Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.
Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.
Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi.
"Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus, meski ada keraguan yang tersembunyi di balik matanya.
Mereka duduk berdua di meja makan, menikmati sarapan sambil berbincang ringan. Dimas menceritakan tentang pekerjaannya, proyek baru yang sedang ia kerjakan, dan rencana liburan yang mungkin bisa mereka lakukan bersama. Wulan mendengarkan dengan seksama, berusaha menikmati momen kebersamaan ini.
"Bagaimana kalau kita pergi ke Bali bulan depan? Hanya kita berdua," usul Dimas dengan antusias.
Wulan tersenyum tipis. "Itu ide yang bagus, Mas. Tapi apakah tidak apa-apa meninggalkan pekerjaanmu?"
Dimas tertawa kecil. "Aku akan mengatur waktuku. Lagipula, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama."
Wulan mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa ragu. Apakah liburan singkat bisa memperbaiki perasaan hampa yang ia rasakan? Namun, ia tidak ingin mengecewakan Dimas. "Baiklah, kita bisa merencanakannya."
Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan kembali ke kamar dan duduk di depan cermin meja rias. Ia menatap wajahnya sendiri, mencoba mencari kekuatan dalam dirinya. Ingatannya melayang ke percakapan para tamu arisan kemarin malam tentang Solus Group. Perusahaannya yang selama ini ia sembunyikan identitasnya. Wulan mulai berpikir, mungkin sudah saatnya ia kembali ke dunia yang pernah ia tinggalkan.
Ponselnya bergetar pelan, tanda ada pesan masuk. Wulan mengambil ponselnya dan melihat sebuah pesan dari Rina, sahabatnya sejak kuliah yang juga bekerja di Solus Group.
"Wulan, kita butuh keputusanmu untuk proyek di Singapura. Kapan kamu bisa memberikan waktumu?"
Wulan terdiam sejenak. Selama ini, ia selalu menghindari keterlibatan langsung dalam operasional perusahaan, mempercayakan semuanya pada tim manajemen yang ia bentuk. Namun, situasi sekarang membuatnya berpikir ulang.
Ia membalas pesan itu. "Kita bisa bertemu besok di kantor. Aku akan datang."
Setelah mengirim pesan itu, Wulan merasakan degup jantungnya berdenyut lebih cepat. Keputusan untuk kembali terlibat aktif dalam perusahaannya adalah langkah besar. Namun, ia merasa ini adalah jalan yang perlu ia tempuh untuk menemukan kembali dirinya.
Siang harinya, saat Wulan sedang merapikan ruang tamu, ibu mertuanya muncul dengan ekspresi datar. "Wulan, aku akan pergi ke rumah Tante Mira sore ini. Pastikan rumah tetap rapi. Ana mungkin akan membawa teman-temannya ke sini malam ini."
"Baik, Bu. Saya akan memastikan semuanya bersih," jawab Wulan sopan.
Ibu mertuanya memandang Wulan sejenak sebelum berbalik menuju pintu. "Dan satu lagi, tolong jangan buat keributan yang tidak perlu. Aku ingin rumah ini tetap tenang."
Wulan hanya mengangguk, meski ia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan 'keributan'. Selama ini, ia selalu berusaha menjaga ketenangan di rumah. Namun, komentar seperti itu bukan hal baru baginya.
Setelah ibu mertuanya pergi, Wulan memutuskan untuk menelepon Rina. Mereka berbincang cukup lama, membahas perkembangan terbaru di Solus Group dan proyek-proyek yang sedang berjalan. Rina terdengar antusias dengan rencana Wulan untuk kembali aktif.
"Aku senang akhirnya kamu mau terlibat lagi, Wulan. Kami benar-benar membutuhkan visimu," kata Rina dengan semangat.
Wulan tersenyum, merasa sedikit lega. "Aku juga merasa saatnya sudah tepat. Banyak hal yang perlu kita bicarakan."
Setelah menutup telepon, Wulan merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia mulai menyusun rencana dalam pikirannya, bagaimana mengatur waktunya antara urusan rumah dan keterlibatannya di perusahaan. Meskipun tantangan besar, Wulan merasa siap untuk menjalaninya.
Malam harinya, Dimas pulang lebih awal dari biasanya. Wulan terkejut melihat suaminya sudah ada di ruang tamu saat ia keluar dari dapur.
"Mas, kamu sudah pulang? Aku pikir kamu akan lembur," sapa Wulan sambil menghampiri Dimas.
Dimas tersenyum. "Aku memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah. Lagipula, aku ingin menghabiskan waktu denganmu."
Wulan merasa senang mendengar itu. "Baiklah, aku akan siapkan makan malam."
Saat makan malam, mereka berbincang lebih banyak dari biasanya. Wulan merasa ada kedekatan yang kembali tumbuh di antara mereka. Ia berpikir, mungkin ini kesempatan untuk mulai membuka diri.
"Mas, bagaimana kalau aku mulai bekerja lagi?" tanya Wulan hati-hati.
Dimas terkejut sejenak. "Bekerja? Maksudmu kembali bekerja di perusahaan?"
Wulan mengangguk pelan. "Ya, aku merasa punya banyak waktu luang. Mungkin aku bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat."
Dimas terdiam, tampak mempertimbangkan. "Apakah kamu yakin? Bukankah selama ini kamu lebih nyaman di rumah?"
"Aku pikir, akan menyenangkan jika aku bisa produktif di luar rumah. Lagipula, aku bisa membantu keuangan kita," jawab Wulan.
Dimas tersenyum tipis. "Sayang, kamu tidak perlu khawatir soal keuangan. Aku bisa mencukupi semuanya. Tapi jika kamu ingin bekerja, aku tidak melarang. Asalkan kamu tidak kelelahan."
Wulan merasa sedikit lega. "Terima kasih, Mas. Aku akan menjaga diri."
Mereka melanjutkan makan malam dengan suasana yang lebih hangat. Wulan merasa harapannya mulai menemukan titik terang. Mungkin dengan kembali bekerja, ia bisa menemukan kembali jati dirinya dan mendapatkan kekuatan untuk menghadapi situasi di rumah.
Setelah makan malam, Wulan menerima pesan dari Rina yang mengonfirmasi pertemuan mereka besok. Wulan merasa bersemangat sekaligus gugup. Sudah lama ia tidak terlibat langsung dalam urusan perusahaan. Namun, ia yakin bahwa ini adalah langkah yang tepat.
Sebelum tidur, Wulan merenung sejenak. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika Dimas mengetahui identitas aslinya sebagai pemilik Solus Group? Bagaimana reaksi keluarganya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya.
Namun, Wulan memutuskan untuk fokus pada langkah pertama terlebih dahulu. Ia akan kembali ke perusahaannya, mulai membangun kembali kariernya, dan perlahan mencari cara untuk menghadapi situasi di rumah.
Dalam keheningan malam, Wulan merasa lebih tenang. Ada jalan di depan yang mulai terbuka, dan ia siap untuk melangkah. Meski tantangan masih banyak, ia yakin bisa melewatinya.
Esok harinya akan menjadi awal yang baru. Awal dari perjalanan Wulan untuk menemukan kembali dirinya, dan mungkin, untuk menghadapi kenyataan yang selama ini ia pendam.
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.Wula
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Rina berlalu dengan cepat. Wulan mulai terlibat lebih intens dalam proyek-proyek Solus Group, meski tetap menjaga rutinitas rumah tangganya dengan cermat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan siap untuk Dimas sebelum berangkat kerja, dan ketika Dimas pulang, Wulan selalu ada di rumah, menyiapkan makan malam dengan rapi.Namun, di balik semua itu, Wulan mulai merasakan tekanan yang lebih besar dari keluarga Dimas, terutama dari ibu mertuanya, Bu Ratna, dan Ana. Keduanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin dan menyindir Wulan di saat Dimas tidak berada di rumah. Meski perlakuan mereka belum sepenuhnya kasar, Wulan bisa merasakan ketidaksukaan yang semakin jelas dari hari ke hari.Suatu sore, ketika Wulan sedang memotong sayuran di dapur, Ana masuk dengan wajah cemberut. Gadis itu langsung mengambil segelas air tanpa menyapa Wulan sama sekali. Sikap dingin itu sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini Ana tampak lebih kesal daripada biasanya."Kak W
Waktu terus berjalan, dan Wulan mulai terbiasa dengan perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Setiap hari seperti permainan di mana ia harus menjaga ketenangannya, memainkan peran sebagai menantu dan istri yang baik di depan keluarga Dimas. Ia masih setia menyembunyikan perasaannya, menutup rapat-rapat rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah kekuatan yang pelan-pelan terbangun dari dalam dirinya.Hari itu, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan bersama Bu Ratna. Ana sudah pergi lebih awal untuk bertemu teman-temannya, meninggalkan Wulan dan ibu mertuanya dalam keheningan yang tak nyaman. Seperti biasa, Bu Ratna memulai percakapan dengan nada yang dingin namun penuh dengan sindiran halus."Wulan, sudah berapa lama kamu menikah dengan Dimas?" tanya Bu Ratna sambil menyeruput teh hijau di cangkirnya."Tiga tahun, Bu," jawab Wulan dengan tenang. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu, n
Pagi itu, seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi Dimas dan keluarganya. Ia berdiri di dapur, menyeduh kopi dan memanggang roti, sementara pikirannya melayang-layang. Ketenangan pagi selalu menjadi waktu bagi Wulan untuk merenung, meskipun hari-harinya semakin berat dengan perlakuan keluarga Dimas. Di hadapan Dimas, semuanya terlihat baik-baik saja, namun ketika suaminya pergi bekerja, semuanya berubah.Setelah menyiapkan semuanya, Wulan memanggil Dimas dan Bu Ratna yang sudah duduk di meja makan. Ana, seperti biasa, belum bangun. Sarapan kali ini berlangsung dalam keheningan yang canggung. Bu Ratna tidak banyak bicara, hanya sesekali menanyakan hal-hal yang remeh, namun tatapannya sering kali terasa menilai. Seolah-olah setiap tindakan Wulan tidak pernah benar di matanya.Dimas, yang tidak menyadari ketegangan halus di antara Wulan dan ibunya, mencoba mencairkan suasana. "Sayang, aku mungkin pulang agak malam hari ini. Ada meeting mendadak dengan klien da
Hari-hari terus berlalu, dan bagi Wulan, waktu seolah bergerak dalam irama yang lambat namun penuh tekanan. Setiap pagi, ia menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga, memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk Dimas dan keluarganya. Di hadapan Dimas, ia tetap wanita yang tabah, tersenyum lembut dan penuh kasih sayang. Tapi ketika Dimas pergi bekerja, kenyataan yang sesungguhnya datang seperti bayangan gelap yang menghantui hidupnya.Pada suatu siang, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di ruang tamu bersama Bu Ratna dan Ana. Suasana di rumah begitu sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar, menghitung setiap detik dalam keheningan yang menegangkan. Bu Ratna menyesap teh sambil menatap keluar jendela, sementara Ana sibuk dengan ponselnya, jarang menatap Wulan."Kamu nggak ada rencana untuk jalan-jalan, Wulan?" tanya Ana tiba-tiba, nadanya terdengar ringan, tapi ada sindiran halus yang tersembunyi. "Mungkin bisa ajak teman-teman kamu atau siapa gitu. Biar nggak cuma di rum
Pagi kembali tiba, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun sebelum matahari terbit. Suara panci dan wajan terdengar halus dari dapur, ketika Wulan mempersiapkan sarapan untuk keluarga Dimas. Rutinitas ini telah menjadi bagian dari hidupnya sejak menikah, namun akhir-akhir ini, ia merasakan setiap detik yang berlalu seperti beban. Setiap pekerjaan rumah yang ia lakukan bukan lagi tentang cinta dan dedikasi, melainkan upaya untuk menjaga ketenangan yang rapuh di dalam rumah itu.Ketika Dimas turun dari kamar dengan wajah segar, Wulan menyambutnya dengan senyum yang selalu hangat, meski hatinya mulai semakin jauh. Dimas membalas senyuman itu dan mendekat untuk mencium pipi Wulan. "Sarapan apa hari ini, Sayang?""Tumisan sayur dan nasi goreng kesukaanmu," jawab Wulan lembut, menyajikan piring di meja makan.Sementara Dimas menikmati sarapannya, Ana dan Bu Ratna turun menyusul. Seperti biasanya, ketika Dimas ada di rumah, sikap keduanya terlihat normal, bahkan cenderun
Hari ini dimulai seperti hari-hari sebelumnya. Wulan terbangun lebih awal dari yang lain, memulai rutinitas paginya di dapur dengan langkah yang perlahan namun mantap. Segala persiapan sarapan dilakukan dengan cermat, seperti cara ia mengatur hidupnya—tertib, rapih, tanpa ada satu pun kekurangan. Dimas turun dari kamar dengan wajah yang tampak segar, seperti biasa. Senyum yang dulu membuat Wulan merasa damai, kini mulai memudar pengaruhnya. Dimas duduk di meja makan, menikmati aroma sarapan yang disiapkan Wulan dengan senyum tipis di wajahnya.“Sayang, apa kau baik-baik saja?” tanya Dimas ketika Wulan menyajikan piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi di depannya. Suaranya terdengar lembut, namun ada keraguan yang tak bisa ia sembunyikan.Wulan menoleh dan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Mas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya sambil meletakkan gelas teh di samping piring Dimas. Kata-kata itu terdengar datar di telin
Pagi hari di rumah itu selalu dimulai dengan kesunyian yang hanya diisi oleh suara aktivitas Wulan di dapur. Seperti biasa, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan mengolah bahan makanan, sementara pikirannya melayang-layang pada berbagai hal. Setiap gerakan di dapur seakan menjadi cara baginya untuk melupakan sementara beban yang dipikul di pundaknya.Setelah sarapan siap, Wulan melihat jam dinding. Masih terlalu pagi untuk Dimas bangun, tapi tak lama lagi Bu Ratna dan Ana akan turun. Mereka selalu memulai hari dengan senyum yang terbalut dengan kepura-puraan, hanya saat Dimas ada. Namun ketika Dimas sudah pergi bekerja, wajah-wajah asli mereka akan keluar.Langkah kaki Ana terdengar dari tangga. Wulan menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya. Ana muncul di pintu dapur, mengenakan gaun rumah yang mewah namun sederhana, senyum tipis menghiasi bibirnya. Sejenak, Wulan bisa merasakan bahwa senyum itu tidak lebih dari sebuah topeng."Selamat pagi, Kak Wulan,"
Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si
Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken
Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun
Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena
Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamar, memandikan ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Wulan terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang masih berat. Malam sebelumnya, setelah perbincangannya dengan ibunya, Wulan merasa sedikit lebih tenang. Namun, perasaan was-was itu tetap ada, seolah bersembunyi di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantuinya.Setelah memastikan Dimas sudah berangkat ke kantor, Wulan mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, bayangan tentang masalah yang mungkin sedang dihadapi Dimas selalu kembali. Wulan tahu, sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan.Hari itu, Wulan memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional. Biasanya, ia selalu menyukai perjalanan ke pasar, menikmati suasana riuh, aroma rempah-rempah yang kuat, dan warna-warni sayuran segar yang menggoda. Namun, kali ini, semuanya