Malam itu, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Dimas belum pulang, dan Bu Ratna serta Ana sudah mengunci diri di kamar masing-masing. Wulan duduk di ruang tamu, menatap ke arah pintu dengan harapan samar bahwa Dimas akan segera pulang. Namun, malam semakin larut, dan hanya kesunyian yang terus menemani Wulan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang semakin penuh dengan beban yang tak pernah ia bagikan kepada siapa pun. Tangannya yang halus perlahan mengusap permukaan meja di hadapannya, seolah mencari kenyamanan dari sentuhan benda mati itu. Meski di hadapan Dimas ia selalu terlihat kuat, kenyataannya malam-malam seperti ini menjadi saat-saat di mana ia merasa paling rapuh.
Suara jarum jam yang berdetak pelan semakin mempertegas kesunyian di ruangan itu. Sesekali Wulan melirik telepon genggamnya, berharap ada pesan atau kabar dari Dimas. Tetapi layar tetap sunyi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan dari suaminya. Satu jam, dua jam berlalu, dan Wulan a
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur. Rasa letih yang seharusnya memaksanya terlelap justru membuat pikirannya berputar, mengingat kembali percakapan singkat dengan Ana di siang hari dan tatapan tajam Bu Ratna yang terus menghantuinya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang hidup Wulan yang sebenarnya. Bahkan Dimas pun tidak tahu, karena Wulan dengan sengaja menutup semua itu rapat-rapat.Dia menatap langit-langit kamar, seolah-olah mencari jawaban di balik kegelapan. Bisikan di dalam dirinya semakin kuat—bahwa waktu untuk bertahan telah melewati batasnya. Namun, Wulan masih belum siap. Ada sesuatu yang menahannya, seolah ia harus menunggu sampai semua bagian rencananya tersusun dengan sempurna. Hingga saat itu tiba, ia harus terus bermain peran sebagai istri yang baik, meski hatinya semakin terkikis oleh perlakuan dingin dari keluarga Dimas.Dimas di sampingnya, meski tertidur lelap, tampak tenang dan damai. Pria itu masih tidak tahu apa yang terjadi di belakangnya—tentang semua kebohongan y
Pagi yang baru hadir dengan perlahan, menyinari rumah besar yang sunyi. Wulan menatap jendela, menunggu mentari yang masih malu-malu muncul di balik awan. Pagi ini seperti pagi-pagi lainnya, penuh kesunyian yang ia hadapi seorang diri. Dimas sudah berangkat lebih awal dari biasanya, meninggalkan Wulan dengan keheningan yang semakin akrab.Pikirannya mengembara pada percakapan semalam. Dimas memang selalu menjanjikan akan meluangkan waktu lebih banyak untuk mereka, tetapi janji itu sering kali hanya tinggal janji. Wulan tak lagi mengharapkan apa pun dari janji tersebut. Kini, ia lebih fokus pada dirinya sendiri, pada kekuatan yang diam-diam ia bangun dari dalam.Saat sarapan, Ana datang terlambat seperti biasa. Tatapan merendahkan yang dipakainya sudah menjadi bagian dari rutinitas yang tak terucap, namun selalu terasa menyengat bagi Wulan. Hari ini Ana terlihat lebih malas dari biasanya, dengan rambut acak-acakan dan raut wajah yang tak peduli."Kak Wulan, kenapa sih kamu selalu bangu
Pagi yang cerah mulai menghilang saat Wulan melangkah keluar dari dapur, membawa cangkir teh hangat ke taman belakang. Hatinya terasa sesak dengan berbagai pikiran yang terus berputar. Ada keinginan kuat untuk membicarakan semuanya dengan Dimas—tentang perlakuan dingin keluarga, tentang rasa sakit yang ia pendam. Tapi setiap kali pikiran itu muncul, ia kembali mengingat betapa Dimas selalu tampak tenang dan tidak menyadari apa pun.Ia tak ingin menjadi beban bagi suaminya. Setidaknya itulah alasan yang terus ia katakan pada dirinya sendiri. Namun, di balik semua itu, ada ketakutan. Ketakutan bahwa kebenaran tidak akan membuat apa pun lebih baik, malah justru bisa menghancurkan segalanya.Wulan duduk di bangku taman, memandangi bunga-bunga yang ia tanam sendiri sejak pertama kali pindah ke rumah ini. Ada ketenangan yang ia temukan di taman ini, meski hanya sejenak. Setiap kelopak bunga yang mekar terasa seperti secercah harapan kecil di tengah lautan kegelapan yang melingkupi hidupnya.
Pagi menjelang, matahari baru saja muncul di balik jendela rumah itu. Suara burung berkicau seolah tak menyadari badai yang mulai menggelayut di hati Wulan. Di dapur, ia dengan cekatan mempersiapkan sarapan untuk keluarganya—kebiasaan rutin yang tak pernah ia abaikan, meski hatinya kini telah berubah.Dengan gerakan yang tenang dan anggun, ia meletakkan piring-piring berisi nasi, sayur, dan lauk di atas meja makan. Wajahnya tetap seperti biasa, penuh ketenangan. Tak ada tanda-tanda kegelisahan yang semalam memenuhi pikirannya. Bagi siapa pun yang melihatnya saat ini, Wulan adalah istri yang sempurna, ibu rumah tangga yang penuh kasih.Dimas, yang masih tampak mengantuk, berjalan ke ruang makan dengan senyum lelah. "Pagi, Sayang. Masak apa hari ini?" tanyanya sembari mencium lembut pipi Wulan.Wulan menoleh dan membalas senyumnya, meski hatinya terasa dingin. "Masak yang biasa, Mas. Sarapan dulu, ya, biar semangat kerja."Ia menatap Dimas yang duduk di meja makan. Selama ini, ia mencin
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Meski malam sebelumnya ia sulit memejamkan mata, pikirannya yang bergejolak tak menghalangi tubuhnya untuk tetap menjalankan rutinitasnya. Dengan langkah tenang, ia menuju dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Satu per satu, anggota keluarga Dimas mulai muncul di ruang makan.Bu Ratna adalah yang pertama, dengan wajah yang tampak tak berubah dari hari-hari sebelumnya—dingin dan penuh penilaian. "Sarapan apa pagi ini, Wulan?" tanyanya, suara monotonnya terdengar di seantero ruangan."Masak nasi uduk dan ayam goreng, Bu. Semoga Ibu suka," jawab Wulan dengan tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya. Dalam hatinya, Wulan merasa hambar. Rutinitas ini begitu akrab namun penuh kepalsuan.Bu Ratna menanggapi dengan anggukan kecil, tidak menunjukkan antusiasme maupun keberatan. Bagi Wulan, sikap dingin itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tahu bahwa Bu Ratna dan yang lain hanya menunggu saat-saat ketika Dimas
Hari itu cerah, dan Wulan tampak sibuk dengan rutinitas rumah tangga. Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya. Dimas sudah berangkat kerja, dan rumah kembali terasa dingin. Wulan menyiapkan makanan untuk Bu Ratna dan Ana, namun suasana di ruang makan begitu sunyi. Suara peralatan makan yang berdenting dengan piring menjadi satu-satunya pengiring kesunyian.“Wulan, berikan aku air,” perintah Bu Ratna dengan nada datar tanpa sedikitpun intonasi terima kasih di dalamnya.Tanpa mengeluh, Wulan bangkit, mengambil air, lalu menuangkan ke dalam gelas yang diletakkan di depan Bu Ratna. Sementara itu, Ana hanya sibuk dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil melihat sesuatu di layar tanpa memberikan perhatian pada Wulan sama sekali.Wulan telah terbiasa dengan dinamika ini. Setiap hari, ia menghadapi sikap dingin dan tak acuh mereka, sementara di depan Dimas, Bu Ratna dan Ana akan bertingkah seolah mereka adalah keluarga yang harmonis. Namun, setiap perlakuan keci
Hari-hari tanpa Dimas selalu terasa lebih panjang bagi Wulan. Kesibukan yang biasa ia jalani tak lagi cukup untuk mengalihkan perasaannya. Perlakuan dingin dari Bu Ratna dan Ana makin terasa mencolok tanpa kehadiran Dimas. Meski demikian, Wulan tetap mencoba menjalani semuanya dengan tenang, memendam segala keresahan di dalam hatinya.Siang itu, Wulan sedang di dapur menyiapkan makan siang ketika tiba-tiba Bu Ratna datang dengan wajah muram. Tanpa berbasa-basi, ia langsung berdiri di depan Wulan.“Wulan, nanti sore aku mau pergi dengan Ana. Pastikan kamu di rumah, bersihkan semuanya sebelum kami pulang,” perintah Bu Ratna dengan nada yang sama sekali tidak ramah.Wulan mengangguk pelan. “Baik, Bu. Akan saya bersihkan semuanya.”Namun, Bu Ratna tidak berhenti di situ. Ia mendekat sedikit, matanya menatap tajam ke arah Wulan. “Dan jangan lupa, jangan terlalu banyak keluar rumah ketika Dimas tidak ada. Orang-orang bisa berpikir
Pagi itu, Wulan kembali menjalani rutinitas yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak menikah dengan Dimas. Seperti biasa, ia terbangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, bahkan ketika Bu Ratna dan Ana tidak pernah menghargai usahanya. Ia tahu bahwa tidak ada yang peduli seberapa keras ia berusaha, tetapi tugas sebagai seorang istri dan menantu sudah ia terima dengan lapang dada.Saat ia menata meja makan dengan hati-hati, suara langkah ringan terdengar di belakangnya. Wulan berbalik dan mendapati Ana berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi datar, seakan tak ada gunanya berbasa-basi."Mas Dimas udah kasih kabar kapan pulang?" tanya Ana tanpa memperlihatkan minat yang tulus. Suaranya dingin, tetapi tatapannya menyelidik, seolah mencari celah untuk mengkritik.Wulan menggeleng pelan sambil memasukkan beberapa potong roti ke dalam oven. "Belum, mungkin minggu depan."Ana mendengus pelan, matanya menyipit sejenak sebelum berbalik pergi tanpa
Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si
Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken
Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun
Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena
Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamar, memandikan ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Wulan terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang masih berat. Malam sebelumnya, setelah perbincangannya dengan ibunya, Wulan merasa sedikit lebih tenang. Namun, perasaan was-was itu tetap ada, seolah bersembunyi di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantuinya.Setelah memastikan Dimas sudah berangkat ke kantor, Wulan mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, bayangan tentang masalah yang mungkin sedang dihadapi Dimas selalu kembali. Wulan tahu, sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan.Hari itu, Wulan memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional. Biasanya, ia selalu menyukai perjalanan ke pasar, menikmati suasana riuh, aroma rempah-rempah yang kuat, dan warna-warni sayuran segar yang menggoda. Namun, kali ini, semuanya