Pagi yang baru membawa sedikit ketenangan bagi Wulan. Meskipun kegelisahan semalam masih menyisakan jejak di hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi ujian lain untuk dirinya. Setiap langkah yang diambilnya harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Ia sadar bahwa ia tidak bisa membiarkan dirinya terbawa oleh emosi atau kehilangan kendali, terutama di hadapan keluarga Dimas.
Seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Meskipun pekerjaannya ini terasa lebih seperti rutinitas tanpa makna, ia melakukannya dengan penuh perhatian. Setiap gerakan tangannya saat menyiapkan makanan adalah bentuk lain dari upayanya untuk tetap mempertahankan kedamaian di rumah ini, meskipun kedamaian itu hanyalah ilusi yang rapuh.
Saat ia membawa hidangan ke meja makan, ibu mertuanya sudah duduk di kursi, dengan tatapan yang sama seperti kemarin—dingin dan menilai. Wulan menundukkan kepala sedikit, menyapa dengan sopan seperti biasanya. Ibu mertuanya hanya mengangguk
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan campur aduk. Malam yang ia lewati penuh dengan renungan dan kekhawatiran, namun ia tahu bahwa ia harus menjalani harinya dengan tenang. Semuanya harus terlihat normal, seolah-olah tidak ada yang berubah. Rutinitas harus terus berlanjut.Wulan memulai pagi dengan rutinitas yang sama, menyiapkan sarapan dengan tenang. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia merasa ada kekuatan baru yang mengalir di nadinya, kekuatan yang ia dapatkan dari tekad untuk bertahan. Wulan tahu bahwa ia harus lebih berhati-hati, tetapi ia juga harus lebih cerdas dalam menghadapi situasi ini.Saat Dimas turun untuk sarapan, ia menyapa Wulan dengan senyuman hangat seperti biasa. “Pagi, sayang. Sudah siap untuk hari ini?”Wulan membalas senyumannya, berusaha menjaga ketenangan dalam suaranya. “Pagi, Mas. Iya, sudah siap. Kamu sendiri?”Dimas mengangguk sambil menarik kursi dan duduk di meja makan. “
Pagi hari berikutnya, Wulan terbangun dengan perasaan yang lebih waspada. Semakin lama, suasana di rumah ini terasa semakin tidak nyaman. Namun, seperti biasa, ia mencoba menutupi perasaan itu dengan senyum dan rutinitas yang tak berubah. Ia tahu bahwa menjaga penampilan dan ketenangan adalah kunci untuk bertahan dalam situasi ini.Saat Wulan menyiapkan sarapan, ia tak bisa menahan perasaan was-was yang kembali menyelimuti pikirannya. Ana dan ibu mertuanya masih berada di kamar, tapi Wulan merasa seperti mereka sedang mengintai setiap langkahnya, seolah mereka tahu sesuatu yang tak boleh diketahui.Ketika Dimas turun ke ruang makan, Wulan menyambutnya dengan senyum lembut. “Pagi, Mas. Tidurmu nyenyak?”Dimas tersenyum sambil duduk di meja makan. “Pagi, sayang. Iya, tidurku nyenyak sekali. Kamu sendiri?”“Lumayan,” jawab Wulan singkat. Ia tidak ingin membicarakan lebih banyak tentang malamnya yang dipenuhi pikiran dan ke
Pagi hari berikutnya dimulai seperti biasanya, tetapi Wulan merasakan suasana yang lebih tegang dari sebelumnya. Ia bangun lebih awal dari biasanya, mencoba menenangkan pikirannya yang terus-menerus dihantui oleh percakapan dengan ibu mertuanya. Langit yang berwarna keemasan ketika matahari terbit terasa kontras dengan suasana hatinya yang penuh kekhawatiran.Saat Wulan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan, ia melihat ibu mertuanya sudah duduk di meja makan. Ibu mertuanya tidak sedang membaca koran seperti biasanya, melainkan menatap keluar jendela dengan pandangan yang jauh. Wulan merasakan ada sesuatu yang berbeda pada pagi ini, namun ia berusaha mengabaikannya.“Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan suara lembut.Ibu mertuanya menoleh dengan lambat, dan ada sekilas senyuman di wajahnya, namun tidak menyentuh matanya. “Pagi, Wulan. Kamu bangun lebih awal hari ini.”Wulan mengangguk sambil mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. “Iya, Bu. Saya pikir lebih baik memulai ha
Pagi yang baru kembali menyapa keluarga itu, tetapi ketegangan di antara mereka belum juga reda. Wulan terbangun dengan perasaan berat di dadanya, seolah-olah beban yang ia rasakan kian bertambah dari hari ke hari. Ia tahu bahwa ibu mertuanya semakin curiga, dan setiap langkahnya terasa seperti diawasi. Namun, Wulan berusaha untuk tetap kuat dan tidak memperlihatkan kegelisahan yang semakin menghantui pikirannya.Setelah selesai berbenah di kamar, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, memberikan sedikit rasa nyaman di tengah kegelisahannya. Namun, kenyamanan itu tidak bertahan lama ketika ia mendengar langkah-langkah ibu mertuanya yang mendekat.“Kamu tidak tidur dengan baik tadi malam, ya?” suara ibu mertuanya terdengar lembut, tetapi Wulan bisa merasakan nada halus kecurigaan di baliknya.Wulan menoleh dan memberikan senyum kecil. “Hanya sedikit gelisah saja, Bu. Mungkin karena cuaca yang agak panas tadi malam.”Ibu mertuanya men
Pagi yang baru tiba di rumah keluarga Dimas. Matahari baru saja terbit, sinarnya menembus tirai kamar Wulan dan Dimas. Wulan bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan segala sesuatunya sebelum anggota keluarga yang lain terjaga. Hari ini, entah kenapa, perasaan Wulan jauh lebih berat dari biasanya. Semalam, perkataan ibu mertuanya terus menghantui pikirannya, membuat tidur Wulan tidak nyenyak.Setelah menyiapkan sarapan dan memastikan semuanya dalam keadaan rapi, Wulan duduk sejenak di ruang makan, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikiran tentang ancaman ibu mertuanya tidak mau hilang dari benaknya. Ia tahu bahwa wanita itu tidak main-main. Selama ini, Wulan sudah berusaha keras untuk menjaga rahasianya, tapi sekarang ia mulai merasakan tekanan yang semakin besar.Tak lama kemudian, Dimas turun dari kamar dengan senyum hangat seperti biasanya. “Pagi, Sayang,” sapa Dimas sambil mencium pipi Wulan.“Pagi, Mas,” jawab Wulan dengan senyu
Keesokan paginya, Wulan bangun dengan semangat yang berbeda. Meskipun kegelisahan masih membayang, ia sadar bahwa harus lebih berhati-hati dalam setiap langkahnya. Setelah melewati malam yang penuh dengan pikiran dan rencana, Wulan merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini.Seperti biasa, Wulan memulai harinya dengan menyiapkan sarapan untuk keluarga. Namun, hari ini, ia berusaha menciptakan suasana yang lebih ceria. Ia menyiapkan hidangan favorit Dimas, berharap ini bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menyelimuti dirinya.Pagi itu, Wulan memperhatikan cara Dimas berbicara dan bertindak lebih dari biasanya. Ia mulai mencari tanda-tanda apakah suaminya mulai mencurigai sesuatu. Namun, Dimas tampak seperti biasa—hangat dan penuh perhatian. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia menyadari ketegangan yang terjadi di antara Wulan dan anggota keluarganya.“Wulan, kamu terlihat sedikit lelah. Ada yang salah?” tanya Dimas saa
Pagi itu, Wulan merasa lebih segar meskipun tidurnya tak sepenuhnya nyenyak. Dia tahu bahwa kesehariannya kini tak lagi hanya tentang mengurus rumah dan melayani keluarga suami. Ada perang dingin yang tak terlihat di antara dirinya dan ibu mertua serta Ana. Namun, Wulan juga sadar bahwa dia harus tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau kecemasan.Seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Kali ini, dia memilih menu yang lebih sederhana namun tetap menggugah selera. Dimas, yang sudah rapi dengan setelan kantornya, tampak senang melihat hidangan yang disajikan istrinya.“Kamu benar-benar tahu cara membuat hari dimulai dengan baik, Sayang,” puji Dimas sambil mencium pipi Wulan.Wulan tersenyum lembut, menikmati momen kebersamaan singkat ini. “Selama Mas Dimas suka, Wulan juga senang.”Setelah sarapan, Dimas segera berangkat ke kantor. Seperti biasa, sebelum pergi, dia sempat berbincang dengan ibunya. Wulan me
Pagi itu, langit tampak sedikit mendung, menambah nuansa suram di rumah besar keluarga Dimas. Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Tidurnya malam itu terganggu oleh mimpi-mimpi yang membuatnya gelisah, seolah-olah pikirannya tak mau memberinya ketenangan. Dia menatap cermin dan melihat bayangan dirinya yang tampak lebih letih. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, namun dia tahu bahwa dia harus tetap terlihat tegar, setidaknya di depan orang lain.Wulan melangkah keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Seperti biasanya, dia mempersiapkan sarapan untuk keluarga suaminya. Aroma kopi dan roti bakar segera memenuhi ruangan, memberikan kehangatan di pagi yang dingin itu. Namun, meski kesibukannya di dapur seakan menjadi pelarian dari pikiran-pikiran yang menghantuinya, Wulan tak bisa benar-benar mengusir rasa cemas yang terus bergelayut di hatinya.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan segera menyapanya dengan senyuman yang ia paksakan. "Mas Dimas sudah siap sarapan? Ha
Keesokan harinya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dibebani oleh informasi yang ia terima dari Pak Arya kemarin. Selama beberapa menit, ia hanya duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela kamar yang mulai diterangi sinar matahari pagi. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang besar sedang menunggunya, sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan.Dengan langkah pelan, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Meskipun Dimas selalu berangkat lebih awal, hari ini ia memutuskan untuk menemaninya lebih lama, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi.Saat Dimas turun dari kamar dengan penampilan rapi seperti biasanya, Wulan sudah menyiapkan kopi dan roti panggang di meja. Suaminya tampak sedikit terkejut melihat Wulan masih di dapur pada jam seperti ini.“Pagi, Sayang. Tumben kamu belum siap-siap?” tanya Dimas sambil mengambil cangkir kopi dari meja.Wulan tersenyum tipis. “Aku pikir, sesekali menemani
Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si
Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken
Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun
Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena