Bab 1. Ma, adek lapar.
"Ma, adek lapar!" rengek si bungsuku, Nayla. Hatiku begitu pedih mendengar rengekannya. Huuffftt. Kuhela napas yang begitu sesak menghimpit rongga dada. "Iya, Nak, sebentar ya, mama masak sayur dulu," sahutku lirih. Dia hanya mengangguk seraya tersenyum ceria, lalu bangkit menuju keluar untuk melanjutkan bermain bersama teman-temannya. Aku segera beranjak menuju dapur untuk memasak air kuah sayur bening daun katuk yang akan kupetik dari kebun belakang rumah. Satu ikat daun katuk telah berada ditanganku, kutaruh diatas dahan pohon mangga yang bercabang, aku mencabut rumput-rumput yang telah tumbuh disamping rumah, karena kesibukanku dalam bekerja, rumah pun tak terurus. Aku memandang berkeliling rumput telah memenuhi kebun belakang, seandainya aku punya uang, aku beli obat semprot untuk membasmi rumput. Jangankan untuk membeli obat yang harga ratusan ribu, untuk membeli masako yang harganya lima ratus perak aja tak mampu! Aku hanya mampu menarik napas perlahan, sembari mengusap dada yang terasa nyeri. Aku berjongkok kembali mencabut rumput-rumput, air mataku meleleh, hatiku benar-benar terluka dengan semua kenyataan yang kuhadapi. 'Ya Allah ...' Hanya itu yang mampu keluar dari bibirku, sesekali aku menyeka air bening yang terus mengalir dari kedua netraku. Wajahku yang mungkin terlihat sayu. Saat seperti ini yang membuatku teringat akan ibundaku yang telah tiada, ketika Nayla berusia delapan bulan, ibundaku menghembuskan napas terakhir, karena menderita penyakit stroke selama empat tahun. 'Bu, Suci kangen,' Aku tersedu-sedu seorang diri. Namun jemari lentik ini tetap bekerja mencabut rumput hingga bersih. Bapak yang kini bekerja di rumah saudaranya di Lampung Barat, beliau membantu pamanku memetik kopi. Aku sebatang kara, hanya memiliki suami dan ketiga buah hatiku. Astagfirullah! Aku tersentak kaget, dan segera tersadar dari lamunanku. Dengan tergesa aku masuk mengambil mangkuk dan memetik tangkai katu dari batangnya. Setelah mencucinya, air untuk memasak sayur ternyata telah mendidih dan tersisa separuhnya, aku tertegun, ternyata aku begitu lama ya berada di belakang rumah mencabut rumput. Namun, saat aku mencari bumbu-bumbu penyedap masakan, semua telah habis. Lalu aku meraih toples tempat gula putih, nahasnya itupun habis. 'Ya Allah, bagaimana ini? Semua habis, uang pun habis,' Aku membatin, tak urung meleleh air mataku tanpa bisa dibendung lagi. Kuambil ponsel diatas meja, aku mencoba untuk mencari pinjaman, biarlah meskipun berbunga yang penting anak-anak bisa makan untuk dua hari ke depan, sambil menunggu bayaran dari pekerjaan kami. Tetapi aku masih menimbang dan berpikir, dapat atau tidak untuk bayarnya? Aku ragu untuk menghubungi orang yang biasa memberikan pinjaman berbunga. Antara pinjam atau tidak. Kutaruh kembali benda pipih itu, aku takut nanti tak sanggup membayarnya. Untuk sekian lamanya aku hanya termenung, dengan hati pedih seolah tersayat sembilu, aku berpikir keras. Dari mana bisa mendapatkan uang untuk sekedar membeli beras untuk makan anak-anakku. "Ma, Adek lapel," tiba-tiba Nayla telah berdiri di belakangku, seketika aku menoleh kepadanya, melihat wajahnya yang murung, tak urung membuatku semakin hancur. "Sabar ya sayang, belum mateng airnya," dalihku sembari memeluknya. "Ya udah, Adek main lagi ya Ma!" ujarnya sambil berdiri dan melangkah keluar dengan kaki diseret. 'Ohhh, Ya Allah, cobaan apa yang Engkau tetapkan kepada kami ini' Aku kembali berjalan ke arah dapur, dengan air mata yang terus membanjiri pipiku. Tubuhku tiba-tiba luruh, lututku tak mampu menopang beban tubuh yang seolah begitu berat. Daya pikir pun seolah buntu dan tak berfungsi. Yang ada dalam hatiku hanya ada duka. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku tentang pinjaman berbunga. Biarlah urusan bayar nanti dapat dari mana, yang terpenting saat ini anakku tak kelaparan. Kemudian tanpa berpikir dua kali aku bangkit dan berlari mencari benda pipih berwarna hitam untuk mencari pinjaman. Setelah menemukannya, aku melangkah menuju teras. Kubuka aplikasi berwarna hijau dan mencari kontak yang biasa memberikan sejumlah pinjaman berbunga. [Tan, maaf aku mau pinjam uang 100.000.] Aku segera mengirim pesan. Ting! Suara terkirim dan langsung centang biru. Kebetulan tante Loly sedang online. [Aduh Mbak, maaf, bukan nggak boleh nih, tapi kebetulan sedang kosong, mungkin lusa Mbak adanya.] balasan tante Loly [Oh iya ,Tan nggak apa-apa kalo belum ada.] [Ya maaf ya Mbak.] "Gimana ini?" Aku kembali membatin. Lalu kucoba mencari kontak orang yang masih ada sisa bayaran kami. [Assalamualaikum, Mbak, maaf saya mau minta sisa bayaran kemarin.] Kulihat status online, sedang mengetik. [Sabar Mbak aku belum dapat uang. Kalo sudah ada pasti aku bayar kok, gak harus di tagih terus, bosen tau bacanya!] balasan pesan itu sangat menyakitkan. Aku menghela napas panjang saat membaca balasan tersebut. Aku hanya mengusap dada yang terasa nyeri. Menagih upah atas tenaga yang telah diberikan, tetapi rasanya seperti mengemis. [Ini juga sudah sabar Mbak, janji diawal akan Mbak sama Mas-nya bayar kalau sudah terjual akan dibayar lunas] [Tapi mengapa sampai sekarang belum ada tanggapan sama sekali, bahkan datang ke rumah saya pun tidak!] ku kirim kembali balasanku. [Mbak, saya juga belum punya uang, mobil kemarin belum lunas, masih di DP sama yang beli, untuk bayar sampean. Dan saya pun berhutang lho Mbak, untuk bayar Mbak kemarin, jadi tolong deh sabar dikit!] [Nanti pasti saya bayar kok, jangan takut!] pesannya lagi. Pesan itu hanya aku lihat, tanpa berniat membalasnya. Aku termenung sembari berdiri diambang pintu. Anganku jauh menerawang, hingga terbersit pemikiran dangkal yang sempat melintas di pikiranku. Ingin rasanya aku mengakhiri semua ini, membawa serta anak dan suamiku untuk menyusul ibuku yang telah tenang di alam sana. Tiba-tiba di telingaku terngiang suara halus almarhum ibu dan mertuaku, agar aku bersabar menghadapi semua ujian dan cobaan ini. 'Astagfirrullah, apa yang aku pikirkan ini? Ampuni hamba-Mu ini Ya Allah," lirihku dalam hati ketika aku hampir terbujuk rayuan syetan. 'Astagfirullah! Astaghfirullah!' Berulang kali aku terlihat mengucap istighfar dan mengusap wajahku. 'Berilah sedikit rezeki-mu Ya Allah,' Aku berdoa selalu dalam hati agar dimudahkan segala urusan dan diberikan rezeki untuk keluarganya. Lamunanku buyar ketika Nayla mengagetkanku. "Ma, adek lapar sudah belum masaknya?" Kembali anakku memelas hingga hati ini terasa bagaikan ditikam pisau yang sangat tajam.2. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk NasiAdek pengen pelmen Part 2 Penulis : Lusia Sudarti *** "Ma, adek lapar sudah belum masaknya?" tanya anakku yang seketika langsung membuyarkan lamunan ini. "Iya, sayang, sebentar lagi ya," bujukku sambil kuusap pucuk kepalanya. Kulihat wajahnya sedikit pucat, mungkin terlalu lapar. "Kasihan sekali kamu, nak," sekuat tenaga kutahan air mata yang hampir lolos. "Adek duduk disini ya," pintaku kepadanya, aku melangkah menuju kesamping bermaksud untuk mengambil kelapa. "Iya, Ma," jawabnya, lalu duduk dikursi teras samping. "Mama mau kemana?" tanyanya saat melihat aku bangkit. "Enggak kemana-mana sayang, Mama mau ngupas kelapa," jawabku sambil mengambil sebuah kelapa yang berada dibawah pohonnya yang terletak disamping rumah. "Adek mau airnya Ma, boleh?" tanyanya seraya tersenyum cerah. 'Ahh sayang, senyummu itu semangat buat Mama," aku membatin. "Iya, sayang tapi apa masih manis, kan kelapanya hampir tua," jelasku. "Enggak apa-apa, Ma,
3. SEMANGKUK KELAPA PARUT UNTUK LAUK NASI Part 3 Dikasih Uang Tante Cantik Penulis : Lusia Sudarti *** Suamiku terdiam, lalu menghela Napas. "Ya udah, sabar aja. Papa yakin Allah itu tidak tidur, semoga hari Esok lebih baik dari hari ini," tuturnya. "Aamiiin," jawabku. Namaku Suci, usia 37 tahun dan suami bernama Imam, usia 41 tahun. Kami dikaruniai 3 orang anak. 1 laki-laki dan 2 perempuan. Si sulung bernama Maharani dipanggil Rani, yang ke 2 Mahendra di panggil Indra dan yang bungsu, Nayla Sukma. Kami dari keluarga kurang mampu, meskipun memiliki pekerjaan, tetapi kurang mencukupi. Suamiku bekerja sebagai mekanik freelance yang masih belajar. Dan kadang aku yang jadi helpernya karena tak mampu untuk menggaji orang. Di sela-sela waktu, aku bekerja sambil mengasuh anak, hingga suatu hari aku memutuskan untuk mencoba belajar menulis novel. Karena masih baru pertama kali terjun ke bidang penulisan masih banyak yang acak-acakan. Sebut saja aku penulis receh. Aku juga bukan ana
4. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Aku KETAHUAN CEMBURU Part 4 Penulis : Lusia Sudarti *** Aku pun masih kesal sama kelakuannya. Ku hirup nafas dalam-dalam untuk menghalau emosi, Astagfirrullohal 'adzim ada-ada aja," lirihku dalam hati. "Kenapa Mam kok narik nafas gitu?" suara suamiku mengejutkan. "Pake kenapa! Emang nggak denger tadi si Janda bilang apa?" ketusku. "He...he...he... ada yang cemburu nih," ledeknya. Pipiku menghangat sedikit malu, ketahuan cemburu. "Iissh! Siapa yang cemburu? Amit-amit deh," elakku sambil membuang muka takut diledek lagi. "Tuh, kan wajah Mama merah kayak kepiting goreng," lanjutnya ngeledekku seraya di tangkup pipiku dengan kedua tangannya. Alis yang sebelah dinaikkan sambil menatap kedalam mataku. Ah, tatapan itu masih sama saat aku jatuh cinta. "Mam, hei kok malah bengong?" ia membuyarkan lamunanku. "Aku tergagap. Enggak kok, Mama hanya bingung keadaan kita," jawabku berbohong. "Sabar, Yank, mungkin inilah ujian terberat kita," t
5. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Storing Penulis: Lusia Sudarti Part 5*** Ia pun membuka mulut lalu memakannya. Ia memandangku, seraya membuka mulutnya.Kini aku bergantian setelah suami, aku menikmati makan berdua dengannya. "Cieee Mama pacalan ya sama Papa," teriak si bungsuku sembari tertawa. Kami pun ikut tertawa mendengarnya. Drrtt! drrtt! drrtt! Terdengar suara gawai bergetar, aku melihat ada nomor tanpa nama. Klik! Ku usap layar benda pipih berwarna hitam itu. (Haloo dengan siapa ya.) tanyaku setelah tersambung. (Halo Mbak, ini dengan Dedi. Masnya ada Mbak.) tanya orang yang bernama Dedi diseberang telfon. (Ada Mas, ada yang bisa dibantu.) jawabku. (Gini Mbak, kebetulan mobil saya mogok nih, saya mau minta bantuan Mas Iman. Kira-kira bisa enggak ya?) tanyanya kemudian. (Sebentar ya Mas, Suami saya sedang sholat.) jawabku. (Oh iy Mbak. Saya tunggu kabarnya Mbak.) ucapnya lagi. (Ok Mas, biar nanti di telfon balik.) Klik! Telfon terputus. Setelah sua
6. SEMANGKUK KELAPA PARUT UNTUK LAUK NASI Bertemu tetangga julid Penulis:Lusia Sudarti Part 6 *** Anak-anakku pun ikut belanja, membeli bahan pangan untuk 2 minggu kedepan. Mereka saling bercanda dan tertawa. 'Yaa Allah, betapa bahagianya hatiku. Melihat mereka, terima kasih atas ni'mat Mu Yaa Allah," lirihku dalam hati. Di jalan kami berpapasan dengan tetangga julid. "Eeh mau belanja nih? Dapat utangan dari mana?" sinisnya ia melihat plastik belanjaanku. "Paling-paling juga dapat maling," sahut Marni yang tak kalah lemes mulutnya, orang sok kaya. Pamer gelang besar yang melingkar di tangannya. "Eh Mbak-Mbak genit yang terhormat! Nggak usah deh ngurusi rumah tangga orang! Urus aja rumah tangga kalian. Sudah baikkah rumah tangga kalian sendiri?" balasku tak kalah pedas. "Yah walau pun aku ngutang! Toh nggak ngutang ke kamu! Walau pun Aku maling, emang duit kalian yang ku maling? Nggak kan?" sambungku dengan santai. "Halah nggak usah sok lah! Baru juga bisa belanja segitu,
7. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Bantu Angkat Deksel Penulis:Lusia Sudarti Part 7 *** "Oh ya? Benarkah Ma?" desaknya sembari menatapku. "Iya Pa, tadi bikin malu di jalan. Yang sombong lah, yang uang dapat ngutang lah dan yang paling bikin jengkel, katanya uang dapat maling. Ya jelas kalo Mama marah!" jawabku kesal. "Oh gitu! Emang mereka kelewatan kok. Mama sudah bener," hiburnya.Pagi ini kita akan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai di daerah Tanjung. Jaraknya yang lumayan jauh mengharuskan untuk berangkat pagi-pagi. Semua sudah siap di meja. Cukup sampai Sore. Nasi di megicom.Bekel untuk kami sudah kubungkus. Untuk Nayla juga sudah kutaruh di tas bekel Nayla. "Mbak, Mas. Mama sama Papa berangkat dulu ya? Baik-baik di rumah! Jangan kemana-mana pulang dari sekolah! Bantu beres-beres ya?" pesanku kekedua anak yang sekolah. "Iya Ma," jawab mereka serempak. "Ya udah Mama sama Papa berangkat dulu ya!" pamitku. "Iya Ma, Pa hati-hati sama Adek," jawab mereka.
8. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Papa Belum Pulang Penulis: Lusia Sudarti Part 8 *** "Adek capek ikut kerja," jawabku. "Oh gitu," jawab Rani sambil manggut-manggut. "Papa belum pulang ya Ma?" sambung Indra. "Belum selesai dong, kan belum lama Papa berangkat," sahutku."Sudah malam ayo kalian tidur. Besok kesiangan sekolahnya," aku menyuruh mereka agar segera tidur. "Iya Ma," jawab mereka. Aku belum mengantuk, aku pun kembali menulis dan berpindah keluar duduk di teras samping untuk mencari inspirasi.Sebelumnya aku membuka sosial media facebook untuk melihat perkembangan dari pembaca mau pun followersku. 'Heem belum ada peningkatan dari pembaca-pembacaku.Tapi tak apalah, yang penting aku bisa menyalurkan hobi menulisku." 'Mungkin hanya masalah waktu saja, atau tulisan-tulisanku yang kurang menarik," gumamku dalam hati, ada rasa sedih yang menyelimuti relung hati. Aku pun membalas komen-komen yang enggak seberapa. Setelah itu baru melanjutkan ke aplikasi untuk m
9. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Bos Pelit, Sedang Anakku Kelaparan Penulis: Lusia Sudarti Part 9 *** "Oh ya Ma, ini gaji Papa!" ia menyodorkan uang 500 ribu rupiah. "Alhamdulillah Pa, rejeki kita!" ucapku sambil menerimanya. "Alhamdulillah," ia bersyukur atas semua anugrah Illahi. "Oh iya Pa, setelah ini Mama mau bayar kontrakan, lampu, juga bayar sedikit-sedikit hutang diwarung," aku menjelaskan. "Iya Ma, atur aja ya? Persediaan beras masih banyak kan ... ," tanyanya kemudian. "Alhamdulillah masih Pa, kurang-kurang sedikit kalo masalah lauk, bisa cari sayuran dibelakang. Yang penting ada beras, semua perlengkapan sekolah sudah ada," jelasku. "Iya Ma, ya sudah, siapa tau pekerjaan kita cepet selesai dan nggak ada kendala lagi," sahutnya. "Amiin!" aku tengadahkan tangan untuk berdoa. *****Hari berganti, dan ini akhir tahun, itu tandanya nanti malam pergantian tahun baru.Sedangkan pekerjaanku dan Suami semakin banyak. Tapi belum ada yang selesai. Selesai yang