Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Dimas berangkat kerja lebih awal, tanpa sarapan dan tanpa kata-kata yang biasa diucapkannya kepada Wulan. Meskipun Wulan mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, bayangan ketegangan yang tersirat di wajah Dimas tidak bisa ia lupakan.
Wulan duduk di meja makan, memandangi cangkir kopinya yang dingin. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai macam pikiran, dari situasi yang dihadapi Dimas di kantor hingga langkah-langkah yang harus ia ambil untuk memastikan rencana balas dendamnya berjalan lancar. Namun, di balik semua itu, ada perasaan hampa yang semakin hari semakin sulit ia abaikan.
Ketika Wulan beranjak dari meja, ia mendengar suara pintu dibuka dengan pelan. Ana masuk ke ruang makan, dengan senyuman yang seolah tidak pernah lepas dari wajahnya. Senyuman itu, bagi orang lain mungkin terlihat ramah dan tulus, tapi bagi Wulan, ada sesuatu di balik senyuman itu yang membuatnya waspada.
"Apa a
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan yang berat. Ketegangan di rumah semakin terasa, seperti kabut yang tidak kunjung hilang. Meskipun Dimas mencoba tetap bersikap tenang, Wulan bisa merasakan bahwa beban yang ia pikul semakin berat setiap harinya. Proyek yang dihentikan sementara waktu itu menjadi ancaman yang terus menghantui pikiran Dimas, dan pada akhirnya, ikut mempengaruhi suasana di rumah.Wulan turun ke dapur dan melihat ibu mertua serta Ana sedang sibuk menyiapkan sarapan. Mereka berdua terlihat akrab, saling berbincang dengan nada suara yang rendah. Ketika Wulan masuk, percakapan mereka berhenti tiba-tiba, dan suasana di dapur menjadi lebih sunyi.“Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan senyum yang ia paksakan.Ibu mertua Wulan menoleh dengan senyum tipis, “Pagi, Wulan. Sudah sarapan?”“Belum, Bu. Saya mau bantu-bantu di sini dulu,” jawab Wulan sambil melangkah mendekat.“Nggak usah, Wulan. Kamu k
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan tidak menentu. Ketidakpastian yang menghantui pikirannya membuatnya merasa seperti berada di dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, ia adalah seorang istri yang harus setia dan mendukung suaminya, tetapi di sisi lain, ia adalah seorang pemimpin yang memiliki kekuatan untuk mengubah hidupnya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Kedua peran ini semakin hari semakin sulit untuk ia jalani bersamaan.Setelah membersihkan diri dan bersiap-siap, Wulan menuju dapur untuk memulai hari. Pagi ini, suasana dapur berbeda. Tidak ada percakapan hangat antara ibu mertua dan Ana seperti biasanya. Mereka berdua tampak lebih pendiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Wulan bisa merasakan ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tidak yakin apa itu.Wulan berusaha mengalihkan pikirannya dengan mempersiapkan sarapan. Ia tahu bahwa Dimas membutuhkan energi untuk hari yang panjang di kantor. Ketika sedang menyiapkan makanan, ia mendengar langkah kaki Dimas yang tu
Pagi itu, Wulan merasakan kegelisahan yang tak biasa. Meskipun hari tampak cerah dan udara segar, ada sesuatu yang mengganggunya sejak ia membuka mata. Perasaan ini seperti bayangan gelap yang menyelinap di balik sinar matahari pagi, tidak terlihat jelas, tetapi kehadirannya tak bisa diabaikan.Wulan turun ke dapur dengan langkah pelan, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Ibu mertua dan Ana sudah duduk di meja makan, seperti biasa. Namun, kali ini, ada ketegangan yang jelas di udara, meskipun tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Wulan bisa merasakan tatapan Ana yang tajam menusuk punggungnya saat ia mengambil kopi dan duduk di meja.“Selamat pagi,” Wulan mencoba membuka percakapan dengan suara lembut.“Pagi,” jawab ibu mertua singkat, tanpa sedikit pun senyuman di wajahnya.Ana hanya mengangguk, tatapan matanya tetap tertuju pada piringnya. Suasana yang sunyi dan canggung menyelimuti ruang makan, seolah-olah mereka semua sedang menunggu sesuatu yang buruk terjadi.Dimas
Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang lebih berat. Keputusan-keputusan yang harus diambil dan rahasia yang harus disimpan membuat pikirannya semakin penuh. Sinar matahari pagi yang menerobos melalui jendela kamarnya tidak mampu mengusir kegelapan yang kini mengelilingi hatinya.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih tegang dari biasanya. Dimas sedang berbicara dengan ibunya, dan meskipun suaranya terdengar lembut, ada nada ketidakpuasan yang samar-samar. Wulan mendekati meja makan dengan senyuman kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya.“Pagi, Mas,” sapa Wulan sambil memberikan ciuman di pipi Dimas.Dimas menoleh dan membalas senyuman Wulan, meskipun terlihat sedikit canggung. “Pagi, sayang. Kamu tidur nyenyak?”Wulan mengangguk, meskipun kenyataannya ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Pikirannya terus-menerus dipenuhi oleh rencana-rencana dan kekhawatiran. Namun
Pagi yang baru membawa sedikit ketenangan bagi Wulan. Meskipun kegelisahan semalam masih menyisakan jejak di hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi ujian lain untuk dirinya. Setiap langkah yang diambilnya harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Ia sadar bahwa ia tidak bisa membiarkan dirinya terbawa oleh emosi atau kehilangan kendali, terutama di hadapan keluarga Dimas.Seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Meskipun pekerjaannya ini terasa lebih seperti rutinitas tanpa makna, ia melakukannya dengan penuh perhatian. Setiap gerakan tangannya saat menyiapkan makanan adalah bentuk lain dari upayanya untuk tetap mempertahankan kedamaian di rumah ini, meskipun kedamaian itu hanyalah ilusi yang rapuh.Saat ia membawa hidangan ke meja makan, ibu mertuanya sudah duduk di kursi, dengan tatapan yang sama seperti kemarin—dingin dan menilai. Wulan menundukkan kepala sedikit, menyapa dengan sopan seperti biasanya. Ibu mertuanya hanya mengangguk
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan campur aduk. Malam yang ia lewati penuh dengan renungan dan kekhawatiran, namun ia tahu bahwa ia harus menjalani harinya dengan tenang. Semuanya harus terlihat normal, seolah-olah tidak ada yang berubah. Rutinitas harus terus berlanjut.Wulan memulai pagi dengan rutinitas yang sama, menyiapkan sarapan dengan tenang. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia merasa ada kekuatan baru yang mengalir di nadinya, kekuatan yang ia dapatkan dari tekad untuk bertahan. Wulan tahu bahwa ia harus lebih berhati-hati, tetapi ia juga harus lebih cerdas dalam menghadapi situasi ini.Saat Dimas turun untuk sarapan, ia menyapa Wulan dengan senyuman hangat seperti biasa. “Pagi, sayang. Sudah siap untuk hari ini?”Wulan membalas senyumannya, berusaha menjaga ketenangan dalam suaranya. “Pagi, Mas. Iya, sudah siap. Kamu sendiri?”Dimas mengangguk sambil menarik kursi dan duduk di meja makan. “
Pagi hari berikutnya, Wulan terbangun dengan perasaan yang lebih waspada. Semakin lama, suasana di rumah ini terasa semakin tidak nyaman. Namun, seperti biasa, ia mencoba menutupi perasaan itu dengan senyum dan rutinitas yang tak berubah. Ia tahu bahwa menjaga penampilan dan ketenangan adalah kunci untuk bertahan dalam situasi ini.Saat Wulan menyiapkan sarapan, ia tak bisa menahan perasaan was-was yang kembali menyelimuti pikirannya. Ana dan ibu mertuanya masih berada di kamar, tapi Wulan merasa seperti mereka sedang mengintai setiap langkahnya, seolah mereka tahu sesuatu yang tak boleh diketahui.Ketika Dimas turun ke ruang makan, Wulan menyambutnya dengan senyum lembut. “Pagi, Mas. Tidurmu nyenyak?”Dimas tersenyum sambil duduk di meja makan. “Pagi, sayang. Iya, tidurku nyenyak sekali. Kamu sendiri?”“Lumayan,” jawab Wulan singkat. Ia tidak ingin membicarakan lebih banyak tentang malamnya yang dipenuhi pikiran dan ke
Pagi hari berikutnya dimulai seperti biasanya, tetapi Wulan merasakan suasana yang lebih tegang dari sebelumnya. Ia bangun lebih awal dari biasanya, mencoba menenangkan pikirannya yang terus-menerus dihantui oleh percakapan dengan ibu mertuanya. Langit yang berwarna keemasan ketika matahari terbit terasa kontras dengan suasana hatinya yang penuh kekhawatiran.Saat Wulan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan, ia melihat ibu mertuanya sudah duduk di meja makan. Ibu mertuanya tidak sedang membaca koran seperti biasanya, melainkan menatap keluar jendela dengan pandangan yang jauh. Wulan merasakan ada sesuatu yang berbeda pada pagi ini, namun ia berusaha mengabaikannya.“Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan suara lembut.Ibu mertuanya menoleh dengan lambat, dan ada sekilas senyuman di wajahnya, namun tidak menyentuh matanya. “Pagi, Wulan. Kamu bangun lebih awal hari ini.”Wulan mengangguk sambil mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. “Iya, Bu. Saya pikir lebih baik memulai ha