anak.""Itu faktanya. Ada takdir dan nasib yang berjalan untuk masing-
Karena pekatnya kopi lebih kental dari beningnya gula. Tidak ada kisah yang tertuang indah di dalamnya. Pun dengan gula dan kopi yang selalu di selaraskan. Faktanya, pahit yang tertinggal—sebanyak apapun takaran gulanya—menjadi cita rasa khas kopi. Sama halnya dengan Pulung yang mencoba menerima kenyataan. Menjadi janda di usia muda, pada pernikahannya yang genap satu tahun. Pulung memiliki prinsip enggan meratapi nasibnya. Memang apa salahnya dengan janda?Masyarakat menilai itu tabu. Padahal hanya pilihan itu yang di jadikan jalan akhirnya. Memang, perceraian bukan satu-satunya solusi terbaik selain meninggalkan trauma. Tapi Pulung bukan perempuan drama yang suka memohon untuk di pertahankan. Ketika suaminya memilih pergi, maka Pulung akan lepaskan. Tidak peduli sebesar apa rasa penasarannya.Kini, setelah mendapat penjelasan dari Ardika, Pulung paham kenapa pernikahannya berakhir. Ekonomi hanya alasan. Yang memukul harga dirinya adalah kesetaraan Pulung yang tidak sepadan dengan k
“Papa serius?” Naomi heboh. Ardika mengangguk. “Nggak bohong, kan?” Ardika mencebik kesal. “Nggak boleh marah sama anaknya.”Matilah. Anaknya semakin di depan saja soal omongan. “Papa serius Omi.” Bersorak girang. Anggukan Ardika tidak lebih jelas dari suaranya. Dan begitu saja langsung hengkang yang sejak tadi gelibet di kamar Ardika.“Omi mau es krim.”“Lainnya.”“Es krim Papa.”“Pakai syarat.”“Apa?” Matanya mengerjap lucu. Ardika terkekeh.“Belajar narinya lebih giat lagi.”“Oke.”Sudah begitu saja? Napas Ardika berembus kesal. Anaknya itu akrobat dari mana ketika jebrol model begitu. Seingatnya dulu gaya bercintanya dengan Ayana biasa saja. Tidak pakai model yang kekinian. Penting jadi. Berat sekali. Ardika jadi teringat zaman mencintai Ayana dulu. Tidak mudah karena terpisah jarak. Waktu bertemu juga terbatas. Tentu Ardika terus-terusan menyatakan cinta. Sebelum terlambat dan berakhir dengan kekecewaan.Tapi, manusia memang banyak berharapnya. Ardika tidak kecewa di awal melai
Maha pernah di tanyai perihal impian. Dan yang menjawab secara detail hanya wajahnya yang datar. Pikirnya, di umurnya yang sudah matang—30 tahun—tidak muluk-muluk tentang impian. Cukup menjadi bahagia versi dirinya sudah lebih dari cukup.Tapi ketika kedua kakinya menapaki aula hotel yang megah. Tamu undangan terbatas. Kedua matanya kosong. Pancaran wajahnya redup. Maha tahu, dirinya tidak baik-baik saja.Pagi ini, di sambut gerimis awet mengguyur Jakarta. Dan menempuh jarak ke karawang, Maha butuh ruangan bernapas. Dunia tidak seadil ini untuk perjalanan hidupnya. Terlahir hanya dengan papanya tanpa tahu siapa mamanya. Seperti apa rupanya. Bagaimana hangatnya pelukan mama. Senangnya di sambut, di beri ucapan, di puji karena berhasil dan menikmati masakan tangan mamanya. Tidak sekali pun Maha dapatkan.Begitu dewasa, melemparkan kesakitannya, Maha badung. Mabuk, mencari penghangat ranjang, membawa wanita mana pun untuk bisa dirinya lampiaskan kebejatannya. Sekarang Maha tahu maksud
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da