Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Malam sebelumnya, tidurnya terganggu oleh mimpi-mimpi yang samar, bayangan tentang masa lalunya yang perlahan-lahan kembali menghantui. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah ruangan besar dengan dinding-dinding yang kosong, mendengar suara-suara berbisik dari sekelilingnya. Suara-suara itu terdengar menuduh, menyakitkan, dan membuat dadanya sesak. Ketika ia mencoba mencari asal suara itu, hanya kegelapan yang ia temui.
Bangun dengan perasaan tak menentu, Wulan merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya. Sudah terlalu lama ia menahan semua perasaan ini sendirian. Meskipun cinta kepada Dimas masih ada, Wulan mulai mempertanyakan apakah ia benar-benar kuat untuk terus bertahan seperti ini. Perlakuan keluarga suaminya, yang semakin hari semakin dingin dan penuh sindiran, membuat hatinya lelah. Namun, seperti biasa, ia menyembunyikan semua itu di balik senyum dan kesabarannya yang tampak sempurna.
Sambil menyiapkan sa
Pagi itu, rumah keluarga Setyo kembali dalam rutinitas biasa. Wulan, seperti biasa, bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Ia sudah terbiasa dengan keheningan yang menyelimuti rumah saat semua orang masih terlelap. Di balik aktivitas paginya yang sederhana, Wulan merasa ada sesuatu yang sedikit berbeda. Meski hari-harinya tak pernah jauh dari rutinitas, ada sebersit harapan yang muncul dalam benaknya, meski samar.Ketika Dimas bangun dan masuk ke dapur, ia mendapati Wulan sedang sibuk menggoreng telur. Tanpa berkata banyak, ia menghampiri istrinya dan memeluknya dari belakang. Kejutan kecil ini membuat Wulan sedikit terperanjat, tetapi senyum tipis muncul di wajahnya."Masih ngantuk, Mas?" tanya Wulan, mencoba terdengar ringan.Dimas mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tapi aku lebih ingin menghabiskan waktu dengan kamu pagi ini."Pernyataan Dimas membuat Wulan merasa hangat di dalam hati. Di tengah kesibukan dan semua masalah yang ia hadapi, perhatia
Pagi itu, seperti biasanya, Wulan sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dalam kesunyian rumah yang masih terlelap, ia mengisi waktunya dengan aktivitas yang menenangkan. Suara pelan dari peralatan dapur menjadi latar belakang bagi pikirannya yang terus bergerak, mencoba merangkai strategi untuk menghadapi hari yang penuh dengan tantangan emosional.Saat Dimas akhirnya bangun dan masuk ke dapur, Wulan menyambutnya dengan senyum yang telah ia latih setiap hari. Senyum itu bukan sekadar ekspresi bahagia, melainkan tameng yang melindungi dirinya dari rasa sakit yang semakin lama semakin berat.Dimas menghampiri Wulan, memeluknya dari belakang seperti yang biasa ia lakukan. "Pagi, Sayang. Apa yang kita makan hari ini?" tanyanya dengan nada ceria.Wulan tersenyum lebih lebar, meski hatinya bergetar. "Aku buatkan nasi goreng kesukaan kamu, Mas. Kamu pasti suka."Dimas tersenyum sambil melepaskan pelukannya dan duduk di kursi makan. Ia tampak bersemangat, tak menyadari ketegangan
Pagi itu, suasana rumah masih sama seperti sebelumnya. Wulan menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma kopi yang diseduh memenuhi ruang, menyelimuti pagi dengan kehangatan yang ironisnya, tidak pernah benar-benar dirasakannya.Ketika Dimas turun dari kamar, matanya langsung tertuju pada Wulan yang tengah mengatur meja makan. Ia menghampiri istrinya, memberikan kecupan ringan di pipi. “Pagi, Sayang. Terima kasih sudah bangun lebih awal lagi hari ini.”Wulan tersenyum, seperti biasanya. "Selamat pagi, Mas. Sarapan sudah siap."Dimas duduk di kursi, menatap Wulan dengan rasa ingin tahu yang sudah beberapa hari terakhir ini tak mampu ia abaikan. “Kamu benar-benar baik-baik saja, kan? Aku bisa melihat kamu sering termenung akhir-akhir ini.”Wulan menoleh, memandang Dimas dengan tatapan yang penuh perhatian, mencoba meyakinkan suaminya bahwa semuanya baik-baik saja. “Aku hanya sedikit lelah, Mas. Mungkin karena pekerjaan rumah yang bertumpuk. Jangan khawatir.”Dimas
Pagi itu, udara terasa sedikit lebih sejuk dari biasanya. Sinar matahari yang lembut masuk melalui jendela kamar Wulan, memantulkan kilau hangat di dinding. Wulan membuka matanya perlahan, merasakan hangatnya cahaya pagi yang membangunkan tubuhnya dari kelelahan semalam. Namun, di balik ketenangan pagi itu, Wulan merasakan ada sesuatu yang berat mengganjal di hatinya.Dimas sudah bangun lebih awal. Seperti biasa, ia bersiap-siap untuk bekerja, mengenakan setelan kerjanya dengan rapi. Wulan memandang suaminya sejenak, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang terlihat damai ketika sedang sibuk menyiapkan diri. Ada rasa nyaman yang menjalar di hatinya setiap kali melihat Dimas, namun rasa itu selalu dibarengi dengan perasaan perih yang semakin dalam.“Selamat pagi, Sayang,” Dimas menyapa Wulan dengan senyuman hangat ketika melihat istrinya bangun dari tempat tidur.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahan yang ia rasakan. “Selamat pagi, Mas. Sudah siap untuk bekerja?”Di
Pagi berikutnya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Perasaan resah yang menemaninya semalaman masih membekas di hatinya. Meskipun ia berusaha untuk terlihat tenang di hadapan Dimas, Wulan tahu bahwa beban yang ia pikul semakin berat.Setelah memastikan bahwa Dimas berangkat kerja dengan baik, Wulan kembali tenggelam dalam rutinitasnya. Pekerjaan rumah yang tampak sederhana bagi orang lain justru menjadi pelarian baginya. Menggosok lantai, mencuci piring, dan menyapu halaman seolah-olah memberinya waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya sedang ia alami.Namun, setiap kali Wulan berhenti sejenak, pikirannya selalu kembali pada perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Meskipun mereka tidak pernah secara terang-terangan mengungkapkan kebencian mereka, Wulan bisa merasakan jarak yang semakin melebar di antara mereka. Setiap senyum palsu yang mereka berikan terasa seperti belati yang menusuk dari belakang.Sore harinya, Wulan berencana untuk pergi ke pasar. Ia butuh bah
Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda di pagi itu. Meski tubuhnya masih terasa lelah, ada semacam ketenangan yang menyelimuti hatinya. Keputusan yang ia buat semalam memberikan semacam kekuatan baru dalam dirinya, meski ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah.Hari itu dimulai seperti biasa, dengan rutinitas yang hampir selalu sama setiap harinya. Namun, di balik setiap langkah, Wulan mulai memikirkan bagaimana ia akan menjalankan rencananya. Rencana yang belum sepenuhnya jelas, namun sudah mulai terbentuk dalam pikirannya.Saat Wulan menyapu halaman depan rumah, pikirannya kembali melayang pada masa lalunya—masa sebelum ia menikah dengan Dimas. Kenangan tentang bagaimana ia membangun Solus Group, tentang setiap keputusan yang ia buat, setiap risiko yang ia ambil, semuanya terasa begitu jauh sekarang. Seolah-olah itu adalah kehidupan lain, kehidupan yang tidak pernah ada dalam realitas yang ia hadapi saat ini.Namun, meskipun Wulan telah menyimpan masa lalunya itu dengan rapat,
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kecil di belakang rumah. Taman itu adalah salah satu tempat favoritnya untuk menenangkan diri, jauh dari tatapan dingin Ana atau komentar sinis dari Bu Ratna. Saat embun pagi masih menggantung di daun-daun, Wulan membiarkan dirinya merenung, memikirkan kehidupan yang telah ia pilih.Sejak pernikahannya dengan Dimas, Wulan merasakan adanya jarak yang tak kasat mata antara dirinya dan keluarga suaminya. Meskipun mereka tidak pernah secara langsung menunjukkan ketidaksukaan mereka di depan Dimas, Wulan selalu bisa merasakan ketidaknyamanan yang menggantung di udara. Di setiap interaksi, selalu ada kata-kata yang ditahan, pandangan yang tidak sepenuhnya tulus, dan senyum yang terasa dipaksakan.Ketika Dimas tidak ada, sikap mereka berubah. Ana dan Bu Ratna tidak lagi berusaha menyembunyikan rasa ketidaksukaan mereka. Namun, meski Wulan sadar akan semua ini, ia memilih untuk tetap diam. Dia yakin
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa di rumah keluarga Dimas. Setiap pagi, Wulan bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Dimas dan keluarganya, sebelum menjalani rutinitas rumah tangga yang seakan tak ada habisnya. Namun, di balik senyuman dan keheningannya, hati Wulan mulai dipenuhi rencana-rencana yang tersusun rapi.Pagi itu, Wulan sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan bersama Bu Ratna dan Ana. Seperti biasa, Dimas sudah berangkat ke kantor lebih awal. Wulan sesekali mencuri pandang ke arah mertuanya, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka. Selama beberapa waktu terakhir, ia mulai melihat celah-celah kecil dalam topeng yang dikenakan oleh Bu Ratna dan Ana. Ketidaknyamanan dan ketidaksukaan mereka terhadap Wulan semakin sulit disembunyikan, meskipun mereka masih berusaha menutupi sikap sebenarnya saat Dimas berada di rumah.Ana, yang biasanya sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba meletakkan perangkatnya di meja dan menatap Wulan. "Mbak Wulan, aku dengar dari teman-te