Hari-hari berlalu, dan rutinitas di rumah Dimas seakan menjadi bagian dari kehidupan Wulan. Meskipun hari-harinya diwarnai oleh senyuman dan kesabaran, di dalam hati Wulan, sesuatu mulai terbentuk—sebuah rencana yang perlahan-lahan mulai mengukir jalan menuju pembebasan dan kekuatan yang ia impikan.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Setelah menyiapkan sarapan, ia memutuskan untuk menyisihkan sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Ia duduk di teras belakang, menikmati secangkir teh hangat sambil memandangi taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Momen tenang ini memberinya kesempatan untuk berpikir jernih. Di sinilah Wulan merasakan koneksi dengan alam, merasakan betapa kecilnya dia di tengah keindahan dunia, namun dengan semangat yang tak tergoyahkan untuk mengubah nasibnya.Setelah sarapan, Wulan memutuskan untuk pergi ke gym kecil yang ada di kompleks perumahan mereka. Ia ingin menjaga kebugaran tubuhnya sekaligus mencari waktu untuk merenung
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa berhasil karena mulai bisa mendekati Ana dan mengorek sedikit informasi darinya. Namun, di sisi lain, ia juga sadar bahwa apa yang sedang dilakukannya penuh risiko. Ia tidak boleh terbawa suasana atau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Keluarga Dimas, meskipun tampak bersikap baik di permukaan, mungkin memiliki rencana tersembunyi yang lebih dalam.Hari itu, Dimas pulang lebih awal dari biasanya. Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat, seperti biasa. Namun, ia bisa merasakan bahwa Dimas sedang membawa beban pikiran. Sesuatu telah terjadi di tempat kerjanya, dan Wulan merasa perlu menanyakannya."Mas, kamu pulang lebih awal hari ini. Ada apa?" tanyanya lembut, sambil menyajikan teh untuk Dimas.Dimas mengambil cangkir teh dari tangan Wulan dan duduk di sofa, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Iya, ada masalah kecil di kantor. Tidak terlalu serius, tapi cukup meng
Pagi itu, Wulan terbangun dengan semangat baru. Rencananya sudah mulai berjalan, dan ia merasa lebih siap daripada sebelumnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Dimas telah berangkat ke kantor lebih awal, seperti biasa, dan Wulan memanfaatkan waktu sendirian di rumah untuk mengatur langkah selanjutnya.Ana masih berada di kamar ketika Wulan selesai sarapan. Ia tahu bahwa adik iparnya itu mungkin tidak akan bangun hingga siang hari, memberikan Wulan waktu yang cukup untuk fokus pada urusannya sendiri. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang mengawasi, Wulan menuju ruang kerjanya dan membuka laptop.Pesan dari Pak Andri telah diterima semalam. Isi pesannya sederhana namun penuh makna: "Tentu, Bu Wulan. Saya akan atur pertemuan minggu depan. Terima kasih atas inisiatifnya."Wulan tersenyum tipis. Pertemuan ini akan menjadi langkah penting untuk memastikan proyek Dimas berjalan sesuai rencananya. Wulan tidak hanya akan membantu Dimas, tetapi juga memastikan bahwa
Pagi yang baru tiba dengan suasana yang tenang di rumah keluarga Dimas. Namun, ketenangan ini hanya permukaan tipis yang menutupi kegelisahan yang semakin mengakar di dalam diri Wulan. Semakin hari, rencananya berjalan dengan baik, namun rasa bersalah dan keraguan terus menghantui pikirannya. Ia mulai mempertanyakan apakah rencana balas dendam ini benar-benar sepadan dengan harga yang harus dibayar—pernikahan dan kebahagiaan yang dulu mereka nikmati.Setelah mengantar Dimas berangkat kerja, Wulan menghela napas panjang dan duduk di meja makan. Kepalanya terasa berat dengan segala pikiran yang berputar di dalamnya. Tapi ia harus tetap fokus, terutama saat ini, ketika permainan mulai memasuki tahap yang lebih serius.Ana berjalan masuk ke ruang makan dengan langkah yang pelan, tampaknya masih terbebani oleh firasat buruk yang sudah beberapa hari ini menghantuinya. "Mbak Wulan, aku merasa ada yang perlu kita bicarakan," katanya dengan suara yang sedikit gemetar.
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi rasa berat di hati Wulan tidak berkurang sedikit pun. Semakin dalam rencana ini berjalan, semakin Wulan merasakan bahwa kehidupannya mulai terjerat dalam jaring yang ia buat sendiri. Ia harus terus bermain dalam peran yang ia pilih—menjadi istri yang setia di hadapan Dimas, namun menjadi mastermind di balik kehancurannya di belakang layar.Di meja makan pagi itu, suasana terasa canggung. Ana dan Ibunya, meskipun masih menunjukkan sikap sopan di depan Dimas, semakin sering menunjukkan sikap dingin saat Dimas tidak ada. Wulan merasakan ketegangan yang kian memuncak. Senyum yang dipaksakan di bibir Ana kini tidak lagi mampu menyembunyikan rasa tidak sukanya."Sarapan hari ini enak sekali, Mbak," kata Ana dengan nada yang terdengar manis, tetapi Wulan bisa merasakan adanya nada sinis di balik pujian itu. "Kamu memang selalu bisa membuat makanan enak."Wulan membalas dengan senyum lembut. "Terima kasih, Ana. Aku senang kamu suka."Meskipun percakapan
Pagi datang dengan sinar matahari yang masuk melalui tirai tipis di kamar Wulan. Namun, meski pagi menjanjikan awal yang baru, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menghantui dirinya sejak malam sebelumnya. Dimas masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat tenang, seolah semua masalah di dunia ini tidak menyentuhnya. Tetapi Wulan tahu, di balik ketenangan itu, ada badai yang sedang berkumpul.Wulan perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Dimas. Dia merasa perlu waktu untuk sendiri, untuk merenung dan menata kembali pikirannya yang kacau. Setelah mandi dan mengenakan pakaian, Wulan turun ke dapur, berharap kesibukan memasak bisa mengalihkan pikirannya.Namun, saat Wulan mulai menyiapkan sarapan, langkah kaki terdengar mendekat. Ana muncul di pintu dapur, wajahnya terlihat segar tetapi dengan tatapan mata yang mengisyaratkan sesuatu yang berbeda."Pagi, Mbak," sapa Ana dengan senyum tipis. "Hari ini aku bantuin masak, ya?"Wulan menatap Ana sejenak, s
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Dimas berangkat kerja lebih awal, tanpa sarapan dan tanpa kata-kata yang biasa diucapkannya kepada Wulan. Meskipun Wulan mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, bayangan ketegangan yang tersirat di wajah Dimas tidak bisa ia lupakan.Wulan duduk di meja makan, memandangi cangkir kopinya yang dingin. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai macam pikiran, dari situasi yang dihadapi Dimas di kantor hingga langkah-langkah yang harus ia ambil untuk memastikan rencana balas dendamnya berjalan lancar. Namun, di balik semua itu, ada perasaan hampa yang semakin hari semakin sulit ia abaikan.Ketika Wulan beranjak dari meja, ia mendengar suara pintu dibuka dengan pelan. Ana masuk ke ruang makan, dengan senyuman yang seolah tidak pernah lepas dari wajahnya. Senyuman itu, bagi orang lain mungkin terlihat ramah dan tulus, tapi bagi Wulan, ada sesuatu di balik senyuman itu yang membuatnya waspada."Apa a
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan yang berat. Ketegangan di rumah semakin terasa, seperti kabut yang tidak kunjung hilang. Meskipun Dimas mencoba tetap bersikap tenang, Wulan bisa merasakan bahwa beban yang ia pikul semakin berat setiap harinya. Proyek yang dihentikan sementara waktu itu menjadi ancaman yang terus menghantui pikiran Dimas, dan pada akhirnya, ikut mempengaruhi suasana di rumah.Wulan turun ke dapur dan melihat ibu mertua serta Ana sedang sibuk menyiapkan sarapan. Mereka berdua terlihat akrab, saling berbincang dengan nada suara yang rendah. Ketika Wulan masuk, percakapan mereka berhenti tiba-tiba, dan suasana di dapur menjadi lebih sunyi.“Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan senyum yang ia paksakan.Ibu mertua Wulan menoleh dengan senyum tipis, “Pagi, Wulan. Sudah sarapan?”“Belum, Bu. Saya mau bantu-bantu di sini dulu,” jawab Wulan sambil melangkah mendekat.“Nggak usah, Wulan. Kamu k