2. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
Adek pengen pelmen
Part 2
Penulis : Lusia Sudarti
***
"Ma, adek lapar sudah belum masaknya?" tanya anakku yang seketika langsung membuyarkan lamunan ini.
"Iya, sayang, sebentar lagi ya," bujukku sambil kuusap pucuk kepalanya. Kulihat wajahnya sedikit pucat, mungkin terlalu lapar.
"Kasihan sekali kamu, nak," sekuat tenaga kutahan air mata yang hampir lolos.
"Adek duduk disini ya," pintaku kepadanya, aku melangkah menuju kesamping bermaksud untuk mengambil kelapa.
"Iya, Ma," jawabnya, lalu duduk dikursi teras samping.
"Mama mau kemana?" tanyanya saat melihat aku bangkit.
"Enggak kemana-mana sayang, Mama mau ngupas kelapa," jawabku sambil mengambil sebuah kelapa yang berada dibawah pohonnya yang terletak disamping rumah.
"Adek mau airnya Ma, boleh?" tanyanya seraya tersenyum cerah.
'Ahh sayang, senyummu itu semangat buat Mama," aku membatin.
"Iya, sayang tapi apa masih manis, kan kelapanya hampir tua," jelasku.
"Enggak apa-apa, Ma, adek suka, kalo ada kentosnya(isi dalam kelapa jika telah tumbuh) juga ya Ma?" katanya manja, dengan kedua bola mata berbinar.
"Ya sudah, Mama buka dulu ya, adek jangan deket-deket nanti kena," ujarku kepada Nayla, kemudian ia beranjak dan duduk dikursi.
Aku tersenyum menatapnya yang dengan sabar menantiku mengupas kelapa.
Tak lama kemudian aku selesai mengupas kulit luarnya dan kulit dalam.
Lalu setelah selesai semua aku pun memarutnya.
"Ehh mau bikin apa nih, kayaknya sibuk banget?" aku menoleh ke sumber suara, aku kaget melihat Dewi yang telah berdiri didepan rumahku, entah mau kemana dia, atau hanya sekedar kepo mencampuri urusanku.
"Bikin apa aja, yang penting bisa dimakan?" jawabku sekenanya, lalu fokus kembali mengupas kelapa, aku tak mau meladeninya, dari pada aku sakit hati.
"Kasiannya, kerja terus tetapi makan aja masih kesusahan," ia berdiri dengan angkuh dan tersenyum sinis kepadaku.
Aku berhenti mengupas kelapa dan menatapnya dengan hati geram.
"Apa mau kamu sebenarnya, dan apa pedulimu tentang kehidupan keluargaku? Bisa gak kamu berhenti ikut campur urusan keluargaku, urus aja keluargamu sendiri!" aku berdiri dan menatapnya, hatiku bergejolak dadaku bergemuruh.
"Santai, gak usah nyolot," sambungnya, dengan kedua tangan terlipat didada.
"Pergi kamu dari rumahku, gak usah kau pancing emosiku Wi," usirku.
"Tanpa kamu usir, aku pun akan pulang, takut ketularan miskin kayak kamu," dengan sikap congkaknya ia berlalu dari depan rumahku, berjalan dengan gemulai seolah mencari perhatian.
Hatiku benar-benar sakit mendengar hinaannya, dongkol, kecewa dan entahlah, tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.
Sejenak aku hanya mampu mengusap dada.
'Astahfirrullahal azdim," lirihku dalam hati sembari menatap kepergiannya, tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mataku.
Kuhapus jejak yang mengalir, agar Nayla tak mengetahuinya.
Kembali aku meneruskan mengupas kelapa yang kutaruh dibawah.
Dewi telah mengacaukan suasana hatiku.
Nayla memperhatikanku yang kembali mengupas kelapa.
"Mama mau bikin bubul ya."
"Enggak sayang."
Kelapa parut kuberi sedikit garam dan kuberi sedikit gula yang tersisa.
Kemudian kuaduk bersama nasi yang kebetulan masih hangat.
Kutaruh diatas meja makan.
Nayla yang sedari tadi menunggu kelihatan tak sabar untuk memakannya.
"Hooleee! Adek boleh nyicip Ma?" ia tampak girang.
Aku mengangguk dan tersenyum melihatnya begitu ceria.
"Ini buat adek," ucapku sambil memberikan sepiring kecil nasi kelapa.
"Adek cuci tangan dulu, Ma!" katanya sambil berlari untuk mencuci tangan.
Aku begitu bangga, usianya 4 tahun tapi ia begitu cerdas dan paling menonjol diantara teman-teman sebayanya.
"Eemm, enak sekali ya, Ma," ucapnya sambil mengunyah nasi kelapa dan ada yang loncat keluar dari mulutnya yang penuh.
Mendengar celotehnya aku tersenyum, tapi batinku menangis.
Begitu juga kedua anakku yang lain, setelah pulang sekolah mereka langsung menyantap nasi kelapa tadi.
"Ma, kita makan nasi yang dicampur kelapa ya?" Rani membawa piring yang telah ia isi dengan nasi kelapa, begitu pula dengan Indra.
"Iya, hanya itulah yang kita punya," ujarku kepada mereka.
"Iya Ma."
Tanpa bertanya lebih detail lagi atau pun protes. Mereka menghabiskan nasi kelapa parut dipiring masing-masing.
Di dalam kesedihanku, aku bersyukur karena Allah memberikan anak-anak yang baik.
"Ma, nanti kita makan bareng lagi ya," kata si sulung.
Aku tersentak mendengar ucapan Rani..
"Iya, Ma, kan selu," sambung Nayla si bungsu.
"Tunggu Papa pulang ya, Ma," katanya lagi.
"Iya, sayang, nanti kita makan bareng lagi," jawabku.
"Holee! Kita tunggu Papa pulang, telus makan baleng," celotehnya riang.
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Nanti kalo dapat duit beli nasi Padang ya, Ma," rengek Rani si sulung.
"Indra juga mau, Ma," sambung anakku yang kedua.
"Adek mau beli telpon-telponan lagi ya Ma, kalo dapat duit."
"Iya, sayang. Kita berdoa ya, semoga kita dapat rejeki dari pekerjaan Papa," jawabku lembut sambil mengusap pucuk rambutnya.
"Aamiin," jawab mereka kompak.
Tok!
Tok!
Tok!
"Assalamu'alaikum!"
Terdengar pintu samping diketuk dari luar.
"Waalaikumsalam, itu Papa pulang!" seruku.
Dan semua langsung heboh.
"Papa pulaang!" seru mereka lalu berhambur ke arah dapur membuka pintu.
"Papa dapat duit?" tanya Nayla.
"Belum sayang, Papa belum dapat uang," jawab Suamiku.
"Yaa ... kilain Papa dapat duit, adek mau beli pelmen bola mata," jawabnya lesu.
"Sabar ya, sayang, besok papa cari lagi," hiburnya, lalu digendongnya si bungsu.
"Tapi nanti beli pelmen bola mata kalo dapat duit pokoknya," sungutnya sambil cemberut.
"Iya, sayang, Papa janji. Sekarang adek turun dulu ya, Papa mau mandi."
"Iya, Pa," jawabnya sambil turun dari gendongan.
Aku hanya terdiam mendengar mereka ngobrol, sambil menyiapkan air hangat untuk mandi.
"Mam, makan pake apa anak-anak?" tanyanya sambil duduk istirahat menunggu air hangat.
"Tadi Mama parutin kelapa Pap, Mama kasih garam dan ada sisa gula sedikit," jawabku pilu.
"Sabar ya Mam, maafin Papa. Tadi Papa kasbon juga belum dapat."
Aku hanya mengangguk lemah, sedih sekali rasanya mendengar ucapan dari Suamiku, hatiku betul-betul merasa iba melihatnya.
Jika di amati, ia terlihat begitu kurus.
'Sabar, sabar, mungkin ini jalan menuju Roma, istilah pepatah," gumamku.
Sesaat suasana menjadi hening, perasaan berkecamuk.
Entahlah...
Harus bagaimana lagi?
Pasrah saja dengan kehidupan ini!
Yang penting sudah berusaha, hasilnya itu rizqi dari Yang Maha Kuasa, entah besar atau pun kecil, kita harus pandai bersyukur.
"Tadi juga coba cari pinjaman tapi belum ada. Mama juga coba tanya sisa kerjaan kita ke Mbak Siska.
Eeh malah marah-marah, ya sudah berarti belum rizqi kita Pa."
"Semua habis jadi Mama bikin nasi kelapa. Alhamdulillah mereka makan dengan lahap," lanjutku.
Suamiku terdiam, lalu menghela napas.
"Ya udah sabar aja. Papa yakin Allah itu tidak tidur, semoga hari esok lebih baik dari hari ini," tuturnya.
"Aamiiin," jawabku.
Bersambung
3. SEMANGKUK KELAPA PARUT UNTUK LAUK NASI Part 3 Dikasih Uang Tante Cantik Penulis : Lusia Sudarti *** Suamiku terdiam, lalu menghela Napas. "Ya udah, sabar aja. Papa yakin Allah itu tidak tidur, semoga hari Esok lebih baik dari hari ini," tuturnya. "Aamiiin," jawabku. Namaku Suci, usia 37 tahun dan suami bernama Imam, usia 41 tahun. Kami dikaruniai 3 orang anak. 1 laki-laki dan 2 perempuan. Si sulung bernama Maharani dipanggil Rani, yang ke 2 Mahendra di panggil Indra dan yang bungsu, Nayla Sukma. Kami dari keluarga kurang mampu, meskipun memiliki pekerjaan, tetapi kurang mencukupi. Suamiku bekerja sebagai mekanik freelance yang masih belajar. Dan kadang aku yang jadi helpernya karena tak mampu untuk menggaji orang. Di sela-sela waktu, aku bekerja sambil mengasuh anak, hingga suatu hari aku memutuskan untuk mencoba belajar menulis novel. Karena masih baru pertama kali terjun ke bidang penulisan masih banyak yang acak-acakan. Sebut saja aku penulis receh. Aku juga bukan ana
4. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Aku KETAHUAN CEMBURU Part 4 Penulis : Lusia Sudarti *** Aku pun masih kesal sama kelakuannya. Ku hirup nafas dalam-dalam untuk menghalau emosi, Astagfirrullohal 'adzim ada-ada aja," lirihku dalam hati. "Kenapa Mam kok narik nafas gitu?" suara suamiku mengejutkan. "Pake kenapa! Emang nggak denger tadi si Janda bilang apa?" ketusku. "He...he...he... ada yang cemburu nih," ledeknya. Pipiku menghangat sedikit malu, ketahuan cemburu. "Iissh! Siapa yang cemburu? Amit-amit deh," elakku sambil membuang muka takut diledek lagi. "Tuh, kan wajah Mama merah kayak kepiting goreng," lanjutnya ngeledekku seraya di tangkup pipiku dengan kedua tangannya. Alis yang sebelah dinaikkan sambil menatap kedalam mataku. Ah, tatapan itu masih sama saat aku jatuh cinta. "Mam, hei kok malah bengong?" ia membuyarkan lamunanku. "Aku tergagap. Enggak kok, Mama hanya bingung keadaan kita," jawabku berbohong. "Sabar, Yank, mungkin inilah ujian terberat kita," t
5. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Storing Penulis: Lusia Sudarti Part 5*** Ia pun membuka mulut lalu memakannya. Ia memandangku, seraya membuka mulutnya.Kini aku bergantian setelah suami, aku menikmati makan berdua dengannya. "Cieee Mama pacalan ya sama Papa," teriak si bungsuku sembari tertawa. Kami pun ikut tertawa mendengarnya. Drrtt! drrtt! drrtt! Terdengar suara gawai bergetar, aku melihat ada nomor tanpa nama. Klik! Ku usap layar benda pipih berwarna hitam itu. (Haloo dengan siapa ya.) tanyaku setelah tersambung. (Halo Mbak, ini dengan Dedi. Masnya ada Mbak.) tanya orang yang bernama Dedi diseberang telfon. (Ada Mas, ada yang bisa dibantu.) jawabku. (Gini Mbak, kebetulan mobil saya mogok nih, saya mau minta bantuan Mas Iman. Kira-kira bisa enggak ya?) tanyanya kemudian. (Sebentar ya Mas, Suami saya sedang sholat.) jawabku. (Oh iy Mbak. Saya tunggu kabarnya Mbak.) ucapnya lagi. (Ok Mas, biar nanti di telfon balik.) Klik! Telfon terputus. Setelah sua
6. SEMANGKUK KELAPA PARUT UNTUK LAUK NASI Bertemu tetangga julid Penulis:Lusia Sudarti Part 6 *** Anak-anakku pun ikut belanja, membeli bahan pangan untuk 2 minggu kedepan. Mereka saling bercanda dan tertawa. 'Yaa Allah, betapa bahagianya hatiku. Melihat mereka, terima kasih atas ni'mat Mu Yaa Allah," lirihku dalam hati. Di jalan kami berpapasan dengan tetangga julid. "Eeh mau belanja nih? Dapat utangan dari mana?" sinisnya ia melihat plastik belanjaanku. "Paling-paling juga dapat maling," sahut Marni yang tak kalah lemes mulutnya, orang sok kaya. Pamer gelang besar yang melingkar di tangannya. "Eh Mbak-Mbak genit yang terhormat! Nggak usah deh ngurusi rumah tangga orang! Urus aja rumah tangga kalian. Sudah baikkah rumah tangga kalian sendiri?" balasku tak kalah pedas. "Yah walau pun aku ngutang! Toh nggak ngutang ke kamu! Walau pun Aku maling, emang duit kalian yang ku maling? Nggak kan?" sambungku dengan santai. "Halah nggak usah sok lah! Baru juga bisa belanja segitu,
7. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Bantu Angkat Deksel Penulis:Lusia Sudarti Part 7 *** "Oh ya? Benarkah Ma?" desaknya sembari menatapku. "Iya Pa, tadi bikin malu di jalan. Yang sombong lah, yang uang dapat ngutang lah dan yang paling bikin jengkel, katanya uang dapat maling. Ya jelas kalo Mama marah!" jawabku kesal. "Oh gitu! Emang mereka kelewatan kok. Mama sudah bener," hiburnya.Pagi ini kita akan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai di daerah Tanjung. Jaraknya yang lumayan jauh mengharuskan untuk berangkat pagi-pagi. Semua sudah siap di meja. Cukup sampai Sore. Nasi di megicom.Bekel untuk kami sudah kubungkus. Untuk Nayla juga sudah kutaruh di tas bekel Nayla. "Mbak, Mas. Mama sama Papa berangkat dulu ya? Baik-baik di rumah! Jangan kemana-mana pulang dari sekolah! Bantu beres-beres ya?" pesanku kekedua anak yang sekolah. "Iya Ma," jawab mereka serempak. "Ya udah Mama sama Papa berangkat dulu ya!" pamitku. "Iya Ma, Pa hati-hati sama Adek," jawab mereka.
8. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Papa Belum Pulang Penulis: Lusia Sudarti Part 8 *** "Adek capek ikut kerja," jawabku. "Oh gitu," jawab Rani sambil manggut-manggut. "Papa belum pulang ya Ma?" sambung Indra. "Belum selesai dong, kan belum lama Papa berangkat," sahutku."Sudah malam ayo kalian tidur. Besok kesiangan sekolahnya," aku menyuruh mereka agar segera tidur. "Iya Ma," jawab mereka. Aku belum mengantuk, aku pun kembali menulis dan berpindah keluar duduk di teras samping untuk mencari inspirasi.Sebelumnya aku membuka sosial media facebook untuk melihat perkembangan dari pembaca mau pun followersku. 'Heem belum ada peningkatan dari pembaca-pembacaku.Tapi tak apalah, yang penting aku bisa menyalurkan hobi menulisku." 'Mungkin hanya masalah waktu saja, atau tulisan-tulisanku yang kurang menarik," gumamku dalam hati, ada rasa sedih yang menyelimuti relung hati. Aku pun membalas komen-komen yang enggak seberapa. Setelah itu baru melanjutkan ke aplikasi untuk m
9. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Bos Pelit, Sedang Anakku Kelaparan Penulis: Lusia Sudarti Part 9 *** "Oh ya Ma, ini gaji Papa!" ia menyodorkan uang 500 ribu rupiah. "Alhamdulillah Pa, rejeki kita!" ucapku sambil menerimanya. "Alhamdulillah," ia bersyukur atas semua anugrah Illahi. "Oh iya Pa, setelah ini Mama mau bayar kontrakan, lampu, juga bayar sedikit-sedikit hutang diwarung," aku menjelaskan. "Iya Ma, atur aja ya? Persediaan beras masih banyak kan ... ," tanyanya kemudian. "Alhamdulillah masih Pa, kurang-kurang sedikit kalo masalah lauk, bisa cari sayuran dibelakang. Yang penting ada beras, semua perlengkapan sekolah sudah ada," jelasku. "Iya Ma, ya sudah, siapa tau pekerjaan kita cepet selesai dan nggak ada kendala lagi," sahutnya. "Amiin!" aku tengadahkan tangan untuk berdoa. *****Hari berganti, dan ini akhir tahun, itu tandanya nanti malam pergantian tahun baru.Sedangkan pekerjaanku dan Suami semakin banyak. Tapi belum ada yang selesai. Selesai yang
10. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Ada Yang Mengintai Penulis:Lusia Sudarti Part 10 ***"Sabar ya Ma, kita masih di Sayang Allah. Mungkin dengan ujian ini, kita bisa lebih mendekatkan diri kepadanya," Suami memberi wejangan. "Mama selalu sabar Pa, selaluu sabar. Demi Papa dan Anak-anak," senyumku mengembang. Keesokan harinya, saat kami berangkat. Bos mobil menghentikan perjalanan kami. "Mas, sudah selesai mobilnya?" tanyanya. "Iya sudah bos," jawab Suami datar. "Oh iya, ini Mas uangnya, terima kasih banyak ya Mas? Kurangnya saya minta, kalo lebih buat Nayla!" sambungnya lagi sembari menyodorkan sejumlah uang. "Iya makasih bos," suamiku berbasa-basi. "Sama-sama Mas, oh iya masih kerja di yang jauh?" tanyanya. "Iya bos, belum selesai, ya udah saya pamit dulu, masih jauh perjalanan!" Suamiku berpamitan. "Iya Mas, silahkan!" ia memberi jalan buat kami. Lalu kami melanjutkan perjalanan. "Ma, apa bannya kempes ya?" ia menunduk untuk memastikan kalo beneran kempes. "