Pagi yang baru tiba di rumah keluarga Dimas. Matahari baru saja terbit, sinarnya menembus tirai kamar Wulan dan Dimas. Wulan bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan segala sesuatunya sebelum anggota keluarga yang lain terjaga. Hari ini, entah kenapa, perasaan Wulan jauh lebih berat dari biasanya. Semalam, perkataan ibu mertuanya terus menghantui pikirannya, membuat tidur Wulan tidak nyenyak.
Setelah menyiapkan sarapan dan memastikan semuanya dalam keadaan rapi, Wulan duduk sejenak di ruang makan, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikiran tentang ancaman ibu mertuanya tidak mau hilang dari benaknya. Ia tahu bahwa wanita itu tidak main-main. Selama ini, Wulan sudah berusaha keras untuk menjaga rahasianya, tapi sekarang ia mulai merasakan tekanan yang semakin besar.
Tak lama kemudian, Dimas turun dari kamar dengan senyum hangat seperti biasanya. “Pagi, Sayang,” sapa Dimas sambil mencium pipi Wulan.
“Pagi, Mas,” jawab Wulan dengan senyu
Keesokan paginya, Wulan bangun dengan semangat yang berbeda. Meskipun kegelisahan masih membayang, ia sadar bahwa harus lebih berhati-hati dalam setiap langkahnya. Setelah melewati malam yang penuh dengan pikiran dan rencana, Wulan merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi hari ini.Seperti biasa, Wulan memulai harinya dengan menyiapkan sarapan untuk keluarga. Namun, hari ini, ia berusaha menciptakan suasana yang lebih ceria. Ia menyiapkan hidangan favorit Dimas, berharap ini bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menyelimuti dirinya.Pagi itu, Wulan memperhatikan cara Dimas berbicara dan bertindak lebih dari biasanya. Ia mulai mencari tanda-tanda apakah suaminya mulai mencurigai sesuatu. Namun, Dimas tampak seperti biasa—hangat dan penuh perhatian. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia menyadari ketegangan yang terjadi di antara Wulan dan anggota keluarganya.“Wulan, kamu terlihat sedikit lelah. Ada yang salah?” tanya Dimas saa
Pagi itu, Wulan merasa lebih segar meskipun tidurnya tak sepenuhnya nyenyak. Dia tahu bahwa kesehariannya kini tak lagi hanya tentang mengurus rumah dan melayani keluarga suami. Ada perang dingin yang tak terlihat di antara dirinya dan ibu mertua serta Ana. Namun, Wulan juga sadar bahwa dia harus tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan atau kecemasan.Seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Kali ini, dia memilih menu yang lebih sederhana namun tetap menggugah selera. Dimas, yang sudah rapi dengan setelan kantornya, tampak senang melihat hidangan yang disajikan istrinya.“Kamu benar-benar tahu cara membuat hari dimulai dengan baik, Sayang,” puji Dimas sambil mencium pipi Wulan.Wulan tersenyum lembut, menikmati momen kebersamaan singkat ini. “Selama Mas Dimas suka, Wulan juga senang.”Setelah sarapan, Dimas segera berangkat ke kantor. Seperti biasa, sebelum pergi, dia sempat berbincang dengan ibunya. Wulan me
Pagi itu, langit tampak sedikit mendung, menambah nuansa suram di rumah besar keluarga Dimas. Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Tidurnya malam itu terganggu oleh mimpi-mimpi yang membuatnya gelisah, seolah-olah pikirannya tak mau memberinya ketenangan. Dia menatap cermin dan melihat bayangan dirinya yang tampak lebih letih. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, namun dia tahu bahwa dia harus tetap terlihat tegar, setidaknya di depan orang lain.Wulan melangkah keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Seperti biasanya, dia mempersiapkan sarapan untuk keluarga suaminya. Aroma kopi dan roti bakar segera memenuhi ruangan, memberikan kehangatan di pagi yang dingin itu. Namun, meski kesibukannya di dapur seakan menjadi pelarian dari pikiran-pikiran yang menghantuinya, Wulan tak bisa benar-benar mengusir rasa cemas yang terus bergelayut di hatinya.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan segera menyapanya dengan senyuman yang ia paksakan. "Mas Dimas sudah siap sarapan? Ha
Pagi berikutnya, suasana rumah masih terlihat seperti biasa. Wulan bangun lebih awal dan mulai menyiapkan sarapan seperti yang selalu ia lakukan. Dimas masih di kamar mandi, bersiap untuk berangkat kerja. Hati Wulan sedikit lebih tenang pagi itu, meskipun sisa-sisa kecemasan dari hari sebelumnya masih membekas. Dia tahu bahwa hari ini dia harus lebih berhati-hati.Ketika Wulan sedang sibuk di dapur, ibu mertuanya muncul dari arah ruang tamu. Wanita tua itu tampak segar, dengan riasan yang rapi seperti biasa. Ia duduk di meja makan dan memandang Wulan dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Wulan,” panggil ibu mertuanya pelan, namun tegas.Wulan berhenti mengaduk adonan kue dan menoleh. “Iya, Bu? Ada yang Ibu butuhkan?”Wanita itu memandang Wulan sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Kamu sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Kami semua menghargai apa yang kamu lakukan untuk Dimas dan rumah ini. Tapi, ada
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Wulan berusaha menjaga keseimbangan antara perannya sebagai istri yang setia dan tanggung jawab tersembunyi yang dia pikul sebagai pemilik Solus Group. Meskipun tampak tenang di luar, hatinya selalu waspada. Setiap interaksi dengan keluarga Dimas kini dia analisis dengan lebih cermat, mencari tanda-tanda yang mungkin menunjukkan perubahan sikap atau kecurigaan.Pagi itu, seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dimas masih terlelap, dan Wulan mengambil kesempatan itu untuk memeriksa pesan-pesan dari rekan bisnisnya. Dia telah mengatur agar semua komunikasi terkait Solus Group dilakukan melalui saluran yang sangat pribadi dan aman, sehingga tidak ada yang mencurigai keterlibatannya.Saat dia sedang sibuk di dapur, Ana muncul dengan wajah yang sedikit cemberut. Kakak iparnya itu memang dikenal sebagai orang yang sulit ditebak suasana hatinya, namun belakangan ini, Wulan merasakan ada sesuatu yang berbeda dari si
Malam itu, Wulan duduk di tepi ranjangnya, memandangi pemandangan luar jendela yang sepi. Suara hujan yang turun perlahan mengetuk-ngetuk jendela, menciptakan irama yang menenangkan. Dimas sudah tertidur di sampingnya, napasnya teratur dan tenang. Wulan mendesah pelan, berusaha melepaskan segala kegelisahan yang menggumpal di dalam hatinya.Pikirannya kembali pada percakapan pagi tadi dengan Ana. Meskipun tidak ada kata-kata tajam yang dilontarkan, Wulan merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam sikap kakak iparnya itu. Seolah-olah Ana mencoba mencari sesuatu, menggali lebih dalam dari yang seharusnya.Wulan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa dia harus tetap kuat, tidak boleh goyah meskipun kecurigaan mulai merayap di sekitarnya. Wulan berpikir tentang strategi yang akan dia gunakan ke depannya. Mungkin sudah saatnya untuk mulai sedikit menjaga jarak dari keluarga Dimas, tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimanapun juga, dia harus meli
Pagi di rumah keluarga Dimas berjalan dengan ritme yang biasa. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyinari ruang tamu yang telah diisi dengan aroma teh hangat dan roti panggang. Wulan, dengan senyum tipis di wajahnya, sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang. Ibu mertuanya, Bu Ratna, duduk di meja makan, menatap Wulan dengan pandangan yang sulit diartikan."Roti panggangnya sudah matang, Bu," ujar Wulan sambil meletakkan piring berisi roti di meja."Terima kasih, Wulan," jawab Bu Ratna dengan nada datar. Meski kata-katanya terdengar sopan, Wulan dapat merasakan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ketegangan ini hampir tak terlihat, namun cukup terasa bagi Wulan, yang sudah terbiasa mengamati perilaku keluarganya.Ana, yang baru saja turun dari lantai atas, duduk di meja dengan langkah ringan. “Pagi, semua,” sapanya dengan ceria.“Pagi, Ana. Mau kopi?” tanya Wulan deng
Malam di rumah keluarga Dimas selalu sunyi. Setelah makan malam bersama, semua orang kembali ke rutinitas masing-masing. Bu Ratna dan Pak Wirya sering menghabiskan waktu dengan menonton televisi di ruang keluarga, sementara Ana dan suaminya, Arif, terkadang masih sibuk dengan pekerjaan atau berada di kamar mereka.Wulan duduk di sudut kamar, menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip. Pesan dari stafnya di Solus Group sudah masuk, berisi rincian masalah yang perlu diselesaikan. Wulan tahu bahwa dia tidak bisa menunda keputusan ini terlalu lama, tetapi dia juga sadar bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkutat dengan urusan pekerjaan. Suara televisi dari ruang keluarga terdengar sayup-sayup melalui dinding, mengingatkan Wulan bahwa keluarganya hanya beberapa langkah jauhnya. Dia harus tetap waspada.Wulan menghela napas panjang, lalu menutup ponselnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. "Nanti saja," pikirnya. Dia tahu bahwa tekanan ini akan terus me
Keesokan harinya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dibebani oleh informasi yang ia terima dari Pak Arya kemarin. Selama beberapa menit, ia hanya duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela kamar yang mulai diterangi sinar matahari pagi. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang besar sedang menunggunya, sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan.Dengan langkah pelan, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Meskipun Dimas selalu berangkat lebih awal, hari ini ia memutuskan untuk menemaninya lebih lama, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi.Saat Dimas turun dari kamar dengan penampilan rapi seperti biasanya, Wulan sudah menyiapkan kopi dan roti panggang di meja. Suaminya tampak sedikit terkejut melihat Wulan masih di dapur pada jam seperti ini.“Pagi, Sayang. Tumben kamu belum siap-siap?” tanya Dimas sambil mengambil cangkir kopi dari meja.Wulan tersenyum tipis. “Aku pikir, sesekali menemani
Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si
Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken
Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun
Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena