Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.
Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.
Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai menjauh, kehangatan pagi itu pun memudar.
“Hari ini, jangan lupa bersihkan kamar Ana dan ruang tamu dengan lebih teliti,” perintah ibu mertuanya sambil menyesap teh hangat. Tidak ada kata tolong, tidak ada senyuman yang menandakan kehangatan.
Ana, yang duduk di seberang ibunya, hanya melirik Wulan sebentar sebelum melanjutkan mengotak-atik ponselnya. Wulan tahu, ada ketidaknyamanan yang dirasakan Ana terhadap dirinya, tapi Ana terlalu pintar untuk menunjukkan rasa itu secara langsung di hadapan Dimas.
“Baik, Bu,” jawab Wulan dengan nada pelan tapi sopan, seperti biasanya. Dia menundukkan kepala dan beranjak dari meja makan untuk memulai hari.
Saat Wulan sibuk membersihkan kamar Ana, ia mendengar bunyi notifikasi di ponselnya yang diletakkan di atas meja dekat tempat tidur. Ternyata itu pesan dari salah satu klien pekerjaannya. Meskipun pekerjaan sampingan ini masih sangat rahasia, Wulan sudah mulai terbiasa dengan rutinitas menyeimbangkan antara tugas rumah tangga dan pekerjaan online-nya.
Pesan itu berisi ucapan terima kasih atas hasil kerja Wulan yang dianggap memuaskan. Sebuah pujian yang meskipun sederhana, terasa seperti oase di tengah gurun bagi Wulan. Di dalam hatinya, ia merasa senang karena setidaknya ada satu aspek dalam hidupnya di mana ia masih bisa mengendalikan sesuatu dan menghasilkan nilai.
Namun, di saat yang sama, Wulan juga menyadari bahwa kehidupannya di rumah tidak akan pernah benar-benar berubah jika ia hanya fokus pada pekerjaannya yang dirahasiakan ini. Ia harus tetap menghadapi perlakuan dingin dari ibu mertuanya dan Ana setiap hari, tanpa dukungan dari suaminya yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Wulan menahan air mata yang hampir jatuh. Bukan saatnya untuk merasa lemah. Ia menyimpan ponselnya kembali dan melanjutkan pekerjaannya, menyapu lantai kamar dengan lebih teliti seperti yang diperintahkan.
Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Dimas semakin sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang terlambat atau bahkan keluar kota untuk urusan bisnis. Setiap kali ia pergi, Wulan harus menghadapi ibunya dan Ana sendirian. Namun, Wulan selalu berusaha untuk tetap tenang di depan Dimas.
Suatu malam, ketika Dimas pulang lebih awal dari biasanya, ia menemukan Wulan sedang duduk sendirian di ruang tamu. Matanya tampak lelah, tapi senyumnya tetap hangat seperti biasa.
"Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat capek," tanya Dimas sambil mendekatinya dan duduk di sampingnya.
Wulan mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, Mas. Hanya sedikit lelah setelah seharian bekerja di rumah."
Dimas menggenggam tangan Wulan dan menciumnya. "Maaf, aku terlalu sibuk akhir-akhir ini. Aku merasa bersalah meninggalkanmu sendirian di rumah."
Wulan hanya tersenyum, meskipun ada banyak hal yang ingin ia katakan. Ia ingin berbicara tentang perlakuan ibu mertuanya, tentang bagaimana Ana sering bersikap tidak sopan kepadanya, dan tentang beban mental yang harus ia hadapi sendirian setiap hari. Namun, setiap kali kesempatan itu datang, Wulan selalu menahan diri. Ia tidak ingin membuat Dimas khawatir atau merasa tertekan.
"Lagian, Mama dan Ana juga ada di rumah, kan? Kamu nggak sendirian," tambah Dimas, seolah yakin bahwa keluarganya selalu ada untuk mendukung Wulan.
Wulan tersenyum pahit dalam hati, tapi ia tetap menganggukkan kepala. Ia tak ingin merusak suasana dengan kenyataan pahit yang hanya ia rasakan sendirian.
Malam itu, setelah Dimas tertidur, Wulan duduk di sudut ranjang, merenungi kehidupannya. Perasaan sendirian begitu kuat menghantam dirinya. Meski Dimas selalu berusaha menunjukkan perhatian, ia tahu bahwa perhatian itu hanya terwujud dalam bentuk fisik dan kata-kata sementara. Di balik semua itu, ada jurang dalam antara mereka berdua yang terus melebar.
Wulan memandang ke arah cermin di meja rias. Refleksi dirinya di sana menunjukkan seorang wanita yang tampak tenang di luar, tapi di dalam, penuh keraguan dan kesedihan. Ia merindukan kehidupan yang penuh cinta dan kehangatan—bukan hanya dari suaminya, tapi juga dari orang-orang di sekitarnya. Namun, impian itu terasa semakin jauh, seiring waktu berjalan.
Di tengah malam yang sepi, Wulan merenung. Selama ini, ia berusaha keras untuk menjadi istri yang baik, menuruti semua keinginan keluarga Dimas, dan menjaga keharmonisan rumah tangga mereka. Namun, sampai kapan ia harus terus bertahan dalam situasi ini? Apakah akan ada perubahan, ataukah semua ini akan terus menjadi beban yang harus ia pikul seorang diri?
Setelah lama tenggelam dalam pikirannya, Wulan akhirnya memutuskan bahwa ia tidak bisa terus begini. Ia harus mencari cara untuk melindungi dirinya sendiri. Ia mulai berpikir untuk mengumpulkan kekuatan, mengasah kemampuan, dan merencanakan jalan keluar yang lebih baik. Meski belum jelas apa yang harus dilakukan, Wulan tahu bahwa suatu hari, ia akan membalikkan keadaan.
Dengan tekad yang perlahan tumbuh di dalam hatinya, Wulan bersiap untuk menghadapi hari-hari berikutnya dengan cara yang berbeda. Kini, ia tidak hanya fokus pada rutinitas rumah tangga dan pekerjaan sampingan, tetapi juga mulai memikirkan langkah-langkah strategis untuk masa depannya.
Dalam keheningan malam itu, Wulan menyadari bahwa ia tidak bisa terus menjadi korban dari situasi yang ada. Perlahan tapi pasti, ia akan membangun kembali dirinya, dengan atau tanpa bantuan dari orang lain.
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi."Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus,
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.Wula
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Rina berlalu dengan cepat. Wulan mulai terlibat lebih intens dalam proyek-proyek Solus Group, meski tetap menjaga rutinitas rumah tangganya dengan cermat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan siap untuk Dimas sebelum berangkat kerja, dan ketika Dimas pulang, Wulan selalu ada di rumah, menyiapkan makan malam dengan rapi.Namun, di balik semua itu, Wulan mulai merasakan tekanan yang lebih besar dari keluarga Dimas, terutama dari ibu mertuanya, Bu Ratna, dan Ana. Keduanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin dan menyindir Wulan di saat Dimas tidak berada di rumah. Meski perlakuan mereka belum sepenuhnya kasar, Wulan bisa merasakan ketidaksukaan yang semakin jelas dari hari ke hari.Suatu sore, ketika Wulan sedang memotong sayuran di dapur, Ana masuk dengan wajah cemberut. Gadis itu langsung mengambil segelas air tanpa menyapa Wulan sama sekali. Sikap dingin itu sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini Ana tampak lebih kesal daripada biasanya."Kak W
Waktu terus berjalan, dan Wulan mulai terbiasa dengan perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Setiap hari seperti permainan di mana ia harus menjaga ketenangannya, memainkan peran sebagai menantu dan istri yang baik di depan keluarga Dimas. Ia masih setia menyembunyikan perasaannya, menutup rapat-rapat rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah kekuatan yang pelan-pelan terbangun dari dalam dirinya.Hari itu, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan bersama Bu Ratna. Ana sudah pergi lebih awal untuk bertemu teman-temannya, meninggalkan Wulan dan ibu mertuanya dalam keheningan yang tak nyaman. Seperti biasa, Bu Ratna memulai percakapan dengan nada yang dingin namun penuh dengan sindiran halus."Wulan, sudah berapa lama kamu menikah dengan Dimas?" tanya Bu Ratna sambil menyeruput teh hijau di cangkirnya."Tiga tahun, Bu," jawab Wulan dengan tenang. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu, n
Pagi itu, seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi Dimas dan keluarganya. Ia berdiri di dapur, menyeduh kopi dan memanggang roti, sementara pikirannya melayang-layang. Ketenangan pagi selalu menjadi waktu bagi Wulan untuk merenung, meskipun hari-harinya semakin berat dengan perlakuan keluarga Dimas. Di hadapan Dimas, semuanya terlihat baik-baik saja, namun ketika suaminya pergi bekerja, semuanya berubah.Setelah menyiapkan semuanya, Wulan memanggil Dimas dan Bu Ratna yang sudah duduk di meja makan. Ana, seperti biasa, belum bangun. Sarapan kali ini berlangsung dalam keheningan yang canggung. Bu Ratna tidak banyak bicara, hanya sesekali menanyakan hal-hal yang remeh, namun tatapannya sering kali terasa menilai. Seolah-olah setiap tindakan Wulan tidak pernah benar di matanya.Dimas, yang tidak menyadari ketegangan halus di antara Wulan dan ibunya, mencoba mencairkan suasana. "Sayang, aku mungkin pulang agak malam hari ini. Ada meeting mendadak dengan klien da