Beranda / Rumah Tangga / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 24: Di Balik Senyum Manis Ana

Share

Bab 24: Di Balik Senyum Manis Ana

Penulis: Le Vant
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-23 12:00:35

Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Pagi selalu dimulai dengan senyuman dari Dimas, sementara siang hingga sore dipenuhi oleh tugas-tugas rumah tangga yang tak ada habisnya dan tatapan dingin dari Bu Ratna serta Ana. Bagi Wulan, ini adalah rutinitas yang melelahkan secara fisik dan batin. Namun, di balik semua itu, ia terus bertahan, terus melangkah dengan tenang meski hatinya kerap terluka.

Suatu pagi, Wulan sedang merapikan ruang tamu ketika Ana menghampirinya. Adik iparnya itu tampak begitu cantik dengan pakaian rapi dan gaya rambut sempurna. Ana selalu menjaga penampilannya, bahkan saat berada di rumah. Itu membuat Wulan merasa seolah-olah dirinya selalu terlihat kusam di sebelah Ana yang begitu sempurna.

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Kak Wulan,” kata Ana dengan nada yang manis namun berlapis dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang Wulan sudah terbiasa rasakan, tapi tidak pernah benar-benar ia hadapi secara terbuka.

Wulan menatap Ana sejenak, la

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 25: Bayangan yang Mulai Retak

    Pagi itu, udara di luar terasa sejuk, tapi suasana di dalam rumah keluarga Setyo jauh dari kata tenang. Wulan bangun lebih awal, seperti biasa, memulai rutinitas paginya dengan menyiapkan sarapan. Dimas masih tertidur, lelah setelah bekerja hingga larut malam. Wulan menyukai momen-momen pagi seperti ini, saat dunia belum sepenuhnya terjaga, dan ia bisa mengatur napasnya dengan tenang tanpa merasakan tekanan dari Bu Ratna atau Ana.Namun, pagi itu terasa berbeda. Ada perasaan ganjil yang menggantung di udara, sesuatu yang tak bisa Wulan jelaskan. Ia melihat jam dinding, memastikan bahwa semuanya berjalan tepat waktu, tapi di dalam hatinya, kegelisahan mulai merayap perlahan.Sementara Wulan sibuk di dapur, Ana terbangun lebih awal dari biasanya. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan pelan ke ruang tamu. Tatapannya tajam saat ia melirik ke arah dapur, tempat Wulan terlihat sedang sibuk dengan persiapannya. Ana melipat tangan di dada dan mengerutkan dahi, seolah memikirkan sesuatu yang ti

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-24
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 26: Dalam Diam, Luka Menganga

    Pagi hari berikutnya terasa berat bagi Wulan. Matanya masih terasa perih setelah semalaman terjaga. Meskipun ia tak menangis, hatinya seakan tercekik oleh rasa sakit yang tak terungkapkan. Dalam diamnya, Wulan selalu berusaha menguatkan diri, tapi hari ini, ada perasaan yang berbeda—lebih lelah, lebih patah.Di sisi lain, Dimas masih seperti biasa. Ia memulai harinya dengan sikap ceria dan perhatian. Pagi ini, ia tampak lebih santai, mungkin karena tak ada rapat pagi seperti biasanya. Wulan menyiapkan sarapan seperti biasa, dan Dimas menemaninya di dapur, mengobrol ringan sambil sesekali mencuri pandang ke arah istrinya."Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Dimas lembut, menyadari keheningan Wulan yang lebih dari biasanya.Wulan mengangguk dan tersenyum kecil, menyembunyikan segala resah yang berkecamuk di dalam dirinya. "Aku baik-baik saja, Mas. Hanya sedikit lelah."Dimas menggenggam tangan Wulan, mengelusnya lembut. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kamu sudah melakukan banyak hal d

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-24
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 27: Ketabahan yang Tersembunyi

    Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan, namun ketegangan di dalam diri Wulan semakin memuncak. Keluarga Dimas terus memainkan peran mereka dengan sangat halus. Di depan Dimas, mereka bersikap manis, seakan tidak ada masalah sama sekali, tapi ketika Dimas pergi bekerja, atmosfer rumah berubah dingin dan menusuk. Setiap gerakan Wulan seolah diawasi, dan setiap kesalahan kecil yang ia lakukan, meskipun tak kentara, selalu disinggung dengan sindiran yang halus namun tajam.Pagi itu, seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Bu Ratna muncul di dapur, kali ini tanpa Ana yang biasanya ikut menyudutkannya. Bu Ratna menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan gaun berwarna krem yang elegan, memancarkan aura seorang perempuan yang selalu ingin tampil sempurna."Kopi pagi ini agak hambar, Wulan. Coba tambahkan sedikit gula, lain kali jangan terburu-buru saat menyajikan sesuatu," katanya dengan suara yang tak terlalu tinggi, tapi menyiratkan kekecewaan.Wulan hanya m

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 28: Bayangan Ketidakpastian

    Pagi berikutnya datang dengan perlahan, membawa cahaya matahari yang hangat menerangi rumah keluarga Setyo. Wulan bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan sebelum Dimas berangkat kerja. Ia berdiri di depan meja dapur, tangan sibuk mengolah bahan-bahan masakan, namun pikirannya jauh melayang. Semalam, setelah refleksi mendalam di depan cermin, Wulan menyadari bahwa ada sebuah kekuatan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Kini, kekuatan itu mulai bangkit, meski ia belum tahu bagaimana harus menggunakannya.Dimas datang dari belakang, memberikan pelukan hangat yang terasa nyaman, seperti biasa. “Pagi, sayang. Bau masakanmu selalu membuatku ingin tinggal lebih lama di rumah,” katanya sambil tersenyum.Wulan tersenyum balik, meski hati kecilnya sedikit perih. Ada banyak hal yang Dimas tidak tahu, dan ia juga tidak yakin kapan atau bagaimana akan mengungkapkan semuanya. “Aku senang kamu suka,” jawabnya lembut, berusaha menutupi rasa bimbang di hatinya.Dimas duduk di meja makan,

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 29: Retakan yang Mulai Terlihat

    Pagi hari di rumah keluarga Setyo masih berjalan seperti biasa. Rutinitas yang Wulan jalani setiap hari semakin terasa menyesakkan, tetapi ia tetap menjalani semuanya tanpa keluhan. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia harus kuat, setidaknya sampai ia menemukan waktu yang tepat untuk bertindak. Kekuatan dalam dirinya semakin menguat setiap kali ia bertahan dari sikap dingin keluarga Dimas, yang tampak semakin hari semakin nyata, meskipun mereka masih menyembunyikannya di hadapan Dimas.Di meja makan, Dimas duduk sambil menikmati sarapan yang sudah disiapkan Wulan. Ia terlihat begitu santai, tanpa menyadari betapa tegangnya hubungan antara Wulan dan keluarganya. Dimas tersenyum hangat kepada istrinya, mengucapkan terima kasih atas sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh perhatian."Aku benar-benar beruntung punya istri sebaik kamu, Wulan," ujar Dimas sembari menggenggam tangan Wulan.Wulan tersenyum tipis, menyembunyikan kegetiran yang mulai menumpuk dalam hatin

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 30: Kesunyian yang Menyakitkan

    Malam itu, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Dimas belum pulang, dan Bu Ratna serta Ana sudah mengunci diri di kamar masing-masing. Wulan duduk di ruang tamu, menatap ke arah pintu dengan harapan samar bahwa Dimas akan segera pulang. Namun, malam semakin larut, dan hanya kesunyian yang terus menemani Wulan.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang semakin penuh dengan beban yang tak pernah ia bagikan kepada siapa pun. Tangannya yang halus perlahan mengusap permukaan meja di hadapannya, seolah mencari kenyamanan dari sentuhan benda mati itu. Meski di hadapan Dimas ia selalu terlihat kuat, kenyataannya malam-malam seperti ini menjadi saat-saat di mana ia merasa paling rapuh.Suara jarum jam yang berdetak pelan semakin mempertegas kesunyian di ruangan itu. Sesekali Wulan melirik telepon genggamnya, berharap ada pesan atau kabar dari Dimas. Tetapi layar tetap sunyi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan dari suaminya. Satu jam, dua jam berlalu, dan Wulan a

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 31: Jeda di Antara Dua Kehidupan

    Malam itu, Wulan tidak bisa tidur. Rasa letih yang seharusnya memaksanya terlelap justru membuat pikirannya berputar, mengingat kembali percakapan singkat dengan Ana di siang hari dan tatapan tajam Bu Ratna yang terus menghantuinya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang hidup Wulan yang sebenarnya. Bahkan Dimas pun tidak tahu, karena Wulan dengan sengaja menutup semua itu rapat-rapat.Dia menatap langit-langit kamar, seolah-olah mencari jawaban di balik kegelapan. Bisikan di dalam dirinya semakin kuat—bahwa waktu untuk bertahan telah melewati batasnya. Namun, Wulan masih belum siap. Ada sesuatu yang menahannya, seolah ia harus menunggu sampai semua bagian rencananya tersusun dengan sempurna. Hingga saat itu tiba, ia harus terus bermain peran sebagai istri yang baik, meski hatinya semakin terkikis oleh perlakuan dingin dari keluarga Dimas.Dimas di sampingnya, meski tertidur lelap, tampak tenang dan damai. Pria itu masih tidak tahu apa yang terjadi di belakangnya—tentang semua kebohongan y

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 32: Bayangan Kesepian

    Pagi yang baru hadir dengan perlahan, menyinari rumah besar yang sunyi. Wulan menatap jendela, menunggu mentari yang masih malu-malu muncul di balik awan. Pagi ini seperti pagi-pagi lainnya, penuh kesunyian yang ia hadapi seorang diri. Dimas sudah berangkat lebih awal dari biasanya, meninggalkan Wulan dengan keheningan yang semakin akrab.Pikirannya mengembara pada percakapan semalam. Dimas memang selalu menjanjikan akan meluangkan waktu lebih banyak untuk mereka, tetapi janji itu sering kali hanya tinggal janji. Wulan tak lagi mengharapkan apa pun dari janji tersebut. Kini, ia lebih fokus pada dirinya sendiri, pada kekuatan yang diam-diam ia bangun dari dalam.Saat sarapan, Ana datang terlambat seperti biasa. Tatapan merendahkan yang dipakainya sudah menjadi bagian dari rutinitas yang tak terucap, namun selalu terasa menyengat bagi Wulan. Hari ini Ana terlihat lebih malas dari biasanya, dengan rambut acak-acakan dan raut wajah yang tak peduli."Kak Wulan, kenapa sih kamu selalu bangu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26

Bab terbaru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 176: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 175: Langkah Menuju Impian

    Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 174: Menghadapi Kebenaran

    Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 173: Terjebak dalam Jaringan Harapan

    Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 172: Ujian Pertama

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 171: Langkah Awal yang Menjanjikan

    Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 170: Pertemuan yang Menentukan

    Hari pertemuan dengan keluarga Dimas tiba. Wulan merasakan campur aduk antara cemas dan bersemangat. Ia mengenakan gaun sederhana namun elegan, berharap penampilannya dapat menunjukkan keseriusannya. Dimas berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan dukungan dan kekhawatiran yang sama.Mereka tiba di rumah keluarga Dimas yang megah, dikelilingi oleh taman yang indah. Suasana terasa menegangkan. Wulan menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dimas memegang tangannya erat, memberi dorongan.“Ini adalah kesempatan kita untuk menjelaskan semuanya,” kata Dimas, mengangkat dagu Wulan sedikit agar mereka bisa saling menatap. “Kau tidak sendirian.”Ketika mereka memasuki ruang tamu, Wulan merasakan tatapan tajam dari anggota keluarga Dimas. Ibu mertuanya, Bu Sari, duduk dengan sikap angkuh, sementara kakak Dimas, Rina, memperhatikan dengan skeptis. Wulan berusaha untuk tidak merasa terintimidasi. Ia tahu bahwa ini adalah waktunya un

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 169: Menyusun Rencana

    Hari-hari setelah pertemuan itu terasa penuh tantangan bagi Wulan. Ia kembali ke rutinitas harian sebagai ibu rumah tangga, tetapi pikirannya selalu terbayang pada pertemuan yang baru saja dilalui. Meskipun Dimas terus menunjukkan dukungannya, Wulan merasa beban yang berat di pundaknya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan dan membuktikan nilainya.Dalam hati, Wulan mulai menyusun rencana. Ia ingin membuktikan kepada keluarga Dimas bahwa ia bukan sekadar istri yang diabaikan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan dan semangat untuk berkontribusi, baik untuk keluarga maupun komunitas. Namun, ia juga tahu bahwa untuk mencapai tujuan itu, ia harus memanfaatkan keahlian yang selama ini ia sembunyikan — sebagai pemilik Solus Group.Suatu malam, saat Dimas tertidur, Wulan duduk di meja kerjanya dengan laptop di depan. Cahaya lembut dari layar menerangi ruangan, memberikan suasana yang menenangkan. Ia membuka dokumen-dokumen peru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 168: Rencana yang Bersemi

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan suasana di rumah Wulan semakin hangat. Keterlibatan Dimas dalam proyek sosialnya tidak hanya meningkatkan hubungan mereka, tetapi juga memberikan dampak positif bagi komunitas. Wulan merasa bahagia melihat suaminya kembali ke sosok yang ia kenal — penuh semangat dan antusiasme.Satu sore, setelah menghabiskan waktu di kantor, Dimas kembali dengan berita yang menggetarkan hati. “Aku sudah menghubungi beberapa artis untuk acara amal kita,” ujarnya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Benarkah? Siapa saja yang akan tampil?” tanya Wulan, matanya berbinar-binar.Dimas menyebutkan beberapa nama, termasuk penyanyi dan kelompok musik lokal yang terkenal. Wulan merasa bersemangat. “Ini luar biasa! Kita bisa mengundang lebih banyak orang dan meningkatkan kesadaran tentang proyek kita.”Mereka mulai merencanakan semua detail acara, dari pemilihan tempat hingga strategi promosi. Setiap detil

DMCA.com Protection Status