Malam itu, Wulan duduk di tepi ranjangnya, memandangi pemandangan luar jendela yang sepi. Suara hujan yang turun perlahan mengetuk-ngetuk jendela, menciptakan irama yang menenangkan. Dimas sudah tertidur di sampingnya, napasnya teratur dan tenang. Wulan mendesah pelan, berusaha melepaskan segala kegelisahan yang menggumpal di dalam hatinya.
Pikirannya kembali pada percakapan pagi tadi dengan Ana. Meskipun tidak ada kata-kata tajam yang dilontarkan, Wulan merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam sikap kakak iparnya itu. Seolah-olah Ana mencoba mencari sesuatu, menggali lebih dalam dari yang seharusnya.
Wulan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa dia harus tetap kuat, tidak boleh goyah meskipun kecurigaan mulai merayap di sekitarnya. Wulan berpikir tentang strategi yang akan dia gunakan ke depannya. Mungkin sudah saatnya untuk mulai sedikit menjaga jarak dari keluarga Dimas, tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimanapun juga, dia harus meli
Pagi di rumah keluarga Dimas berjalan dengan ritme yang biasa. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyinari ruang tamu yang telah diisi dengan aroma teh hangat dan roti panggang. Wulan, dengan senyum tipis di wajahnya, sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang. Ibu mertuanya, Bu Ratna, duduk di meja makan, menatap Wulan dengan pandangan yang sulit diartikan."Roti panggangnya sudah matang, Bu," ujar Wulan sambil meletakkan piring berisi roti di meja."Terima kasih, Wulan," jawab Bu Ratna dengan nada datar. Meski kata-katanya terdengar sopan, Wulan dapat merasakan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ketegangan ini hampir tak terlihat, namun cukup terasa bagi Wulan, yang sudah terbiasa mengamati perilaku keluarganya.Ana, yang baru saja turun dari lantai atas, duduk di meja dengan langkah ringan. “Pagi, semua,” sapanya dengan ceria.“Pagi, Ana. Mau kopi?” tanya Wulan deng
Malam di rumah keluarga Dimas selalu sunyi. Setelah makan malam bersama, semua orang kembali ke rutinitas masing-masing. Bu Ratna dan Pak Wirya sering menghabiskan waktu dengan menonton televisi di ruang keluarga, sementara Ana dan suaminya, Arif, terkadang masih sibuk dengan pekerjaan atau berada di kamar mereka.Wulan duduk di sudut kamar, menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip. Pesan dari stafnya di Solus Group sudah masuk, berisi rincian masalah yang perlu diselesaikan. Wulan tahu bahwa dia tidak bisa menunda keputusan ini terlalu lama, tetapi dia juga sadar bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkutat dengan urusan pekerjaan. Suara televisi dari ruang keluarga terdengar sayup-sayup melalui dinding, mengingatkan Wulan bahwa keluarganya hanya beberapa langkah jauhnya. Dia harus tetap waspada.Wulan menghela napas panjang, lalu menutup ponselnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. "Nanti saja," pikirnya. Dia tahu bahwa tekanan ini akan terus me
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Dimas terasa damai seperti biasa. Matahari mulai menembus jendela, menyinari ruang makan yang sudah tertata rapi dengan sarapan pagi. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang menenangkan.Wulan sudah bangun lebih awal dari yang lain, seperti biasanya. Dia menyiapkan sarapan dengan hati-hati, memastikan semuanya sempurna sebelum keluarga berkumpul. Meskipun dalam hati dia tahu bahwa perhatian ini mungkin tidak sepenuhnya dihargai, Wulan tetap menjalankan perannya sebagai istri dan menantu dengan sebaik-baiknya.Dimas turun dari lantai atas dengan senyuman di wajahnya. “Pagi, Sayang,” sapanya sambil mencium pipi Wulan.“Pagi, Mas,” jawab Wulan dengan senyum lembut, meskipun di dalam hatinya masih ada beban yang tak terlihat. Dia merasa senang melihat Dimas dalam suasana hati yang baik, meskipun dia tahu bahwa kebahagiaan ini bersifat sementara.Tidak lama kemud
Pagi di rumah keluarga Dimas dimulai dengan cara yang sama seperti biasanya. Wulan bangun lebih awal dari yang lain, menyiapkan sarapan, dan memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Namun, di balik rutinitas yang tenang ini, Wulan mulai merasakan tekanan yang semakin meningkat dari sikap keluarga Dimas.Setelah sarapan, Dimas bersiap untuk pergi bekerja. Sebelum meninggalkan rumah, dia mendekati Wulan yang sedang membereskan meja makan. “Sayang, hari ini kamu ada rencana apa?” tanya Dimas dengan nada lembut.Wulan tersenyum, meskipun hatinya terasa sedikit berat. “Tidak ada yang khusus, Mas. Aku hanya akan di rumah, mungkin sedikit membersihkan dan menyiapkan makan malam.”Dimas mengangguk dan mencium kening Wulan. “Kalau begitu, jaga diri baik-baik ya. Aku akan pulang lebih awal hari ini.”“Pasti, Mas. Hati-hati di jalan,” balas Wulan dengan senyum yang tetap dipaksakan. Setelah Dimas pergi, senyumnya
Hari-hari berikutnya tidak menjadi lebih mudah bagi Wulan. Setiap kali Dimas pergi bekerja, suasana rumah kembali berubah. Seolah-olah, kehangatan yang ia ciptakan setiap pagi dengan penuh cinta menguap begitu saja ketika pintu depan tertutup di belakang suaminya.Keluarga Dimas, terutama Bu Ratna, semakin sering menunjukkan sikap yang membuat Wulan merasa tidak nyaman. Meskipun mereka tidak pernah secara langsung menyudutkannya, ada tatapan, kata-kata halus, dan sikap dingin yang membuatnya merasa semakin terasing.Pagi itu, Wulan tengah merapikan bunga di vas ruang tamu ketika Bu Ratna masuk. Wulan melihat ibu mertuanya berjalan dengan langkah pelan, tetapi setiap langkahnya terasa membawa beban berat yang tidak terlihat."Wulan, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," kata Bu Ratna tanpa basa-basi.Wulan meletakkan bunga yang sedang ia tata dan menoleh, "Ada apa, Bu?"Bu Ratna menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. "Kamu sudah cuku
Matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk timur ketika Wulan terbangun dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Malam itu, meski sudah berusaha keras untuk memejamkan mata, pikirannya terus dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran. Ia melirik Dimas yang masih terlelap di sampingnya, merasa sedikit lega melihat suaminya tampak tenang dalam tidurnya. Wulan tahu bahwa Dimas adalah sumber kekuatannya, tetapi juga adalah kelemahan terbesarnya.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai aktivitasnya seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya, Wulan menyiapkan sarapan dengan penuh kasih sayang. Ia tahu bahwa momen seperti ini adalah saat-saat yang berharga baginya, saat ia bisa merasakan ketenangan sebelum badai datang kembali.Sambil memasak, pikirannya melayang pada percakapan dengan Ana sehari sebelumnya. Wulan masih bisa merasakan ketegangan yang terselip di balik kata-kata adik iparnya itu. Ana, meskipun terlihat ramah dan ceria, mulai
Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas yang sama. Wulan terbangun dengan perasaan sedikit lebih ringan setelah percakapan dengan Dimas tadi malam. Meski masalah di kantor suaminya belum selesai, Wulan merasa sedikit lega bahwa Dimas mau terbuka tentang apa yang mengganggunya. Namun, perasaan tenang itu tidak bertahan lama.Saat Wulan tengah menyiapkan sarapan, Bu Ratna tiba-tiba muncul di dapur. Wulan bisa merasakan kehadiran ibu mertuanya bahkan sebelum melihatnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Bu Ratna berjalan, seolah-olah ada beban yang ia bawa yang tak kasat mata."Selamat pagi, Bu," sapa Wulan sambil berusaha tersenyum.Bu Ratna hanya mengangguk singkat tanpa membalas senyum Wulan. Matanya yang tajam memerhatikan setiap gerakan menantunya. Wulan merasakan udara di dapur menjadi dingin seketika, meski cuaca di luar masih hangat. Ia tahu ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Bu Ratna, tetapi ibu mertuanya menahan diri.Ana masuk ke dapur beb
Pagi di rumah keluarga Dimas dimulai dengan suasana yang tampak normal di luar, tetapi di bawah permukaan, ada arus yang tak terlihat sedang bergerak perlahan namun pasti. Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk, namun ia tetap tersenyum saat melihat Dimas yang masih tertidur di sebelahnya. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang panjang dan menantang.Dimas terbangun beberapa saat kemudian dan langsung mencium kening Wulan sebelum beranjak dari tempat tidur. "Selamat pagi, sayang," ujarnya sambil tersenyum.Wulan membalas dengan senyuman yang lembut. "Selamat pagi, Mas. Bagaimana tidurmu?""Nyenyak sekali. Aku merasa lebih baik pagi ini," jawab Dimas sambil meregangkan tubuhnya. "Terima kasih sudah mendengarkan aku semalam.""Mas tidak perlu berterima kasih," Wulan berkata lembut. "Aku istrimu, dan aku akan selalu ada untukmu."Dimas tersenyum dan memeluk Wulan erat sebelum akhirnya menuju kamar mandi. Saat ia pergi, Wulan menarik napas