Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.
Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.
Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."
Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wulan selalu merasa bahagia melihat Dimas tenang. Baginya, cinta yang ia rasakan terhadap suaminya masih menjadi alasan utama untuk bertahan, meski realitas di rumah ini semakin terasa menekan.
"Sayang, minggu depan aku ada tugas ke luar kota beberapa hari," ujar Dimas tiba-tiba, memecah keheningan.
Wulan tertegun sejenak. "Ke luar kota? Berapa lama, Mas?"
"Mungkin sekitar tiga atau empat hari. Ada proyek penting yang harus aku urus," jawab Dimas tanpa menunjukkan tanda-tanda berat hati. "Aku yakin kamu bisa mengurus semuanya di sini. Lagipula, Ibu dan Ana ada di rumah."
Wulan mengangguk, meski jauh di dalam hatinya ia merasa cemas. Kepergian Dimas berarti ia akan lebih sering sendirian di rumah dengan ibu mertua dan Ana. Selama ini, kehadiran Dimas setidaknya menjadi peredam perlakuan dingin yang mereka tunjukkan. Setiap kali Dimas ada, ibu mertuanya bersikap lebih ramah, dan Ana bahkan bisa bersikap lebih lembut, meski hanya sebentar. Tanpa Dimas, Wulan tahu bahwa tekanan itu akan semakin besar.
"Jangan khawatir, Mas. Aku bisa mengurus semuanya," jawab Wulan, tetap berusaha tersenyum.
Dimas tersenyum puas dan mencium kening Wulan sebelum berangkat kerja. "Kamu istri yang hebat, Wulan. Terima kasih untuk semuanya."
Kata-kata Dimas seharusnya bisa menghangatkan hatinya, tapi yang Wulan rasakan justru kebingungan. "Istri yang hebat?" pikirnya. Hebat dalam hal apa? Dalam menahan beban yang tak pernah dia ceritakan? Dalam berpura-pura bahagia di tengah tekanan yang semakin berat?
Hari itu berlalu seperti biasa, tetapi di dalam hati Wulan, kekhawatiran tentang kepergian Dimas terus menghantui pikirannya. Ketika malam tiba dan Dimas pulang, Wulan memastikan semua tampak normal, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Namun, bahkan dalam keheningan malam, Wulan tak bisa menenangkan pikirannya.
Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Dimas berangkat ke luar kota. Pagi itu, rumah terasa lebih sunyi. Setelah mengantarkan Dimas ke pintu dan melambaikan tangan untuk terakhir kalinya, Wulan menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Ketika mobil Dimas menghilang di tikungan jalan, Wulan berbalik dan kembali ke rumah, menghela napas panjang.
Seperti yang ia duga, ibu mertuanya langsung menunjukkan perubahan sikap. Begitu Wulan masuk ke ruang tamu, ia melihat ibu mertuanya duduk di sofa dengan ekspresi datar. "Hari ini banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan, Wulan," ucapnya tanpa basa-basi.
Wulan sudah siap dengan perintah ini. "Iya, Bu. Apa yang harus saya kerjakan?"
"Ibu ingin rumah ini dibersihkan secara menyeluruh. Lantai, jendela, dapur—semua harus terlihat berkilau. Dan jangan lupa untuk menyiapkan makanan untuk kami nanti malam," jawab ibu mertuanya dengan nada yang tak bisa ditawar.
Wulan hanya mengangguk, berusaha menerima semua itu dengan sabar. Namun, saat ia mulai bergerak untuk memulai pekerjaan, Ana tiba-tiba muncul dari kamarnya. Dengan gaya santai, Ana berjalan ke ruang tamu dan duduk di sebelah ibunya, seolah-olah hanya seorang tamu yang baru tiba.
"Mbak, nanti kalau sempat, bisa sekalian bersihkan kamar aku juga, ya? Dan jangan lupa beli skincare-ku di toko online, aku sudah kasih daftarnya di ponsel," ujar Ana tanpa melihat ke arah Wulan, matanya terpaku pada layar ponselnya.
Hati Wulan sedikit tersentak. Ada sesuatu tentang cara Ana berbicara yang membuatnya merasa sangat kecil. Perintah itu terasa seperti bukan permintaan dari seorang saudara, melainkan lebih seperti majikan kepada pelayannya. Namun, Wulan tidak protes. Ia hanya mengangguk, kembali berusaha menjaga perasaannya agar tetap tenang.
Seluruh hari itu dihabiskan Wulan dengan membersihkan rumah dari lantai ke langit-langit. Setiap ruangan disentuhnya dengan teliti, memastikan tak ada debu yang tertinggal. Tubuhnya lelah, tetapi ia terus bekerja tanpa henti. Pikirannya melayang-layang, mencoba menemukan alasan untuk tetap bertahan. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanyalah fase sementara, bahwa suatu hari nanti semuanya akan membaik.
Namun, malam itu, setelah pekerjaan rumah selesai dan Wulan duduk sendirian di dapur, ia mulai merasakan beratnya beban yang selama ini ia pikul. Hati kecilnya mulai bertanya-tanya, apakah semua ini benar-benar sepadan? Apakah cintanya pada Dimas cukup kuat untuk mengatasi semua kesulitan ini?
Wulan memandang keluar jendela dapur yang gelap. Bayangan dirinya di kaca tampak lelah, jauh dari gambaran seorang wanita yang bahagia. "Apa yang sebenarnya aku cari di sini?" gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara kesunyian malam.
Hari-hari berikutnya pun berlangsung dengan pola yang sama. Tanpa kehadiran Dimas, Wulan menjadi satu-satunya yang harus memastikan rumah berjalan dengan baik. Ibu mertuanya memberikan tugas-tugas yang semakin berat, dan Ana terus bersikap seolah-olah Wulan adalah pelayan pribadi yang siap melayani setiap kebutuhannya.
Wulan mulai merasa semakin terisolasi. Satu-satunya hiburan kecil yang ia miliki adalah menghabiskan waktu di halaman belakang rumah, di mana ia bisa menikmati udara segar dan melupakan sejenak beban rumah tangga. Di sana, di antara tanaman-tanaman kecil yang ia rawat sendiri, Wulan merasakan ketenangan yang jarang ia temukan di tempat lain.
Namun, setiap kali ia kembali masuk ke dalam rumah, ketegangan itu kembali. Setiap gerak-geriknya terasa diawasi. Setiap kata yang ia ucapkan seolah-olah dihakimi.
Ketika akhirnya Dimas pulang dari tugas luar kotanya, Wulan berharap kehadirannya bisa membawa sedikit perubahan. Namun, Dimas pulang dalam keadaan lelah, terlalu sibuk dengan pekerjaan untuk menyadari apa yang terjadi di rumah selama ia pergi.
Malam itu, ketika mereka berdua berbaring di tempat tidur, Wulan ingin sekali menceritakan semuanya kepada Dimas—tentang perlakuan ibu mertuanya, tentang sikap Ana yang semakin membuatnya tertekan. Tetapi ketika ia hendak membuka mulutnya, sesuatu menghentikannya. Ada rasa takut yang begitu dalam di hatinya, takut bahwa jika ia mengeluh, Dimas akan memandangnya sebagai istri yang lemah. Takut bahwa hubungan mereka akan berubah menjadi lebih buruk jika ia mulai mengungkapkan perasaannya.
Dan sekali lagi, Wulan memilih diam. Ia menahan semua rasa sakit itu sendirian, berharap bahwa suatu hari nanti semuanya akan berubah. Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa perubahan itu mungkin tidak akan datang dengan mudah.
Hari-hari pun berlalu, dan perlakuan dingin dari keluarga Dimas semakin terasa menekan. Namun, Wulan tetap bertahan, percaya bahwa cintanya pada Dimas akan menjadi penyelamat dalam situasi ini. Meskipun ia semakin sulit menahan beban emosional yang semakin berat, ia terus berusaha untuk tidak memperlihatkan kelemahannya di depan suami.
Namun, seiring waktu berjalan, Wulan mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada bara kecil yang mulai menyala di dalam dirinya—sebuah keinginan untuk keluar dari cengkeraman situasi ini, untuk membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar istri yang diam. Keinginan itu perlahan tumbuh, meskipun Wulan belum tahu bagaimana ia akan mewujudkannya.
Tetapi satu hal yang pasti, Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus bertahan seperti ini selamanya.
Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.Daftar Pekerjaan Hari Ini:1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.2. Cuci dan setrika semua pakaian.3. Siapkan makan siang dan malam.4. Belanja kebutuhan dapur.Wulan menatap daftar tersebut d
Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas
Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai me
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi."Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus,
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.Wula