Hari ini dimulai seperti hari-hari sebelumnya. Wulan terbangun lebih awal dari yang lain, memulai rutinitas paginya di dapur dengan langkah yang perlahan namun mantap. Segala persiapan sarapan dilakukan dengan cermat, seperti cara ia mengatur hidupnya—tertib, rapih, tanpa ada satu pun kekurangan. Dimas turun dari kamar dengan wajah yang tampak segar, seperti biasa. Senyum yang dulu membuat Wulan merasa damai, kini mulai memudar pengaruhnya. Dimas duduk di meja makan, menikmati aroma sarapan yang disiapkan Wulan dengan senyum tipis di wajahnya.
“Sayang, apa kau baik-baik saja?” tanya Dimas ketika Wulan menyajikan piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi di depannya. Suaranya terdengar lembut, namun ada keraguan yang tak bisa ia sembunyikan.
Wulan menoleh dan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Mas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya sambil meletakkan gelas teh di samping piring Dimas. Kata-kata itu terdengar datar di telin
Pagi hari di rumah itu selalu dimulai dengan kesunyian yang hanya diisi oleh suara aktivitas Wulan di dapur. Seperti biasa, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan mengolah bahan makanan, sementara pikirannya melayang-layang pada berbagai hal. Setiap gerakan di dapur seakan menjadi cara baginya untuk melupakan sementara beban yang dipikul di pundaknya.Setelah sarapan siap, Wulan melihat jam dinding. Masih terlalu pagi untuk Dimas bangun, tapi tak lama lagi Bu Ratna dan Ana akan turun. Mereka selalu memulai hari dengan senyum yang terbalut dengan kepura-puraan, hanya saat Dimas ada. Namun ketika Dimas sudah pergi bekerja, wajah-wajah asli mereka akan keluar.Langkah kaki Ana terdengar dari tangga. Wulan menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya. Ana muncul di pintu dapur, mengenakan gaun rumah yang mewah namun sederhana, senyum tipis menghiasi bibirnya. Sejenak, Wulan bisa merasakan bahwa senyum itu tidak lebih dari sebuah topeng."Selamat pagi, Kak Wulan,"
Sore itu, setelah Dimas pergi bekerja, suasana di rumah kembali terasa sunyi. Wulan duduk di meja makan, menatap jendela yang memperlihatkan taman kecil di halaman belakang. Ada keheningan yang tak nyaman, seperti sebuah kabut yang menutupi ruang di sekelilingnya. Meski begitu, ia tetap berusaha memusatkan pikirannya pada hal-hal sederhana, seperti membersihkan dapur atau menyusun kembali meja makan yang telah digunakan.Namun, tidak ada aktivitas kecil yang mampu menyembunyikan kenyataan pahit yang sedang ia hadapi. Perlakuan keluarga Dimas semakin hari semakin terasa. Pada awalnya, sindiran dan tatapan dingin mungkin bisa ia abaikan, namun kini semuanya terasa semakin nyata dan terus menghantui hari-harinya. Seperti awan kelabu yang selalu menggantung di atasnya, menunggu untuk menjatuhkan hujan yang tak kunjung reda.Bu Ratna dan Ana sudah keluar rumah pagi tadi untuk bertemu dengan kerabat. Itu memberi Wulan sedikit ruang untuk bernafas. Meski di rumah itu ia seharusnya merasa nya
Wulan duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri setelah kejadian sore itu. Hatinya bergejolak, tapi di luar, ia tampak tetap tenang. Rasa marah yang mendidih di dalam dadanya masih tertahan, namun ia tahu bahwa lambat laun, semua itu akan meledak. Seolah ada api yang menyala di dalam dirinya, tapi Wulan memutuskan untuk tidak terbakar—belum.Suara-suara dari masa lalu seakan menggema di telinganya, saat-saat pertama ia menikah dengan Dimas, penuh harapan dan cinta. Janji-janji manis yang Dimas ucapkan kini terasa seperti debu yang beterbangan. Bagaimana mungkin semua itu bisa berubah begitu cepat?Ana dan Laila. Dua sosok yang kini menambah beban di pundaknya. Bukan hanya Ana, tapi Laila, yang datang seolah ingin menginjak-injak harga dirinya tanpa ampun. Wulan mengerti bahwa semua ini bukan hanya tentang Dimas. Ini juga tentang martabatnya, tentang siapa dia sebenarnya, dan bagaimana dia selama ini telah menempatkan diri di posisi yang dianggap rendah oleh keluarganya.Ketika Bu
Pagi itu, Wulan berdiri di depan jendela kamarnya, membiarkan sinar matahari menembus tirai tipis yang menutupi kaca. Angin pagi menyapu wajahnya dengan lembut, membawa aroma segar dari taman belakang. Meski suasana terlihat damai, hatinya tetap bergejolak dengan seribu satu pikiran.Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Dimas pergi kerja lebih awal, meninggalkan Wulan sendirian bersama Bu Ratna dan Ana. Seperti biasa, wajah mereka berubah dari senyum yang hangat saat Dimas ada, menjadi dingin dan tajam begitu Dimas tidak lagi berada di rumah. Rasanya, rumah ini bukanlah tempat yang bisa ia sebut sebagai "rumah."“Wulan, kamu sedang apa di situ?” suara dingin Bu Ratna terdengar dari belakang, memotong keheningan pagi yang masih sejuk.Wulan menoleh, melihat ibu mertuanya berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangan di depan dada. Ana berdiri di belakangnya, wajahnya yang selalu penuh senyuman kini dipenuhi dengan sinis.“Tidak, Bu. Saya hanya melihat taman,” jawab Wulan pelan,
Malam itu berlalu dengan perlahan, seolah-olah waktu ingin memperpanjang setiap detik yang Wulan habiskan dalam kesunyian. Setelah memastikan Dimas tertidur pulas, ia berbaring di sebelahnya, namun matanya tak kunjung terpejam. Hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk—antara cinta, kecewa, dan kesedihan yang tak berujung.Wulan menarik napas dalam-dalam, merasakan desakan air mata yang mendesak keluar. Namun, seperti biasa, ia memilih untuk menahannya. Air mata tidak akan mengubah apapun. Selama ini, ia selalu memilih untuk kuat di hadapan Dimas. Ia tak ingin memperlihatkan kelemahannya, terutama saat suaminya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di belakangnya.Perlahan, Wulan bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Dimas. Di ruang tamu yang gelap, ia duduk di sofa dan membiarkan pikirannya mengalir bebas. Pikirannya kembali berputar pada kata-kata Ana siang tadi—kata-kata yang menyakitkan namun
Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Pagi selalu dimulai dengan senyuman dari Dimas, sementara siang hingga sore dipenuhi oleh tugas-tugas rumah tangga yang tak ada habisnya dan tatapan dingin dari Bu Ratna serta Ana. Bagi Wulan, ini adalah rutinitas yang melelahkan secara fisik dan batin. Namun, di balik semua itu, ia terus bertahan, terus melangkah dengan tenang meski hatinya kerap terluka.Suatu pagi, Wulan sedang merapikan ruang tamu ketika Ana menghampirinya. Adik iparnya itu tampak begitu cantik dengan pakaian rapi dan gaya rambut sempurna. Ana selalu menjaga penampilannya, bahkan saat berada di rumah. Itu membuat Wulan merasa seolah-olah dirinya selalu terlihat kusam di sebelah Ana yang begitu sempurna.“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Kak Wulan,” kata Ana dengan nada yang manis namun berlapis dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang Wulan sudah terbiasa rasakan, tapi tidak pernah benar-benar ia hadapi secara terbuka.Wulan menatap Ana sejenak, la
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai."Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur