4. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
Aku KETAHUAN CEMBURU
Part 4
Penulis : Lusia Sudarti
***
Aku pun masih kesal sama kelakuannya. Ku hirup nafas dalam-dalam untuk menghalau emosi, Astagfirrullohal 'adzim ada-ada aja," lirihku dalam hati.
"Kenapa Mam kok narik nafas gitu?" suara suamiku mengejutkan.
"Pake kenapa! Emang nggak denger tadi si Janda bilang apa?" ketusku.
"He...he...he... ada yang cemburu nih," ledeknya.
Pipiku menghangat sedikit malu, ketahuan cemburu.
"Iissh! Siapa yang cemburu? Amit-amit deh," elakku sambil membuang muka takut diledek lagi.
"Tuh, kan wajah Mama merah kayak kepiting goreng," lanjutnya ngeledekku seraya di tangkup pipiku dengan kedua tangannya. Alis yang sebelah dinaikkan sambil menatap kedalam mataku.
Ah, tatapan itu masih sama saat aku jatuh cinta.
"Mam, hei kok malah bengong?" ia membuyarkan lamunanku.
"Aku tergagap. Enggak kok, Mama hanya bingung keadaan kita," jawabku berbohong.
"Sabar, Yank, mungkin inilah ujian terberat kita," tuturnya lalu dipeluknya tubuhku. Dan mengecup keningku dengan penuh kasih sayang.
***
"Wak, minta daun singkongnya," kataku ke tetangga sebelah suatu hari.
"Ambillah, banyak tuh dibelakang, disamping muda-muda lagi," jawabnya.
"Iya, Wak, makasih banyak."
Aku memetik daun singkong dikebun tetangga, subur sekali. Seneng deh rasanya.
"Itu banyak loh Mbak, ambilin aja gak ada yang memetiknya."
Wak yang punya kebun membantuku memetik daun singkong.
"Iya Wak, terimakasih," jawabku, aku mengulas senyum. Aku telah selesai memetik satu ikat besar ditanganku.
"Iya sama-sama Mbak."
Dengan bernyanyi kecil aku melangkah pulang kerumah.
Di tengah perjalanan aku bertemu dengan janda yang rumahnya berada disekitar sini.
"Wah, kayaknya sudah betul-betul jatuh miskin nih!" ujarnya seraya menghadang langkahku, tatapannya begitu sinis.
Aku sontak berhenti mendengar ucapannya yang menyakitkan.
"Iya emang aku miskin kok, masalah buat kamu?" aku berdiri tegak dengan sikap tegas kepadanya.
"Syukurlah kalo kamu sadar, seenggaknya kamu juga sadar diri kalo kamu gak layak buat Mas Iman," ia berbicara sedikit berbisik ditelingaku.
Aku terkejut mendengar kata-kata Dewi yang sudah sangat keterlaluan.
"Emang apa urusanmu tentang rumah tanggaku, layak atau gak emang kamu yang menilai, atau jangan-jangan kamu suka sama suami aku! Heh jatel, kamu tuh seharusnya ngaca deh!" hardikku dengan suara lantang. Darahku bergejolak, emosiku tak terbendung lagi, hingga para tetangga terkejut mendengar suaraku yang lantang.
"Kamu---."
"Apa, mau menampar aku? Silahkan!" aku melangkah semakin mendekat kepadanya.
"Ada apa ini ribut-ribut dijalan?" Istri wak Holil telah berada didekatku.
"Dia itu mencari gara-gara denganku!" Aku menuding wajah Dewi yang memerah, ia tak dapat berkutik lagi, kemudian dengan tanpa disangka, ia berlari meninggalkan kami.
"Saya pulang dulu wak, anak-anak pasti sudah menunggu!" aku pamit pulang tanpa menunggu jawaban darinya.
Aku tergesa-gesa melangkah menuju kerumah untuk segera memasak buat makan.
Aku menarik nafas untuk mengatur emosi yang masih menguasai hati.
Seolah tak terjadi apa-apa.
Dengan cekatan aku memasak daun singkong dan tak berapa lama sudah selesai.
Hatiku dongkol jika mengingat kejadian tadi sewaktu pulang minta daun singkong. Entah apa yang ada difikiran Dewi si jatel itu! Suka sekali menyakiti hati orang dan membuat onar.
Pantas aja ia menyandang predikat janda yang selalu digunjingkan orang. Sebetulnya yang merusak citra sebagai janda itu, dari diri masing-masing. Kebanyakan dari mereka yang menyandang predikat janda selalu dicap masyarakat sebagai pelakor.
Padahal sesungguhnya banyak yang menyandang predikat janda tak mau merusak rumah tangga, janda yang demikian adalah janda terhormat. Ada juga yang berstatus Istri tetapi kelakuannya melebihi janda. Itu banyak aku temui dahulu.
Biarlah, itu hak mereka, dosa mereka, dan urusan mereka dengan Tuhannya.
Aku tak mau ikut campur apa pun urusan orang, permasalahan orang, dosa orang.
Yang penting aku dengan urusanku, jika seseorang ikut campur urusanku, atau berusaha merusak rumah tanggaku, sampai dimana pun akan ku kejar, sampai ke ujung duniapun, kelubang semut, atau ke liang kubur sekalipun, tak akan kulepaskan.
Aku akan mempertahankan keutuhan rumah tanggaku, apa pun yang terjadi, bahkan nyawaku pun kupertaruhkan.
Jika memang suamiku pun demikian. Tetapi jika suamiku pun menginginkan perpisahan, apa boleh buat, aku pun akan memberikan semua keputusan kepadanya.
Percuma mempertahankan sebelah pendirian, jika yang lain menginginkan.
Lamunanku tak berlangsung lama, karena kehadiran anak-anakku.
"Wah, tumis daun singkong," kata anak-anakku, ketika sayur sudah terhidang.
Senyum ku ulas untuk mereka.
Aku menatap mereka satu persatu, bibirku selalu tersenyum, tetapi hatiku menangis untuk mereka.
'Kuatkan hati dan imanku Ya Allah," hatiku membathin.
"Iya, mama masak daun singkong. Enggak apa kan?" tanyaku pada mereka.
"Iya Ma, enak kok," jawab mereka.
Sambil makan seperti biasa sikecil berceloteh ria.
"Ma, kapan ya adek bisa makan ayam goleng?" tanyanya.
Hatiku meringis mendengar pertanyaannya, pedih sekali.
"Nanti ya, sayang, sabar kalo dapat uang kita beli ayam," hiburku sambil kukecup keningnya.
Kedua matanya berbinar mendengarnya.
'Semoga kelak kalian menjadi anak-anak yang sholeh dan soleha, pandai, agar tak kesusahan seperti sekarang nak!" lirihku.
"Iya, dek, nanti kalo dapat uang kita beli yang banyak, ya," sahut si sulung.
"Holeee! kita bisa makan baleng juga sama mama sama papa, sama adek!" serunya lagi.
"Mbak, dek."
"Mamas juga dek," sahut kakak-kakaknya.
"Iya, sama se..muanya."
"Udah makan dulu. Enggak baik makan sambil ngobrol," aku menyela perbincangan mereka.
Lalu mereka diam dan melanjutkan makan.
Aku hanya memperhatikan mereka yang mamakan nasi dengan lahap.
Sebetulnya perutku juga lapar, tetapi kutahan. Jika aku ikut makan takutnya Suamiku kelaparan.
Aku berdoa semoga aku dikuatkan dan rasa laparku menjadi kenyang.
Aku meraih gelas dan menuang air minum hangat seraya berdoa, mudah-mudahan dengan minum air hangat ini perutku menjadi kenyang.
'Bissmilahirrohmanirrohim, semoga dengan air ini, engkau menjadikan perutku kenyang Ya Allah, amiiin.
Air kuteguk hingga tandas.
'Alhamdulillah."
Rani dan Indra memperhatikanku yang hanya meminum air.
Begitupun suamiku ia menautkan kedua alisnya.
"Mama kok enggak makan?" tanya suamiku.
"Enggak pa, buat Papa aja nasinya tinggal setengah piring," jawabku sembari menatapnya.
"Buat mama aja, papa masih kenyang," jawabnya berdalih.
Aku tertegun mendengar ucapannya, kemudian aku masuk kedapur mengambil piring dan sendok lalu mengambil nasi serta sayur. Yuk kita makan berdua," ajakku sambil menyuapkan sesendok nasi.
"A..aaa," titahku agar ia membuka mulut. "Ayo pa, kita mengenang masa dulu," candaku lagi.
Ia pun membuka mulut lalu memakannya. Ia memandangku, seraya membuka mulutnya kembali, saat aku memberikan suapan.
Kini aku bergantian setelah suami, aku menikmati makan berdua dengannya.
"Cieee mama pacalan ya sama papa?" goda si bungsu, ia tertawa. Kami pun ikut tertawa mendengarnya.
Bersambung
5. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Storing Penulis: Lusia Sudarti Part 5*** Ia pun membuka mulut lalu memakannya. Ia memandangku, seraya membuka mulutnya.Kini aku bergantian setelah suami, aku menikmati makan berdua dengannya. "Cieee Mama pacalan ya sama Papa," teriak si bungsuku sembari tertawa. Kami pun ikut tertawa mendengarnya. Drrtt! drrtt! drrtt! Terdengar suara gawai bergetar, aku melihat ada nomor tanpa nama. Klik! Ku usap layar benda pipih berwarna hitam itu. (Haloo dengan siapa ya.) tanyaku setelah tersambung. (Halo Mbak, ini dengan Dedi. Masnya ada Mbak.) tanya orang yang bernama Dedi diseberang telfon. (Ada Mas, ada yang bisa dibantu.) jawabku. (Gini Mbak, kebetulan mobil saya mogok nih, saya mau minta bantuan Mas Iman. Kira-kira bisa enggak ya?) tanyanya kemudian. (Sebentar ya Mas, Suami saya sedang sholat.) jawabku. (Oh iy Mbak. Saya tunggu kabarnya Mbak.) ucapnya lagi. (Ok Mas, biar nanti di telfon balik.) Klik! Telfon terputus. Setelah sua
6. SEMANGKUK KELAPA PARUT UNTUK LAUK NASI Bertemu tetangga julid Penulis:Lusia Sudarti Part 6 *** Anak-anakku pun ikut belanja, membeli bahan pangan untuk 2 minggu kedepan. Mereka saling bercanda dan tertawa. 'Yaa Allah, betapa bahagianya hatiku. Melihat mereka, terima kasih atas ni'mat Mu Yaa Allah," lirihku dalam hati. Di jalan kami berpapasan dengan tetangga julid. "Eeh mau belanja nih? Dapat utangan dari mana?" sinisnya ia melihat plastik belanjaanku. "Paling-paling juga dapat maling," sahut Marni yang tak kalah lemes mulutnya, orang sok kaya. Pamer gelang besar yang melingkar di tangannya. "Eh Mbak-Mbak genit yang terhormat! Nggak usah deh ngurusi rumah tangga orang! Urus aja rumah tangga kalian. Sudah baikkah rumah tangga kalian sendiri?" balasku tak kalah pedas. "Yah walau pun aku ngutang! Toh nggak ngutang ke kamu! Walau pun Aku maling, emang duit kalian yang ku maling? Nggak kan?" sambungku dengan santai. "Halah nggak usah sok lah! Baru juga bisa belanja segitu,
7. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Bantu Angkat Deksel Penulis:Lusia Sudarti Part 7 *** "Oh ya? Benarkah Ma?" desaknya sembari menatapku. "Iya Pa, tadi bikin malu di jalan. Yang sombong lah, yang uang dapat ngutang lah dan yang paling bikin jengkel, katanya uang dapat maling. Ya jelas kalo Mama marah!" jawabku kesal. "Oh gitu! Emang mereka kelewatan kok. Mama sudah bener," hiburnya.Pagi ini kita akan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai di daerah Tanjung. Jaraknya yang lumayan jauh mengharuskan untuk berangkat pagi-pagi. Semua sudah siap di meja. Cukup sampai Sore. Nasi di megicom.Bekel untuk kami sudah kubungkus. Untuk Nayla juga sudah kutaruh di tas bekel Nayla. "Mbak, Mas. Mama sama Papa berangkat dulu ya? Baik-baik di rumah! Jangan kemana-mana pulang dari sekolah! Bantu beres-beres ya?" pesanku kekedua anak yang sekolah. "Iya Ma," jawab mereka serempak. "Ya udah Mama sama Papa berangkat dulu ya!" pamitku. "Iya Ma, Pa hati-hati sama Adek," jawab mereka.
8. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Papa Belum Pulang Penulis: Lusia Sudarti Part 8 *** "Adek capek ikut kerja," jawabku. "Oh gitu," jawab Rani sambil manggut-manggut. "Papa belum pulang ya Ma?" sambung Indra. "Belum selesai dong, kan belum lama Papa berangkat," sahutku."Sudah malam ayo kalian tidur. Besok kesiangan sekolahnya," aku menyuruh mereka agar segera tidur. "Iya Ma," jawab mereka. Aku belum mengantuk, aku pun kembali menulis dan berpindah keluar duduk di teras samping untuk mencari inspirasi.Sebelumnya aku membuka sosial media facebook untuk melihat perkembangan dari pembaca mau pun followersku. 'Heem belum ada peningkatan dari pembaca-pembacaku.Tapi tak apalah, yang penting aku bisa menyalurkan hobi menulisku." 'Mungkin hanya masalah waktu saja, atau tulisan-tulisanku yang kurang menarik," gumamku dalam hati, ada rasa sedih yang menyelimuti relung hati. Aku pun membalas komen-komen yang enggak seberapa. Setelah itu baru melanjutkan ke aplikasi untuk m
9. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Bos Pelit, Sedang Anakku Kelaparan Penulis: Lusia Sudarti Part 9 *** "Oh ya Ma, ini gaji Papa!" ia menyodorkan uang 500 ribu rupiah. "Alhamdulillah Pa, rejeki kita!" ucapku sambil menerimanya. "Alhamdulillah," ia bersyukur atas semua anugrah Illahi. "Oh iya Pa, setelah ini Mama mau bayar kontrakan, lampu, juga bayar sedikit-sedikit hutang diwarung," aku menjelaskan. "Iya Ma, atur aja ya? Persediaan beras masih banyak kan ... ," tanyanya kemudian. "Alhamdulillah masih Pa, kurang-kurang sedikit kalo masalah lauk, bisa cari sayuran dibelakang. Yang penting ada beras, semua perlengkapan sekolah sudah ada," jelasku. "Iya Ma, ya sudah, siapa tau pekerjaan kita cepet selesai dan nggak ada kendala lagi," sahutnya. "Amiin!" aku tengadahkan tangan untuk berdoa. *****Hari berganti, dan ini akhir tahun, itu tandanya nanti malam pergantian tahun baru.Sedangkan pekerjaanku dan Suami semakin banyak. Tapi belum ada yang selesai. Selesai yang
10. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Ada Yang Mengintai Penulis:Lusia Sudarti Part 10 ***"Sabar ya Ma, kita masih di Sayang Allah. Mungkin dengan ujian ini, kita bisa lebih mendekatkan diri kepadanya," Suami memberi wejangan. "Mama selalu sabar Pa, selaluu sabar. Demi Papa dan Anak-anak," senyumku mengembang. Keesokan harinya, saat kami berangkat. Bos mobil menghentikan perjalanan kami. "Mas, sudah selesai mobilnya?" tanyanya. "Iya sudah bos," jawab Suami datar. "Oh iya, ini Mas uangnya, terima kasih banyak ya Mas? Kurangnya saya minta, kalo lebih buat Nayla!" sambungnya lagi sembari menyodorkan sejumlah uang. "Iya makasih bos," suamiku berbasa-basi. "Sama-sama Mas, oh iya masih kerja di yang jauh?" tanyanya. "Iya bos, belum selesai, ya udah saya pamit dulu, masih jauh perjalanan!" Suamiku berpamitan. "Iya Mas, silahkan!" ia memberi jalan buat kami. Lalu kami melanjutkan perjalanan. "Ma, apa bannya kempes ya?" ia menunduk untuk memastikan kalo beneran kempes. "
11. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Tetap Bersyukur Penulis: Lusia Sudarti Part 11 RATE 18++ *** Hatiku mencelos melihatnya begitu menderita, tak seperti Anak-anak sebayanya yang tak pernah kekurangan. Alhamdulillah buat makan masih ada walau pun ala kadarnya. Jauh dari kata mewah, tapi seenggaknya, tidak kelaparan. Jika keadaan seperti ini terus, aku tak tau, bisa apa tidak aku menyekolahkan Anak-anakku kelak. Yang penting aku dan Suami akan terus berusaha untuk mereka, sampai titik darah penghabisan ....! Huuffft! 'Ya Allah Ya Robb ... berilah sedikit rizqi-Mu untuk kami. AMIIN. Pukul 15:05 saat Suami pulang dari kerja.Aku termenung, apa yang akan kulakukan sekarang ini? Entahlah aku juga tak tau? "Assalamualaikum Ma," ia mengucap salam ketika sampai di depan rumah. "Waalaikumsalam Pa!" kusambut dan kuraih tangannya untukku cium takzim. "Kemana Anak-anak Ma? Kok sepi?" ia celingukan mencari kesana-sini keberadaan Anak-anaknya. "Main Pa!" sahutku dari dalam men
12. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Jangan Tinggalin Papa Ma Penulis:Lusia SudartiRATE 18++++ Part 12 ***Aku begitu geli melihat tingkah Dewi. Ingin cepat keluar dari persembunyian, tapi kutahan dulu. "S1nt1n9 kamu Wi, bisa-bisa dijadiin besi sama Suci," ucap Endang. Aku mendengarkan dari balik persembunyianku dipinggir jalan dibalik rerimbunan bonsai pagar. "Aku nggak takut Ndang sama Suci," ujarnya sinis. "Oh ya, benarkah? Kamu nggak takut?" seru Endang menatap lekat kearah Dewi yang tersenyum penuh arti. Emosiku semakin tak terbendung, aliran darahku seperti lava panas yang siap meledak dari dadaku. Kedua tanganku terkepal, rasanya ingin sekali aku memberinya pelajaran yang takkan pernah dia lupa. Ku atur nafas, untuk meredakan sedikit amarah yang memuncak.Dengan langkah tegas, kuhampiri mereka berdua. Tentu saja mereka kaget bukan kepalang. Terlebih Dewi sang janda genit, penggoda Suami orang. "Su-Su-Suci ... ," Endang gugup dan ketakutan. Sedang Dewi wajahn