Share

Bab 7: Gelombang Ketenangan yang Palsu

Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.

Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.

Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai menjauh, kehangatan pagi itu pun memudar.

“Hari ini, jangan lupa bersihkan kamar Ana dan ruang tamu dengan lebih teliti,” perintah ibu mertuanya sambil menyesap teh hangat. Tidak ada kata tolong, tidak ada senyuman yang menandakan kehangatan.

Ana, yang duduk di seberang ibunya, hanya melirik Wulan sebentar sebelum melanjutkan mengotak-atik ponselnya. Wulan tahu, ada ketidaknyamanan yang dirasakan Ana terhadap dirinya, tapi Ana terlalu pintar untuk menunjukkan rasa itu secara langsung di hadapan Dimas.

“Baik, Bu,” jawab Wulan dengan nada pelan tapi sopan, seperti biasanya. Dia menundukkan kepala dan beranjak dari meja makan untuk memulai hari.


Saat Wulan sibuk membersihkan kamar Ana, ia mendengar bunyi notifikasi di ponselnya yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidur. Ternyata itu pesan dari salah satu klien pekerjaannya. Meskipun pekerjaan sampingan ini masih sangat rahasia, Wulan sudah mulai terbiasa dengan rutinitas menyeimbangkan antara tugas rumah tangga dan pekerjaan online-nya.

Pesan itu berisi ucapan terima kasih atas hasil kerja Wulan yang dianggap memuaskan. Sebuah pujian yang meskipun sederhana, terasa seperti oase di tengah gurun bagi Wulan. Di dalam hatinya, ia merasa senang karena setidaknya ada satu aspek dalam hidupnya di mana ia masih bisa mengendalikan sesuatu dan menghasilkan nilai.

Namun, di saat yang sama, Wulan juga menyadari bahwa kehidupannya di rumah tidak akan pernah benar-benar berubah jika ia hanya fokus pada pekerjaannya yang dirahasiakan ini. Ia harus tetap menghadapi perlakuan dingin dari ibu mertuanya dan Ana setiap hari, tanpa dukungan dari suaminya yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Wulan menahan air mata yang hampir jatuh. Bukan saatnya untuk merasa lemah. Ia menyimpan ponselnya kembali dan melanjutkan pekerjaannya, menyapu lantai kamar dengan lebih teliti seperti yang diperintahkan.


Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Dimas semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang terlambat atau bahkan keluar kota untuk urusan bisnis. Setiap kali ia pergi, Wulan harus menghadapi ibunya dan Ana sendirian. Namun, Wulan selalu berusaha untuk tetap tenang di depan Dimas.

Suatu malam, ketika Dimas pulang lebih awal dari biasanya, ia menemukan Wulan sedang duduk sendirian di ruang tamu. Matanya tampak lelah, tapi senyumnya tetap hangat seperti biasa.

"Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat capek," tanya Dimas sambil mendekatinya dan duduk di sampingnya.

Wulan mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, Mas. Hanya sedikit lelah setelah seharian bekerja di rumah."

Dimas menggenggam tangan Wulan dan menciumnya. "Maaf, aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Aku merasa bersalah meninggalkanmu sendirian di rumah."

Wulan hanya tersenyum, meskipun ada banyak hal yang ingin ia katakan. Ia ingin berbicara tentang perlakuan ibu mertuanya, tentang bagaimana Ana sering bersikap tidak sopan kepadanya, dan tentang beban mental yang harus ia hadapi sendirian setiap hari. Namun, setiap kali kesempatan itu datang, Wulan selalu menahan diri. Ia tidak ingin membuat Dimas khawatir atau merasa tertekan.

"Lagian, Mama dan Ana juga ada di rumah, kan? Kamu nggak sendirian," tambah Dimas, seolah yakin bahwa keluarganya selalu ada untuk mendukung Wulan.

Wulan tersenyum pahit dalam hati, tapi ia tetap menganggukkan kepala. Ia tak ingin merusak suasana dengan kenyataan pahit yang hanya ia rasakan sendirian.


Malam itu, setelah Dimas tertidur, Wulan duduk di sudut ranjang, merenungi kehidupannya. Perasaan sendirian begitu kuat menghantam dirinya. Meski Dimas selalu berusaha menunjukkan perhatian, ia tahu bahwa perhatian itu hanya terwujud dalam bentuk fisik dan kata-kata sementara. Di balik semua itu, ada jurang dalam antara mereka berdua yang terus melebar.

Wulan memandang ke arah cermin di meja rias. Refleksi dirinya di sana menunjukkan seorang wanita yang tampak tenang di luar, tapi di dalam, penuh keraguan dan kesedihan. Ia merindukan kehidupan yang penuh cinta dan kehangatan—bukan hanya dari suaminya, tapi juga dari orang-orang di sekitarnya. Namun, impian itu terasa semakin jauh, seiring waktu berjalan.

Di tengah malam yang sepi, Wulan merenung. Selama ini, ia berusaha keras untuk menjadi istri yang baik, menuruti semua keinginan keluarga Dimas, dan menjaga keharmonisan rumah tangga mereka. Namun, sampai kapan ia harus terus bertahan dalam situasi ini? Apakah akan ada perubahan, ataukah semua ini akan terus menjadi beban yang harus ia pikul seorang diri?

Setelah lama tenggelam dalam pikirannya, Wulan akhirnya memutuskan bahwa ia tidak bisa terus begini. Ia harus mencari cara untuk melindungi dirinya sendiri. Ia mulai berpikir untuk mengumpulkan kekuatan, mengasah kemampuan, dan merencanakan jalan keluar yang lebih baik. Meski belum jelas apa yang harus dilakukan, Wulan tahu bahwa suatu hari, ia akan membalikkan keadaan.

Dengan tekad yang perlahan tumbuh di dalam hatinya, Wulan bersiap untuk menghadapi hari-hari berikutnya dengan cara yang berbeda. Kini, ia tidak hanya fokus pada rutinitas rumah tangga dan pekerjaan sampingan, tetapi juga mulai memikirkan langkah-langkah strategis untuk masa depannya.

Dalam keheningan malam itu, Wulan menyadari bahwa ia tidak bisa terus menjadi korban dari situasi yang ada. Perlahan tapi pasti, ia akan membangun kembali dirinya, dengan atau tanpa bantuan dari orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status