5. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi
Storing
Penulis: Lusia Sudarti
Part 5
***
Ia pun membuka mulut lalu memakannya. Ia memandangku, seraya membuka mulutnya.
Kini aku bergantian setelah suami, aku menikmati makan berdua dengannya.
"Cieee Mama pacalan ya sama Papa," teriak si bungsuku sembari tertawa. Kami pun ikut tertawa mendengarnya.
Drrtt!
drrtt!
drrtt!
Terdengar suara gawai bergetar, aku melihat ada nomor tanpa nama.
Klik!
Ku usap layar benda pipih berwarna hitam itu.
(Haloo dengan siapa ya.) tanyaku setelah tersambung.
(Halo Mbak, ini dengan Dedi. Masnya ada Mbak.) tanya orang yang bernama Dedi diseberang telfon.
(Ada Mas, ada yang bisa dibantu.) jawabku.
(Gini Mbak, kebetulan mobil saya mogok nih, saya mau minta bantuan Mas Iman. Kira-kira bisa enggak ya?) tanyanya kemudian.
(Sebentar ya Mas, Suami saya sedang sholat.) jawabku.
(Oh iy Mbak. Saya tunggu kabarnya Mbak.) ucapnya lagi.
(Ok Mas, biar nanti di telfon balik.)
Klik!
Telfon terputus.
Setelah suami selesai sholat. Ia menghampiri dan duduk disampingku.
"Pa, tadi ada yang telfon minta tolong Papa katanya mobilnya mogok. Coba ditelfon balik," kataku menjelaskan.
"Oh iya, mudah-mudahan ini rizqi untuk anak-anak ya Ma," sahutnya bahagia.
"Amiin Yaa Allah. Mudah-mudahan ya Pa," jawabku seraya tersenyum bahagia.
Lalu ia bangkit mengambil gawai diatas rak buku dan melangkah keluar, agar tak mengganggu anak-anak yang telah lelap dalam tidurnya.
Tak lama kemudian beliau masuk dan pamit untuk siap-siap berangkat, menunggu jemputan, kebetulan Kak Dedi yang akan menjemputnya menggunakan mobil storing
"Ma, Papa berangkat dulu ya? Hati-hati dirumah," ucapnya sambil mencium keningku. Lalu kuraih tangannya kucium takzim.
"Hati-hati Pa," Pesanku. Ia tersenyum sembari mengangguk lalu melangkah menuju mobil yang terparkir ditepi jalan.
Kak Dedi mengklakson, aku mengangguk seraya tersenyum.
Mobil pun bergerak perlahan menyusuri jalan gang, hingga menghilang dari pandanganku.
Aku kembali melangkah masuk kedalam teras dengan langkai gontai.
Kursi yang menemaniku berhari-hari, bermalam-malam, seolah melambai-lambai, menggodaku untuk mendudukinya.
Aku menghempaskan bobotku diatasnya.
Duduk termenung seorang diri.
Memikirkan semuanya.
'Meong, meong, meong," si emak, kucingku mengeong meminta makan, ia mengusap kakiku dengan kepalanya seraya mendongak menatapku.
Kuaraih ia dalam gendonganku.
'Maaf ya mak, gak ada uang untuk beli makananmu," aku usap kepalanya, ia mendongak kembali dan menatapku.
'Doain ya mak nanti dapat uang buat beli makanan," ku cium mak, suaranya mendengkur menandakan bahwa ia manja dan menyayangi kita.
Semilir angin malam menerpa wajahku, memerbangkan rambutku hingga menutupi sebagian wajahku.
Suara gesekan dedauanan yang diterbangkan angin, melambai meliuk, suara nyaring binatang malam bersahutan membuat suasana menjadi mencekam.
Aku segera masuk membawa serta kucing kesayanganku.
Malam semakin larut, tapi kedua mataku tak mau terpejam sedetik pun. Ku pandang satu-persatu anak-anakku, pilu hati ini melihat mereka yang terlihat kurus karena kurang gizi.
Apalah dayaku, kami selalu berusaha.
Tangisku pun pecah tak terbendung.
Maafkan kami nak, yang tak bisa memberi makan yang layak.
'Jangankan untuk beli ayam satu potong, untuk beli permen seribu rupiah pun kami enggak bisa," lirihku disela isak tangis yang tertahan, laluku kecup mereka bergantian.
Si bungsu pun terbangun, karena usapanku.
Ia mengerjapkan kedua bola matanya.
"Mama kenapa kok nangis? Mama jangan nangis dong," ucapnya, kemudian duduk dan mengusap air mataku.
"E-enggak kok sayang, Mama gak nangis, tadi Mama pukul nyamuk, ehh malah terkena mata Mama, jadi perih deh. Da..an keluar air mata karena pedih," elakku berbohong.
"Ohh, hooaaam," jawabnya seraya menguap.
Aku pun tertawa melihatnya.
"Ya udah Adek bobo lagi ya? Sini Mama peluk," kuraih ia dalam pelukan.
"Dimana Papa Ma? Kok enggak ada," tanyanya, ia celingukan.
"Oh Papa, kerja sayang. Udah ayo bobo," Potongku cepat.
Ia terdiam dalam pelukanku, tak menunggu waktu lama ia pun kembali terlelap.
Aku membenarkan posisi tidurnya dengan benar. Kuciumi ia dengan lembut agar tak terbangun kembali.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 01:00 tapi aku sama sekali tak merasakan kantuk. Aku pun meneruskan cerita novel yang belum kuselesaikan.
Aku belajar membuat cerita yang berjudul. "Prahara Dalam Kehidupan"
Yang kubagikan di grup media sosial.
Tapi sayang, belum banyak peminatnya. Tak apa, yang penting aku menulis, ada yang suka apa tidak, itu cuma masalah waktu.
Dan Yang penting, menulis sambil belajar.
Aku menulis berbab-bab untuk cerita yang berbeda. Mumpung otak sedang encer dan banyak inspirasi yang mengalir.
Jika lelah, aku membuka sosmed dahulu supaya fikiran kembali fress.
Semua itu kulakukan berulang kali, hingga selesai mengupdate lima buku.
Esok tinggal menyalinnya ke aplikasi.
Kedua netraku mulai sayu, aku memutuskan untuk menyudahi menulis, ketika hendak menaruh gawaiku diatas meja televisi dari kejauhan terdengar suara adzan yang menandakan waktu telah subuh.
Dan terdengar ketukan perlahan dari luar.
Tok..!
tok..!
tok..!
"Assalamu'alaikum,"
"Ma. Ini Papa," terdengar suara parau suamiku.
Aku pun bergegas bangun.
"Wa'alaikumsalam, sebentar," jawabku.
Pintu pun kubuka, Suamiku berdiri diambang pintu, rautnya begitu lelah.
"Papa baru pulang," tanyaku.
"Iya Ma, baru beres," jawabnya.
Aku mengambil segelas air putih dan kusodorkan kepadanya.
"Makasih Ma," Lalu di sesapnya hingga tandas.
"Alhamdulillah Ma, ini rizqi untuk anak-anak kita."
Lalu ia menyodorkan uang 10 lembar seratus ribu.
Aku pun terbelalak melihatnya
"Alhamdulillah Yaa Allah, terimakasih Pa," aku menerima uang pemberian suami dan mengucap syukur.
"Sama-sama Ma, semoga bisa membeli kebutuhan dapur kita ya," jawabnya.
***
Untuk seminggu kemudian anak-anakku enggak akan kelaparan," lirihku sambil terisak mendekap uang itu.
Di peluknya aku dalam rengkuhan hangat suami.
"Papa pasti lelah, istirahat dulu Mama masakin air hangat ya," ucapku, aku melangkah masuk untuk menyimpan rizqi dari Allah.
Aku menyalakan api ditungku, maklum tiga bulan ini aku tak mampu membeli gas, jadi aku memasak ditungku, lumayan bisa mengirit pengeluaran.
Gas sekarang begitu mahal.
Setelah itu, aku pun mengambil wudhu dan melaksanakan sholat shubuh.
Setelah mandi dan sholat shubuh, Suamiku pun istirahat sebentar.
Kusiapkan segelas kopi untuk Suami.
Untuk sejenak aku duduk diteras, bercanda ria dengan anak-anak, sedangkan suami masih beristirahat, kasihan sekali beliau, membanting tulang siang dan malam demi kami..
Itulah sebabnya, aku selalu membantunya sebisa dan semampuku.
Aku yang terbiasa hidup susah, dan bekerja dari kecil, jadi tak masalah jika harus bekerja keras demi keluargaku.
"Mbak, Mas mau ikut gak, Mama mau kewarung bersama adek?" tanyaku kepada mereka.
"Mauu," jawab mereka serempak.
"Ayo kita berangkat!" aku berdiri mengajak mereka. Kami berjalan kaki menuju warung di gang sebelah barat, tak terlalu jauh dari kontrakan.
Hari ini tanggal merah, berarti anak sekolah libur.
Setelah sampai ditempat tujuan, aku segera memberikan catatan kepemilik warung.
Setelah selesai dan lengkap membeli bahan pangan untuk 2 minggu kedepan. Kami kembali kekontrakan.
Mereka saling bercanda dan tertawa. Yaa Allah, betapa bahagianya hatiku. Melihat mereka, terima kasih atas Ni'mat mu Yaa Allah," lirihku dalam hati.
Bersambung
6. SEMANGKUK KELAPA PARUT UNTUK LAUK NASI Bertemu tetangga julid Penulis:Lusia Sudarti Part 6 *** Anak-anakku pun ikut belanja, membeli bahan pangan untuk 2 minggu kedepan. Mereka saling bercanda dan tertawa. 'Yaa Allah, betapa bahagianya hatiku. Melihat mereka, terima kasih atas ni'mat Mu Yaa Allah," lirihku dalam hati. Di jalan kami berpapasan dengan tetangga julid. "Eeh mau belanja nih? Dapat utangan dari mana?" sinisnya ia melihat plastik belanjaanku. "Paling-paling juga dapat maling," sahut Marni yang tak kalah lemes mulutnya, orang sok kaya. Pamer gelang besar yang melingkar di tangannya. "Eh Mbak-Mbak genit yang terhormat! Nggak usah deh ngurusi rumah tangga orang! Urus aja rumah tangga kalian. Sudah baikkah rumah tangga kalian sendiri?" balasku tak kalah pedas. "Yah walau pun aku ngutang! Toh nggak ngutang ke kamu! Walau pun Aku maling, emang duit kalian yang ku maling? Nggak kan?" sambungku dengan santai. "Halah nggak usah sok lah! Baru juga bisa belanja segitu,
7. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Bantu Angkat Deksel Penulis:Lusia Sudarti Part 7 *** "Oh ya? Benarkah Ma?" desaknya sembari menatapku. "Iya Pa, tadi bikin malu di jalan. Yang sombong lah, yang uang dapat ngutang lah dan yang paling bikin jengkel, katanya uang dapat maling. Ya jelas kalo Mama marah!" jawabku kesal. "Oh gitu! Emang mereka kelewatan kok. Mama sudah bener," hiburnya.Pagi ini kita akan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai di daerah Tanjung. Jaraknya yang lumayan jauh mengharuskan untuk berangkat pagi-pagi. Semua sudah siap di meja. Cukup sampai Sore. Nasi di megicom.Bekel untuk kami sudah kubungkus. Untuk Nayla juga sudah kutaruh di tas bekel Nayla. "Mbak, Mas. Mama sama Papa berangkat dulu ya? Baik-baik di rumah! Jangan kemana-mana pulang dari sekolah! Bantu beres-beres ya?" pesanku kekedua anak yang sekolah. "Iya Ma," jawab mereka serempak. "Ya udah Mama sama Papa berangkat dulu ya!" pamitku. "Iya Ma, Pa hati-hati sama Adek," jawab mereka.
8. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Papa Belum Pulang Penulis: Lusia Sudarti Part 8 *** "Adek capek ikut kerja," jawabku. "Oh gitu," jawab Rani sambil manggut-manggut. "Papa belum pulang ya Ma?" sambung Indra. "Belum selesai dong, kan belum lama Papa berangkat," sahutku."Sudah malam ayo kalian tidur. Besok kesiangan sekolahnya," aku menyuruh mereka agar segera tidur. "Iya Ma," jawab mereka. Aku belum mengantuk, aku pun kembali menulis dan berpindah keluar duduk di teras samping untuk mencari inspirasi.Sebelumnya aku membuka sosial media facebook untuk melihat perkembangan dari pembaca mau pun followersku. 'Heem belum ada peningkatan dari pembaca-pembacaku.Tapi tak apalah, yang penting aku bisa menyalurkan hobi menulisku." 'Mungkin hanya masalah waktu saja, atau tulisan-tulisanku yang kurang menarik," gumamku dalam hati, ada rasa sedih yang menyelimuti relung hati. Aku pun membalas komen-komen yang enggak seberapa. Setelah itu baru melanjutkan ke aplikasi untuk m
9. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Bos Pelit, Sedang Anakku Kelaparan Penulis: Lusia Sudarti Part 9 *** "Oh ya Ma, ini gaji Papa!" ia menyodorkan uang 500 ribu rupiah. "Alhamdulillah Pa, rejeki kita!" ucapku sambil menerimanya. "Alhamdulillah," ia bersyukur atas semua anugrah Illahi. "Oh iya Pa, setelah ini Mama mau bayar kontrakan, lampu, juga bayar sedikit-sedikit hutang diwarung," aku menjelaskan. "Iya Ma, atur aja ya? Persediaan beras masih banyak kan ... ," tanyanya kemudian. "Alhamdulillah masih Pa, kurang-kurang sedikit kalo masalah lauk, bisa cari sayuran dibelakang. Yang penting ada beras, semua perlengkapan sekolah sudah ada," jelasku. "Iya Ma, ya sudah, siapa tau pekerjaan kita cepet selesai dan nggak ada kendala lagi," sahutnya. "Amiin!" aku tengadahkan tangan untuk berdoa. *****Hari berganti, dan ini akhir tahun, itu tandanya nanti malam pergantian tahun baru.Sedangkan pekerjaanku dan Suami semakin banyak. Tapi belum ada yang selesai. Selesai yang
10. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Ada Yang Mengintai Penulis:Lusia Sudarti Part 10 ***"Sabar ya Ma, kita masih di Sayang Allah. Mungkin dengan ujian ini, kita bisa lebih mendekatkan diri kepadanya," Suami memberi wejangan. "Mama selalu sabar Pa, selaluu sabar. Demi Papa dan Anak-anak," senyumku mengembang. Keesokan harinya, saat kami berangkat. Bos mobil menghentikan perjalanan kami. "Mas, sudah selesai mobilnya?" tanyanya. "Iya sudah bos," jawab Suami datar. "Oh iya, ini Mas uangnya, terima kasih banyak ya Mas? Kurangnya saya minta, kalo lebih buat Nayla!" sambungnya lagi sembari menyodorkan sejumlah uang. "Iya makasih bos," suamiku berbasa-basi. "Sama-sama Mas, oh iya masih kerja di yang jauh?" tanyanya. "Iya bos, belum selesai, ya udah saya pamit dulu, masih jauh perjalanan!" Suamiku berpamitan. "Iya Mas, silahkan!" ia memberi jalan buat kami. Lalu kami melanjutkan perjalanan. "Ma, apa bannya kempes ya?" ia menunduk untuk memastikan kalo beneran kempes. "
11. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Tetap Bersyukur Penulis: Lusia Sudarti Part 11 RATE 18++ *** Hatiku mencelos melihatnya begitu menderita, tak seperti Anak-anak sebayanya yang tak pernah kekurangan. Alhamdulillah buat makan masih ada walau pun ala kadarnya. Jauh dari kata mewah, tapi seenggaknya, tidak kelaparan. Jika keadaan seperti ini terus, aku tak tau, bisa apa tidak aku menyekolahkan Anak-anakku kelak. Yang penting aku dan Suami akan terus berusaha untuk mereka, sampai titik darah penghabisan ....! Huuffft! 'Ya Allah Ya Robb ... berilah sedikit rizqi-Mu untuk kami. AMIIN. Pukul 15:05 saat Suami pulang dari kerja.Aku termenung, apa yang akan kulakukan sekarang ini? Entahlah aku juga tak tau? "Assalamualaikum Ma," ia mengucap salam ketika sampai di depan rumah. "Waalaikumsalam Pa!" kusambut dan kuraih tangannya untukku cium takzim. "Kemana Anak-anak Ma? Kok sepi?" ia celingukan mencari kesana-sini keberadaan Anak-anaknya. "Main Pa!" sahutku dari dalam men
12. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Jangan Tinggalin Papa Ma Penulis:Lusia SudartiRATE 18++++ Part 12 ***Aku begitu geli melihat tingkah Dewi. Ingin cepat keluar dari persembunyian, tapi kutahan dulu. "S1nt1n9 kamu Wi, bisa-bisa dijadiin besi sama Suci," ucap Endang. Aku mendengarkan dari balik persembunyianku dipinggir jalan dibalik rerimbunan bonsai pagar. "Aku nggak takut Ndang sama Suci," ujarnya sinis. "Oh ya, benarkah? Kamu nggak takut?" seru Endang menatap lekat kearah Dewi yang tersenyum penuh arti. Emosiku semakin tak terbendung, aliran darahku seperti lava panas yang siap meledak dari dadaku. Kedua tanganku terkepal, rasanya ingin sekali aku memberinya pelajaran yang takkan pernah dia lupa. Ku atur nafas, untuk meredakan sedikit amarah yang memuncak.Dengan langkah tegas, kuhampiri mereka berdua. Tentu saja mereka kaget bukan kepalang. Terlebih Dewi sang janda genit, penggoda Suami orang. "Su-Su-Suci ... ," Endang gugup dan ketakutan. Sedang Dewi wajahn
13. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Maaf, Tolong, Terimakasih Penulis: Lusia Sudarti Part 13 ***"Adek cali Mama, tapi kata Mbak, Mama beli sabun, ya udah Adek main sama Mbak, sekalang Adek pulang," cerocosnya. "Terus, sekarang Adek lapar?" tanyaku. "Iya Adek lapel Ma," ujarnyacsambil bergelayut manja. "Ya udah, Adek makan dulu, habis makan Mama punya hadiah, tapi harus makan dulu," aku mau memberikan hadiah kecil, berupa susu kotak. "Oke, siaap Ma!" ia begitu antusias mendengarkan kata-kataku. Aku dan Suami tersenyum bangga. "Ini makannya!" aku memberikan sepiring kecil nasi, sayur serta tempe goreng. "Adek cuci tangan dulu ya Ma!" katanya sambil berjalan menuju tempat cuci tangan. Aku tersenyum dan mengangguk. Setelah Nayla selesai makan, kedua Kakaknya pulang dari bermain, kemudian mereka pun ikut makan, karena memang sudah waktunya makan siang. "Mbak, Mas, Adek mau di kasih hadiah lho sama Mama, iya kan Ma?" Nayla memberi tau kedua Kakaknya. "Iya Ma ... ?" s
60. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Tahun Penuh Kebahagiaan Penulis: Lusia Sudarti Part 60 (part terakhir) "Terima kasih untuk cintamu, untuk Papa Sayang!" Suamiku mengecup pucuk kepalaku, nampak sekali Suamiku begitu bahagia dari caranya menatapku ..."Terimakasih juga atas cinta yang Papa berikan buat Mama Pa! Mama begitu bahagia bisa menjadi bagian dari hidup Papa." "Tetaplah disamping Papa Ma ..." "Sudah larut, tidurlah Pa, sini Mama usap kepala Papa," aku menepuk kedua pahaku, memintanya untuk merebahkan kepalanya di pangkuanku. 'Malam belum terlalu larut saat aku bermimpi, hingga Suamiku membangunkan aku, kini ia terlelap begitu damai dalam pangkuanku! Tuhan ... aku bersyukur atas jodoh yang Engkau tetapkan untukku, yang menemani hidupku di dunia ini, amiinn ..." ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บAku memang tidak cantik, tetapi tidak pula jelek, wajahku manis semanis madu. Wkwkwk. Tahun ini adalah tahun penuh kebahagiaan buat keluarga kami.Selama memasuki bulan diawal tahun ini, hid
59. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Bermimpi Penulis : Lusia Sudarti Part 59Tak berapa lama, dari jauh terlihat sorot lampu yang menyinari area lokasi dan menerangi mobil dimana aku seorang diri di dalamnya. Sebetulnya di belakang mobil, masih banyak mobil yang antri seperti kami."Ma ..." Tok! Tok! Tok! Aku segera membuka pintu mobil, Suamiku tersenyum manis kepadaku yang duduk dijok stir. "Enggak ada apa-apa kan Ma ...?" tanya-nya sembari naik kedalam mobil. "Iya Pa, tapi tetap aja takut hehehe!" aku terkekeh sembari beralih tempat duduk. "Enggak akan ada yang menggigit, paling juga ada yang mau menculik!" Seloroh Suamiku sambil membuka plastik dan mengeluarkan dua bungkus nasi. "Ini Ma nasinya!" ia menyerahkan satu bungkus nasi dan aku meraihnya.Aku rasanya tak sabar untuk menyantap nasi yang aromanya begitu menggoda indera penciuman. Setelah mencuci tangan dan membaca doa makan, aku dan Suamiku segera menyantap makanan kami dengan lahap. "Alhamdulilah Ya Alla
58. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Berangkat Kerja Penulis : Lusia Sudarti Part 58"Terus gimana dengan sekolah Ma?" tanya Rani memecah keheningan "Untuk sementara Mama mau cari tukang ojeg," ucapku kemudian. Mereka semua terdiam mendengar ucapanku.Aku merenungi kehidupanku sekarang! Entahlah semoga ini awal yang baik untuk kami. Doa dan harapan yang tak pernah bosan dan putus kupanjatkan. "Ma, sudah sampai nih!" ujar Suamiku sambil menyentuh punggung tanganku. Aku tergagap karena terkejut, ternyata aku melamun, ia tersenyum melihatku yang terlonjak."Makanya gak usah melamun Ma!" canda Rani, ia bersiap turun dari mobil dan menurunkan semua alat-alat perlengkapan yang kami bawa. "Ayo turun Adek ...!" aku segera menuruni tangga mobil dan meraih Nayla untuk kugendong. Kami disambut hangat oleh keluargaku. Tarmi dan Anaknya, Tarmi seorang janda, Suaminya meninggal dunia tiga tahun lalu, karena menderita stroke.Mereka membantu membawa barang-barang yang kami bawa. "Dek
57. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Penulis : Lusia Sudarti Part 57Aduh Mbak, kami belum punya, tetapi jika mau lima ratus dahulu ada nih," ia merogoh uang di saku celananya.Kemudian diberikannya kepadaku. Aku menerima uang dari tangan Bosku itu tanpa semangat! Tetapi aku masih menunjukkan sikap menghargai kepada mereka. Malam ini terasa begitu dingin, kebetulan aku lupa memakai switer, jadi angin malam seolah menusuk kulit hingga tembus tulang sum-sum. "Ayo pulangn Pa." Aku dan Suamiku lemas seketika! Kami sedikit kecewa, bukan sedikit sih ... janji mereka mau melunasi hari ini. Tapi sayangnya mereka masih mengingkarinya. Sedangkan aku dan Suamiku mempunyai janji untuk membayar dulu bunga pinjaman pan4s!Tapi apa boleh buat, yang ada dulu dibayarin, sisanya nanti kalo udah dapat lagi. "Gimana ini Pa, masa iya cuma segini! Kan bingung mau kasih taunya gimana! Sedangkan semua telah menjadi dua juta!" ucapku sedikit kecewa. "Mau gimana lagi Ma, kirim dulu yang ada!" ja
56. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Pergantian Tahun Penulis : Lusia Sudarti Part 56"Heii, Mama gak apa-apa kok, udah jangan menangis, kita berdoa aja semoga kita dapat rizqi untuk membayar semuanya," aku memeluk mereka semua.Tak kupungkiri hatikupun sakit tiada terkira.Tetapi aku harus tegar demi mereka. "Mbak mau ngaji gak?" tanyaku seraya melerai pelukan. "Iya Ma ngaji," jawabnya. "Ya udah makan dulu lalu bersiap-siaplah," titahku kepada mereka berdua.Mereka pun mengangguk dan beranjak masuk. Aku menarik nafas dengan berat dan kuhempaskan perlahan.Aku membuka ponselku kembali dan menonton youtube bersama Nayla.Melihat tingkah lucu si kucing dalam video.Nayla tertawa terbahak-bahak hingga mengundang rasa penasaran kedua Kakaknya yang sedang beres-beres sebelum berangkat ngaji. "Hahaha, lihat Ma lucu sekali kucingnya, bisa beldili juga ngomong," teriak Nayla kembali, akupun tertawa melihatnya. "Mana Dek ...!" ujar Rani juga Indra berlari menuju kearahku dan Nay
55. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nas Selalu Sakit Hati Penulis : Lusia Sudarti Part 55 Tring! Aku terkejut mendengar suara nyaring dari ponselku. "Tolong antarkan sekarang ..." Aku hanya mengusap dada membaca pesan whatsapp dari Mbak Neni. "Mbak, saya belum gajihan, ada uang baru dapat sisa bayaran dari Kak Andi, tetapi gak cukup untuk bayar bunganya, di rumah saya beras pun gak ada, jadi untuk beli beras dan bahan-bahan masak yang lain karena sudah habis semua," segera aku mengirimkan balasan. Pesan balasanku pun telah dibaca dan dilayar ia sedang mengetik.Tring!"Tapi ini sudah berjalan tiga minggu, jadi gimana? Sedang perjanjian kemarin dua minggu bunganya lima ratus ribu jika meminjam satu juta ..." Aku membaca pesan itu dengan hati gundah gulana, bingung, sedih sekali pastinya.'Entah kenapa tak ada sedikitpun iba pada kami yang sedang betul-betul kesusahan.Untuk makan pun sulit," gumamku dalam hati. Sementara itu dalam kegelisahan aku melangkah masuk kedalam ka
54. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi Terlilit Hutang Kembali Penulis : Lusia Sudarti Part 54"Gak perlu ... aku mau belanja Mbak! Tolong kerjasamanya, aku juga butuh modal, dipasar gak bisa ngutang, seperti kamu yang seenaknya ngutang gak mau bayar!" ujarnya dengan angkuh, aku hanya terdiam, kata-katanya begitu menusuk kalbu yang paling dalam.Sakit sekali rasanya. Ira yang duduk disampingku seketika bungkam mendengar ucapan pedas Teh Yeni tukang sayur langganan kami.Suamiku turun dari atas mesin mobil, ia menghampiri Teh Yeni yang berdiri dengan congkak di hadapanku. "Sabar Teh, bukan gak mau bayar, tapi memang ekonomi kami sangat sulit, borongan mobil ini dikasbon sedikit-sedikit untuk beli beras satu atau dua kilo, untuk mengganjal perut Anak dan Istriku. Juga gak seberapa besar hasilnya, untuk makanpun pas-pasan, jadi Teh, bukan gak mau bayar, emang bener-bener gak punya," ujarnya dengan raut memerah, ia mencoba sabar untuk menghadapi Teh Yeni. Aku tau, ia pasti sangat
53. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Penulis : Lusia Sudarti Part 53Aku meraih gawai lalu membukanya.Kedua netraku membola saat membaca pesan whatsapp itu. "Ada apa Ci?" tanya Ira penasaran, ia ikut membaca pesan yang tertera diponselku. "Ya Allah Ci, kamu terlilit hutang berbunga?" Kini gantian Ira yang terbelalak menatapku tak percaya. "Iya Ir," jawabku sembari menunduk membaca dengan seksama pesan whatsapp diponselku. "Mbak, gimana uang yang kemarin? Ini udah tiga minggu, sedangkan janji dua minggu! Waktu terus berjalan!" pesan whatsapp dari Mbak Neni. "Iya Mbak, kami belum gajian!" balasku. Tring! Rupanya langsung dibaca dan dibalas. "Bayar dulu bunganya," balasnya kemudian. "Iya Mbak, nanti kalo cair ya?" balasku. Aku mengetik balasan selanjutnya lalu kukirim kembali. Hanya diread, tetapi tak dibalas kembali. "Ya Allah Ci, berapa emangnya kamu pinjem?" seru Ira. Ia kembali menatapku. "Satu juta, bunganya perdua minggu lima ratus ribu, jadi semua satu juta
52. Semangkuk Kelapa Parut Untuk Lauk Nasi. Bongkar Mesin. Penulis : Lusia Sudarti Part 52"Ma, ada wak Andi di rumah membawa mobil." "Iya udah, Papa belum pulang?" tanyaku sembari melangkah, menapaki jalan cor yang belum lama selesai dibangun. "Belum Ma," ujarnya disisiku.Sekirtar dua menit kami tiba dikontrakan, di teras Kak Andi telah menunggu, mobilpun telah terparkir cantik di halaman samping. "Udah lama Kak?" Tanyaku sembari menjatuhkan bobot di kursi teras, setelah mempersilhkan beliau duduk. "Belum Mbak, baru aja sampai," jawabnya. "Oh iya ya Kak." "Mbak, kalau Mas Iman mau menyalakan mesin ini kuncinya!" Kak Andi menunjukkan kunci distir mobil. "Iya Kak, insyaallah nanti malam kalau gak besok pagi di cek ya?" jawabku sembari memeriksa mobil. "Iya Mbak, saya permisi dulu!" Kak Andi pamit setelah memberi penjelasan kerusakan mobil kepadaku. "Minum dulu Kak." "Terima kasih banyak Mbak, baru saja minum!" tolaknya dengan halus. Kemudian beliau melangkah menuju jalan