Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Meski malam sebelumnya ia sulit memejamkan mata, pikirannya yang bergejolak tak menghalangi tubuhnya untuk tetap menjalankan rutinitasnya. Dengan langkah tenang, ia menuju dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Satu per satu, anggota keluarga Dimas mulai muncul di ruang makan.
Bu Ratna adalah yang pertama, dengan wajah yang tampak tak berubah dari hari-hari sebelumnya—dingin dan penuh penilaian. "Sarapan apa pagi ini, Wulan?" tanyanya, suara monotonnya terdengar di seantero ruangan.
"Masak nasi uduk dan ayam goreng, Bu. Semoga Ibu suka," jawab Wulan dengan tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya. Dalam hatinya, Wulan merasa hambar. Rutinitas ini begitu akrab namun penuh kepalsuan.
Bu Ratna menanggapi dengan anggukan kecil, tidak menunjukkan antusiasme maupun keberatan. Bagi Wulan, sikap dingin itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tahu bahwa Bu Ratna dan yang lain hanya menunggu saat-saat ketika Dimas
Hari itu cerah, dan Wulan tampak sibuk dengan rutinitas rumah tangga. Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya. Dimas sudah berangkat kerja, dan rumah kembali terasa dingin. Wulan menyiapkan makanan untuk Bu Ratna dan Ana, namun suasana di ruang makan begitu sunyi. Suara peralatan makan yang berdenting dengan piring menjadi satu-satunya pengiring kesunyian.“Wulan, berikan aku air,” perintah Bu Ratna dengan nada datar tanpa sedikitpun intonasi terima kasih di dalamnya.Tanpa mengeluh, Wulan bangkit, mengambil air, lalu menuangkan ke dalam gelas yang diletakkan di depan Bu Ratna. Sementara itu, Ana hanya sibuk dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil melihat sesuatu di layar tanpa memberikan perhatian pada Wulan sama sekali.Wulan telah terbiasa dengan dinamika ini. Setiap hari, ia menghadapi sikap dingin dan tak acuh mereka, sementara di depan Dimas, Bu Ratna dan Ana akan bertingkah seolah mereka adalah keluarga yang harmonis. Namun, setiap perlakuan keci
Hari-hari tanpa Dimas selalu terasa lebih panjang bagi Wulan. Kesibukan yang biasa ia jalani tak lagi cukup untuk mengalihkan perasaannya. Perlakuan dingin dari Bu Ratna dan Ana makin terasa mencolok tanpa kehadiran Dimas. Meski demikian, Wulan tetap mencoba menjalani semuanya dengan tenang, memendam segala keresahan di dalam hatinya.Siang itu, Wulan sedang di dapur menyiapkan makan siang ketika tiba-tiba Bu Ratna datang dengan wajah muram. Tanpa berbasa-basi, ia langsung berdiri di depan Wulan.“Wulan, nanti sore aku mau pergi dengan Ana. Pastikan kamu di rumah, bersihkan semuanya sebelum kami pulang,” perintah Bu Ratna dengan nada yang sama sekali tidak ramah.Wulan mengangguk pelan. “Baik, Bu. Akan saya bersihkan semuanya.”Namun, Bu Ratna tidak berhenti di situ. Ia mendekat sedikit, matanya menatap tajam ke arah Wulan. “Dan jangan lupa, jangan terlalu banyak keluar rumah ketika Dimas tidak ada. Orang-orang bisa berpikir
Pagi itu, Wulan kembali menjalani rutinitas yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak menikah dengan Dimas. Seperti biasa, ia terbangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, bahkan ketika Bu Ratna dan Ana tidak pernah menghargai usahanya. Ia tahu bahwa tidak ada yang peduli seberapa keras ia berusaha, tetapi tugas sebagai seorang istri dan menantu sudah ia terima dengan lapang dada.Saat ia menata meja makan dengan hati-hati, suara langkah ringan terdengar di belakangnya. Wulan berbalik dan mendapati Ana berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan ekspresi datar, seakan tak ada gunanya berbasa-basi."Mas Dimas udah kasih kabar kapan pulang?" tanya Ana tanpa memperlihatkan minat yang tulus. Suaranya dingin, tetapi tatapannya menyelidik, seolah mencari celah untuk mengkritik.Wulan menggeleng pelan sambil memasukkan beberapa potong roti ke dalam oven. "Belum, mungkin minggu depan."Ana mendengus pelan, matanya menyipit sejenak sebelum berbalik pergi tanpa
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Malam sebelumnya, tidurnya terganggu oleh mimpi-mimpi yang samar, bayangan tentang masa lalunya yang perlahan-lahan kembali menghantui. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah ruangan besar dengan dinding-dinding yang kosong, mendengar suara-suara berbisik dari sekelilingnya. Suara-suara itu terdengar menuduh, menyakitkan, dan membuat dadanya sesak. Ketika ia mencoba mencari asal suara itu, hanya kegelapan yang ia temui.Bangun dengan perasaan tak menentu, Wulan merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya. Sudah terlalu lama ia menahan semua perasaan ini sendirian. Meskipun cinta kepada Dimas masih ada, Wulan mulai mempertanyakan apakah ia benar-benar kuat untuk terus bertahan seperti ini. Perlakuan keluarga suaminya, yang semakin hari semakin dingin dan penuh sindiran, membuat hatinya lelah. Namun, seperti biasa, ia menyembunyikan semua itu di balik senyum dan kesabarannya yang tampak sempurna.Sambil menyiapkan sa
Pagi itu, rumah keluarga Setyo kembali dalam rutinitas biasa. Wulan, seperti biasa, bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Ia sudah terbiasa dengan keheningan yang menyelimuti rumah saat semua orang masih terlelap. Di balik aktivitas paginya yang sederhana, Wulan merasa ada sesuatu yang sedikit berbeda. Meski hari-harinya tak pernah jauh dari rutinitas, ada sebersit harapan yang muncul dalam benaknya, meski samar.Ketika Dimas bangun dan masuk ke dapur, ia mendapati Wulan sedang sibuk menggoreng telur. Tanpa berkata banyak, ia menghampiri istrinya dan memeluknya dari belakang. Kejutan kecil ini membuat Wulan sedikit terperanjat, tetapi senyum tipis muncul di wajahnya."Masih ngantuk, Mas?" tanya Wulan, mencoba terdengar ringan.Dimas mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tapi aku lebih ingin menghabiskan waktu dengan kamu pagi ini."Pernyataan Dimas membuat Wulan merasa hangat di dalam hati. Di tengah kesibukan dan semua masalah yang ia hadapi, perhatia
Pagi itu, seperti biasanya, Wulan sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dalam kesunyian rumah yang masih terlelap, ia mengisi waktunya dengan aktivitas yang menenangkan. Suara pelan dari peralatan dapur menjadi latar belakang bagi pikirannya yang terus bergerak, mencoba merangkai strategi untuk menghadapi hari yang penuh dengan tantangan emosional.Saat Dimas akhirnya bangun dan masuk ke dapur, Wulan menyambutnya dengan senyum yang telah ia latih setiap hari. Senyum itu bukan sekadar ekspresi bahagia, melainkan tameng yang melindungi dirinya dari rasa sakit yang semakin lama semakin berat.Dimas menghampiri Wulan, memeluknya dari belakang seperti yang biasa ia lakukan. "Pagi, Sayang. Apa yang kita makan hari ini?" tanyanya dengan nada ceria.Wulan tersenyum lebih lebar, meski hatinya bergetar. "Aku buatkan nasi goreng kesukaan kamu, Mas. Kamu pasti suka."Dimas tersenyum sambil melepaskan pelukannya dan duduk di kursi makan. Ia tampak bersemangat, tak menyadari ketegangan
Pagi itu, suasana rumah masih sama seperti sebelumnya. Wulan menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma kopi yang diseduh memenuhi ruang, menyelimuti pagi dengan kehangatan yang ironisnya, tidak pernah benar-benar dirasakannya.Ketika Dimas turun dari kamar, matanya langsung tertuju pada Wulan yang tengah mengatur meja makan. Ia menghampiri istrinya, memberikan kecupan ringan di pipi. “Pagi, Sayang. Terima kasih sudah bangun lebih awal lagi hari ini.”Wulan tersenyum, seperti biasanya. "Selamat pagi, Mas. Sarapan sudah siap."Dimas duduk di kursi, menatap Wulan dengan rasa ingin tahu yang sudah beberapa hari terakhir ini tak mampu ia abaikan. “Kamu benar-benar baik-baik saja, kan? Aku bisa melihat kamu sering termenung akhir-akhir ini.”Wulan menoleh, memandang Dimas dengan tatapan yang penuh perhatian, mencoba meyakinkan suaminya bahwa semuanya baik-baik saja. “Aku hanya sedikit lelah, Mas. Mungkin karena pekerjaan rumah yang bertumpuk. Jangan khawatir.”Dimas
Pagi itu, udara terasa sedikit lebih sejuk dari biasanya. Sinar matahari yang lembut masuk melalui jendela kamar Wulan, memantulkan kilau hangat di dinding. Wulan membuka matanya perlahan, merasakan hangatnya cahaya pagi yang membangunkan tubuhnya dari kelelahan semalam. Namun, di balik ketenangan pagi itu, Wulan merasakan ada sesuatu yang berat mengganjal di hatinya.Dimas sudah bangun lebih awal. Seperti biasa, ia bersiap-siap untuk bekerja, mengenakan setelan kerjanya dengan rapi. Wulan memandang suaminya sejenak, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang terlihat damai ketika sedang sibuk menyiapkan diri. Ada rasa nyaman yang menjalar di hatinya setiap kali melihat Dimas, namun rasa itu selalu dibarengi dengan perasaan perih yang semakin dalam.“Selamat pagi, Sayang,” Dimas menyapa Wulan dengan senyuman hangat ketika melihat istrinya bangun dari tempat tidur.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahan yang ia rasakan. “Selamat pagi, Mas. Sudah siap untuk bekerja?”Di