Share

Bab 3

3. SEMANGKUK KELAPA PARUT UNTUK LAUK NASI 

Part 3 Dikasih Uang Tante Cantik 

Penulis : Lusia Sudarti 

*** 

Suamiku terdiam, lalu menghela Napas. 

"Ya udah, sabar aja. Papa yakin Allah itu tidak tidur, semoga hari Esok lebih baik dari hari ini," tuturnya. 

"Aamiiin," jawabku. 

Namaku Suci, usia 37 tahun dan suami bernama Imam, usia 41 tahun. Kami dikaruniai 3 orang anak. 1 laki-laki dan 2 perempuan. 

Si sulung bernama Maharani dipanggil Rani, yang ke 2 Mahendra di panggil Indra dan yang bungsu, Nayla Sukma. Kami dari keluarga kurang mampu, meskipun memiliki pekerjaan, tetapi kurang mencukupi. 

Suamiku bekerja sebagai mekanik freelance yang masih belajar. Dan kadang aku yang jadi helpernya karena tak mampu untuk menggaji orang. 

Di sela-sela waktu, aku bekerja sambil mengasuh anak, hingga suatu hari aku memutuskan untuk mencoba belajar menulis novel. Karena masih baru pertama kali terjun ke bidang penulisan masih banyak yang acak-acakan. Sebut saja aku penulis receh. 

Aku juga bukan anak sekolahan.

Aku selalu belajar, dengan membaca novel- novel, aku mempelajari sedikit demi sedikit mencari tema, judul dan merangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat atau pun mencari inspirasi agar sedikit menarik untuk pembaca. 

Bahkan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh seorang lelaki, aku pun rela melakukannya. 

Terkadang, aku hampir lupa jika aku ini perempuan. Keadaan yang membuatku kuat menghadapi semua ini. 

Pagi ini aku bersiap untuk berangkat bersama suami dan anak yang bungsu. Kami berjalan kaki ke tempat kerja. 

"Ma, adek mau jajan, Ma," rengeknya saat melewati warung. Hatiku sedih sekali mendengarnya. 

"Iya sayang, nanti kalau punya uang ya?" bujukku sembari kupeluk lalu ku gendong. 

Kedua bola matanya berkaca-kaca sembari melihat kearah warung yang menyediakan berbagai makanan dan minuman. 

'Ya Allah, bahkan untuk jajan seribu rupiah pun aku tak punya," rintihku dalam hati. 

"Iya sayang, nanti kita cari uang dulu ya," sambung suamiku. 

Dan dibalas anggukan si bungsu yang malang. 

Kudekap erat dalam gendongan, ku cium pucuk kepalanya. Hatiku menjerit pilu.

Dalam perjalanan pun fikiranku melayang kemana-mana, hatiku gundah, hatiku resah. Wajar saja karena beban hidup yang harus kujalani bersama keluargaku begitu berat, usaha apa pun yang kujalani ini tetap tak mampu membantu mengatasi kesulitan ekonomi dalam keluarga. 

Pernah aku berjualan makanan dengan untung yang hanya cukup untuk satu hari, penghasilan yang kuperoleh berkisar antara enam puluh ribu perhari, dari sisa belanja aku investasikan untuk arisan emas perhari dua puluh lima ribu, ketika waktunya penarikan, ternyata bandarnya berkelit, emas 10 gram tak dibayar, uang sebesar satu juta tujuh ratus pun raib.

Saat itu aku mendatanginya untuk meminta hakku, ia malah marah-marah dan memperkarakan aku, tetapi aku tak takut, aku mendatangi ketua dusun setempat. 

Tetapi si pelaku memang seorang yang pengecut, ia tak berani datang memenuhi panggilan 

Aku berubah haluan dengan berjualan online, alhamdulillah penjualanku laris manis.

Tetapi itu pun tak berlangsung lama, karena suatu hal, ponselku yang menjadi benda penghasil uang harus rusak. Alhasil aku berhenti berjualan online, dan pelangganku banyak yang tak mau bayar, mereka ada yang kabur, ada yang janji karet. 

Huffftt! 

Aku melamun disepanjang jalan, dan menghempaskan nafasku, aku tak menyadari kehadiran seseorang yang kini telah berdiri dihadapan kami. 

"Mau kemana, adek?" sapa tetangga. 

"Mau ikut kelja, Tante," jawabnya dengan senyum. 

"Oh iya, adek mau ikut kerja ya, ya udah jangan nakal ya," Katanya lagi. 

"Iya, Tante makasih ya, Tante mau ke pasar ya?" tanyaku. 

"Iya Mbak, nih buat adek jajan," sahutnya seraya menyodorkan uang pecahan 20.000. 

"Udah, Te, gak usah repot-repot, adek udah makan kok," tolakku tak enak hati. 

"Sudah, nggak apa-apa, Mbak," potongnya. 

Lalu si bungsu menerima pemberian Tante Mirna. 

"Makasih Tante cantik, semoga Tante banyak lejeki, amiin. Makasih Ya Allah," ucap si bungsu dan di amini Mirna. 

"Amiiin, makasih, adek cantik," balasnya sambil diusap pipinya yang bikin gemes. 

Aku dan suami pun tersenyum. Ada kebanggaan dalam hatiku.

Selalu ada rizqi untuk anakku, raut wajah Nayla terlihat begitu ceria. Tak dapat kupungkiri, hatiku pun begitu bahagia melihatnya yang tersenyum bahagia. 

Lalu Mirna pamit melanjutkan perjalanannya yang tertunda. 

Dengan langkah tegap dan pasti kami melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan.

"Alhamdulillah Ya Allah, ternyata Engkau maha besar," syukurku lagi. 

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

"Ma, nasi tinggal sedikit. Tapi Rani sama Indra sudah makan," ujar Rani disaat kami baru pulang. 

"Mbak, Mas, adek punya jajan nih. Ini untuk Mbak dan ini untuk Mas," kata Nayla sambil memberikan jajan buat kakak-kakaknya. 

"Makasih ya, Dek," jawab mereka. 

"Mama mandi dulu ya, Pap," pamitku sambil menggendong Nayla untuk mandi. 

"Iya ma," sahutnya.

*** 

"Pap, gimana ya, besok beras tinggal 3 kaleng, susu juga habis, kita nggak punya apa-apa untuk sayur," keluhku. 

"Coba Mam, wa ke warung dulu. Siapa tau boleh ngutang," saran Suami. 

Aku mengangguk dan mengambil ponselku dalam tas. 

[Buk, maaf saya mau bon dulu beras 2 kg, gula, kopi, sabun sama mie instant.] Aku mengirimkan wa lalu terkirim dan centang biru. 

Ting! 

Notifikasi wa masuk. [Iya Te, datang aja ke warung bawa catatan.] balas nya. 

[Iya Bu, makasih banyak ya Bu.] balasku. 

Si Ibu warung membalas emoticon jempol. 

"Alhamdulillah," ucapku, bersyukur. 

Aku pun segera mengambil secarik kertas dan pulpen untuk mencatat daftar belanja. 

"Gimana Mam, bisa ngutang dulu?" tanya Suami. 

"Iya Pap, boleh." 

"Alhamdulillah," sahutnya. 

"Rani sama Indra ke warung dulu. Ini catatannya," titahku. 

"Mana duitnya, Ma?" tanya Rani. 

"Ngutang dulu Nak, mama udah wa tadi," jawabku. Lalu mereka berangkat. 

"Adek ikut ya Ma," rengek Nayla. 

"Nggak usah sayang, jauh ntar capek," cegahku. 

"Tapi beli pelmen ya Ma." 

"Iya nanti beli permen." 

"Hoolleee!" teriaknya girang. 

Aku pun tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan. 

"Eh itu si Rani mau kemana Mbak? Pasti mau cari utangan ke warung kan?" tanya Dewi, janda tetangga ujung yang julid seraya memandang sinis ke arah Rani yang berjalan menjauh. 

"Emang kenapa Mbak, kalo aku ngutang? Toh aku nggak kan minta bayarin situ," jawabku ketus. 

"Emang sih nggak minta bayarin aku. Tapi Aku tuh kasihan sama Suaminya Mbak," sahutnya sambil melirik genit kepada suamiku. 

"Ciihh! kenapa juga pake kasihan sama Suamiku, hah!" bentakku, ia seolah menunjukkan simpatinya untuk suamiku dan seolah sengaja membuatku cemburu. 

Suamiku pun begitu terkejut mendengar ucapan Dewi. Lalu dengan wajah tak peduli, ia masuk mengambil wudhu untuk melakukan sholat ashar. 

"Sudah pulang sana. Enggak usah cari-cari perhatian suamiku segala. Urus aja urusanmu sendiri," usirku kepada Dewi, ia membalas tatapanku dengan tajam dan sinis kepadaku, kemudian melangkah menjauh dariku. 

"Awas saja kamu Suci!" ancamnya, ia melangkah semakin jauh, tetapi aku masih jelas mendengar ancamannya. 

"Heii, aku tak takut akan ancaman kamu, sampai dimanapun akan kulayani kamu, sampai aku mati, aku tak akan mundur selangkah pun! Mengerti kamu!" hardikku seraya berdiri hendak mengejarnya, tetapi ia keburu lari mendengar teriakanku dan akan mengejarnya. 

Gelap sekali penglihatanku dalam menahan semua amarahku. 

Aku pun kesal sekali sama kelakuannya. Ku hirup nafas dalam-dalam untuk menghalau emosi. 

Nafasku tersengal, aku duduk untuk menetralkan nafas dan emosiku. 

'Astagfirrullohal 'adzim ada-ada aja," lirihku dalam hati. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status