Share

Bab 4: Keheningan yang Menyembunyikan Luka

Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.

Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.

Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."

Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wulan selalu merasa bahagia melihat Dimas tenang. Baginya, cinta yang ia rasakan terhadap suaminya masih menjadi alasan utama untuk bertahan, meski realitas di rumah ini semakin terasa menekan.

"Sayang, minggu depan aku ada tugas ke luar kota beberapa hari," ujar Dimas tiba-tiba, memecah keheningan.

Wulan tertegun sejenak. "Ke luar kota? Berapa lama, Mas?"

"Mungkin sekitar tiga atau empat hari. Ada proyek penting yang harus aku urus," jawab Dimas tanpa menunjukkan tanda-tanda berat hati. "Aku yakin kamu bisa mengurus semuanya di sini. Lagipula, Ibu dan Ana ada di rumah."

Wulan mengangguk, meski jauh di dalam hatinya ia merasa cemas. Kepergian Dimas berarti ia akan lebih sering sendirian di rumah dengan ibu mertua dan Ana. Selama ini, kehadiran Dimas setidaknya menjadi peredam perlakuan dingin yang mereka tunjukkan. Setiap kali Dimas ada, ibu mertuanya bersikap lebih ramah, dan Ana bahkan bisa bersikap lebih lembut, meski hanya sebentar. Tanpa Dimas, Wulan tahu bahwa tekanan itu akan semakin besar.

"Jangan khawatir, Mas. Aku bisa mengurus semuanya," jawab Wulan, tetap berusaha tersenyum.

Dimas tersenyum puas dan mencium kening Wulan sebelum berangkat kerja. "Kamu istri yang hebat, Wulan. Terima kasih untuk semuanya."

Kata-kata Dimas seharusnya bisa menghangatkan hatinya, tapi yang Wulan rasakan justru kebingungan. "Istri yang hebat?" pikirnya. Hebat dalam hal apa? Dalam menahan beban yang tak pernah dia ceritakan? Dalam berpura-pura bahagia di tengah tekanan yang semakin berat?

Hari itu berlalu seperti biasa, tetapi di dalam hati Wulan, kekhawatiran tentang kepergian Dimas terus menghantui pikirannya. Ketika malam tiba dan Dimas pulang, Wulan memastikan semua tampak normal, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Namun, bahkan dalam keheningan malam, Wulan tak bisa menenangkan pikirannya.

Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Dimas berangkat ke luar kota. Pagi itu, rumah terasa lebih sunyi. Setelah mengantarkan Dimas ke pintu dan melambaikan tangan untuk terakhir kalinya, Wulan menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Ketika mobil Dimas menghilang di tikungan jalan, Wulan berbalik dan kembali ke rumah, menghela napas panjang.

Seperti yang ia duga, ibu mertuanya langsung menunjukkan perubahan sikap. Begitu Wulan masuk ke ruang tamu, ia melihat ibu mertuanya duduk di sofa dengan ekspresi datar. "Hari ini banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan, Wulan," ucapnya tanpa basa-basi.

Wulan sudah siap dengan perintah ini. "Iya, Bu. Apa yang harus saya kerjakan?"

"Ibu ingin rumah ini dibersihkan secara menyeluruh. Lantai, jendela, dapur—semua harus terlihat berkilau. Dan jangan lupa untuk menyiapkan makanan untuk kami nanti malam," jawab ibu mertuanya dengan nada yang tak bisa ditawar.

Wulan hanya mengangguk, berusaha menerima semua itu dengan sabar. Namun, saat ia mulai bergerak untuk memulai pekerjaan, Ana tiba-tiba muncul dari kamarnya. Dengan gaya santai, Ana berjalan ke ruang tamu dan duduk di sebelah ibunya, seolah-olah hanya seorang tamu yang baru tiba.

"Mbak, nanti kalau sempat, bisa sekalian bersihkan kamar aku juga, ya? Dan jangan lupa beli skincare-ku di toko online, aku sudah kasih daftarnya di ponsel," ujar Ana tanpa melihat ke arah Wulan, matanya terpaku pada layar ponselnya.

Hati Wulan sedikit tersentak. Ada sesuatu tentang cara Ana berbicara yang membuatnya merasa sangat kecil. Perintah itu terasa seperti bukan permintaan dari seorang saudara, melainkan lebih seperti majikan kepada pelayannya. Namun, Wulan tidak protes. Ia hanya mengangguk, kembali berusaha menjaga perasaannya agar tetap tenang.

Seluruh hari itu dihabiskan Wulan dengan membersihkan rumah dari lantai ke langit-langit. Setiap ruangan disentuhnya dengan teliti, memastikan tak ada debu yang tertinggal. Tubuhnya lelah, tetapi ia terus bekerja tanpa henti. Pikirannya melayang-layang, mencoba menemukan alasan untuk tetap bertahan. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanyalah fase sementara, bahwa suatu hari nanti semuanya akan membaik.

Namun, malam itu, setelah pekerjaan rumah selesai dan Wulan duduk sendirian di dapur, ia mulai merasakan beratnya beban yang selama ini ia pikul. Hati kecilnya mulai bertanya-tanya, apakah semua ini benar-benar sepadan? Apakah cintanya pada Dimas cukup kuat untuk mengatasi semua kesulitan ini?

Wulan memandang keluar jendela dapur yang gelap. Bayangan dirinya di kaca tampak lelah, jauh dari gambaran seorang wanita yang bahagia. "Apa yang sebenarnya aku cari di sini?" gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara kesunyian malam.

Hari-hari berikutnya pun berlangsung dengan pola yang sama. Tanpa kehadiran Dimas, Wulan menjadi satu-satunya yang harus memastikan rumah berjalan dengan baik. Ibu mertuanya memberikan tugas-tugas yang semakin berat, dan Ana terus bersikap seolah-olah Wulan adalah pelayan pribadi yang siap melayani setiap kebutuhannya.

Wulan mulai merasa semakin terisolasi. Satu-satunya hiburan kecil yang ia miliki adalah menghabiskan waktu di halaman belakang rumah, di mana ia bisa menikmati udara segar dan melupakan sejenak beban rumah tangga. Di sana, di antara tanaman-tanaman kecil yang ia rawat sendiri, Wulan merasakan ketenangan yang jarang ia temukan di tempat lain.

Namun, setiap kali ia kembali masuk ke dalam rumah, ketegangan itu kembali. Setiap gerak-geriknya terasa diawasi. Setiap kata yang ia ucapkan seolah-olah dihakimi.

Ketika akhirnya Dimas pulang dari tugas luar kotanya, Wulan berharap kehadirannya bisa membawa sedikit perubahan. Namun, Dimas pulang dalam keadaan lelah, terlalu sibuk dengan pekerjaan untuk menyadari apa yang terjadi di rumah selama ia pergi.

Malam itu, ketika mereka berdua berbaring di tempat tidur, Wulan ingin sekali menceritakan semuanya kepada Dimas—tentang perlakuan ibu mertuanya, tentang sikap Ana yang semakin membuatnya tertekan. Tetapi ketika ia hendak membuka mulutnya, sesuatu menghentikannya. Ada rasa takut yang begitu dalam di hatinya, takut bahwa jika ia mengeluh, Dimas akan memandangnya sebagai istri yang lemah. Takut bahwa hubungan mereka akan berubah menjadi lebih buruk jika ia mulai mengungkapkan perasaannya.

Dan sekali lagi, Wulan memilih diam. Ia menahan semua rasa sakit itu sendirian, berharap bahwa suatu hari nanti semuanya akan berubah. Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa perubahan itu mungkin tidak akan datang dengan mudah.

Hari-hari pun berlalu, dan perlakuan dingin dari keluarga Dimas semakin terasa menekan. Namun, Wulan tetap bertahan, percaya bahwa cintanya pada Dimas akan menjadi penyelamat dalam situasi ini. Meskipun ia semakin sulit menahan beban emosional yang semakin berat, ia terus berusaha untuk tidak memperlihatkan kelemahannya di depan suami.

Namun, seiring waktu berjalan, Wulan mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada bara kecil yang mulai menyala di dalam dirinya—sebuah keinginan untuk keluar dari cengkeraman situasi ini, untuk membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar istri yang diam. Keinginan itu perlahan tumbuh, meskipun Wulan belum tahu bagaimana ia akan mewujudkannya.

Tetapi satu hal yang pasti, Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus bertahan seperti ini selamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status