Pagi di rumah keluarga Dimas dimulai dengan suasana yang tampak normal di luar, tetapi di bawah permukaan, ada arus yang tak terlihat sedang bergerak perlahan namun pasti. Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk, namun ia tetap tersenyum saat melihat Dimas yang masih tertidur di sebelahnya. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang panjang dan menantang.
Dimas terbangun beberapa saat kemudian dan langsung mencium kening Wulan sebelum beranjak dari tempat tidur. "Selamat pagi, sayang," ujarnya sambil tersenyum.
Wulan membalas dengan senyuman yang lembut. "Selamat pagi, Mas. Bagaimana tidurmu?"
"Nyenyak sekali. Aku merasa lebih baik pagi ini," jawab Dimas sambil meregangkan tubuhnya. "Terima kasih sudah mendengarkan aku semalam."
"Mas tidak perlu berterima kasih," Wulan berkata lembut. "Aku istrimu, dan aku akan selalu ada untukmu."
Dimas tersenyum dan memeluk Wulan erat sebelum akhirnya menuju kamar mandi. Saat ia pergi, Wulan menarik napas
Wulan terbangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum matahari benar-benar terbit. Ia merasakan kegelisahan yang menumpuk di dalam dirinya sejak percakapan dengan Bu Ratna kemarin. Ada ketegangan yang tak bisa ia abaikan, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja.Ia bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Dimas yang masih terlelap. Setelah membenahi dirinya, Wulan berjalan keluar kamar dan menuju dapur untuk memulai rutinitasnya. Pagi ini, ia memutuskan untuk membuat sarapan spesial sebagai upaya untuk menjaga kedamaian di rumah, meski hanya sementara.Wulan tahu bahwa ia harus terus memainkan peran ini dengan sempurna, tidak boleh ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh Bu Ratna atau Ana. Setiap tindakan kecilnya diperhitungkan dengan cermat, seolah-olah ia sedang berjalan di atas lapisan es yang sangat tipis.Ketika aroma masakan mulai menyebar di seluruh rumah, satu per satu anggota keluarga mulai bangun. Dimas muncul pertama, wajah
Hari-hari berikutnya berjalan dengan suasana yang semakin tak menentu. Wulan merasakan tekanan yang semakin besar dari Bu Ratna dan Ana, namun ia tetap berusaha mempertahankan ketenangan di hadapan mereka. Di sisi lain, Dimas, yang masih belum menyadari ketegangan yang terjadi di belakang punggungnya, terus memperlakukan Wulan dengan penuh kasih sayang, seolah-olah tidak ada yang berubah.Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Meskipun ia sudah sangat ahli dalam menyembunyikan perasaannya, ada batasan sampai sejauh mana ia bisa berpura-pura. Tekanan dari Bu Ratna dan Ana semakin terasa, seperti api yang mulai membakar perlahan di bawah permukaan.Suatu pagi, saat Dimas sudah pergi bekerja, Wulan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman kecil di belakang rumah. Taman itu biasanya menjadi tempatnya mencari ketenangan, namun pagi itu, ketenangan terasa jauh dari jangkauannya. Pikiran-pikiran gelap terus berkecamuk di benaknya, dan Wulan merasa semakin t
Hari itu Wulan berusaha menjalani rutinitasnya seperti biasa, namun bayangan percakapan dengan Ana dan Bu Ratna terus menghantuinya. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada pekerjaan rumah, pikirannya kembali kepada perasaan cemas yang mulai menjalar di hatinya. Ketegangan yang dirasakannya semakin hari semakin membesar, dan Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus begini.Siang itu, ketika Dimas sudah pergi bekerja dan rumah mulai sepi, Wulan memutuskan untuk berbicara dengan dirinya sendiri di depan cermin kamar. Ia menatap bayangannya yang terlihat lelah dan tertekan. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan untuk mengubah situasi ini. Namun, setiap kali ia mencoba mencari jalan keluar, semua tampak begitu rumit.“Apa yang harus kulakukan?” bisiknya pada bayangannya sendiri.Ia kemudian teringat akan rencana yang selama ini ia susun dengan hati-hati. Rencana untuk memastikan bahwa ia tidak akan menjadi korban dalam keluarga ini. Wulan t
Keesokan harinya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan dorongan kuat untuk segera memulai rencananya. Setelah memastikan Dimas dan anggota keluarganya sudah pergi, Wulan duduk di meja makan dengan secangkir teh panas di tangannya. Pikirannya berputar, mencoba menyusun langkah pertama yang harus diambil.Wulan tahu bahwa mengungkap identitasnya sebagai pemilik Solus Group terlalu berisiko jika dilakukan terlalu cepat. Ia harus bermain dengan cerdik, sedikit demi sedikit, tanpa menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, terutama Dimas.Sambil menyesap teh, Wulan membuka ponselnya dan memeriksa pesan-pesan yang masuk. Salah satu pesan dari rekan bisnisnya menarik perhatiannya. Pesan itu berisi informasi tentang beberapa proyek besar yang sedang berjalan, dan Wulan tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tepat untuk mulai menjalankan rencananya.Wulan segera menghubungi asistennya, Sarah, yang selalu setia mendampinginya dalam urusan bisnis. "Sarah, a
Pagi itu, Wulan memulai harinya dengan rutinitas yang tampak biasa. Ia menyajikan sarapan untuk Dimas dan keluarganya dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Namun, di balik senyum itu, Wulan sudah menyusun langkah-langkah selanjutnya dalam pikirannya. Hari ini, ia akan mulai membangun jaringan yang lebih luas, sebuah langkah penting untuk mewujudkan rencananya.Setelah mengantar Dimas ke pintu depan, Wulan kembali ke dapur, memastikan bahwa semua telah beres sebelum ia mulai bekerja di ruang pribadinya. Tak lama setelah itu, ia menghubungi Sarah untuk mendapatkan informasi terbaru tentang situasi di Solus Group.“Sarah, bagaimana perkembangan proyek-proyek kita? Apakah ada hal yang perlu saya ketahui?” tanya Wulan sambil menyiapkan catatan di mejanya.“Semua berjalan lancar, Bu. Proyek-proyek besar sedang dalam proses, dan tim kita bekerja dengan baik. Namun, ada satu hal yang perlu perhatian Anda. Ada proposal baru yang masuk dar
Keesokan paginya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan semangat yang membuncah dalam dirinya, siap untuk melanjutkan rencana yang telah ia susun dengan cermat. Meskipun pagi itu tampak seperti hari-hari biasa lainnya di rumah keluarga Dimas, Wulan tahu bahwa ia sedang bergerak ke arah yang lebih besar.Setelah menyelesaikan sarapan pagi dan memastikan bahwa Dimas berangkat ke kantor dengan baik, Wulan kembali ke ruang kerjanya. Hari ini, ia berencana untuk memulai langkah konkret pertama dalam memperluas jaringan Solus Group, sekaligus memantau proyek-proyek yang sedang berjalan. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang membangun kekuatan yang akan ia gunakan kelak.Wulan membuka laptopnya dan segera terhubung dengan Sarah, yang telah menyiapkan laporan lengkap mengenai perkembangan terbaru. “Bagaimana dengan proyek di Singapura? Apakah tim sudah menghadapi hambatan?” tanya Wulan sambil membuka dokumen di layarnya.
Wulan menyusuri koridor rumahnya yang panjang, suara langkah kakinya terdengar lembut di atas lantai marmer yang dingin. Hatinya dipenuhi oleh berbagai perasaan, campuran antara kesabaran yang mulai menipis dan semangat yang terus membara. Meskipun penampilannya di hadapan Dimas dan keluarganya tetap tenang dan penuh senyum, di dalam dirinya, Wulan merasakan bahwa batas kesabarannya semakin dekat.Saat ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan teh, suara percakapan terdengar dari ruang tamu. Wulan berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama. Ia mengenali suara mertuanya, Bu Ratih, yang sedang berbicara dengan Nada, adik Dimas. Mereka tampak terlibat dalam diskusi yang serius, meskipun nadanya dibuat-buat ceria.Wulan mendekat dengan hati-hati, memastikan ia tidak terlihat oleh mereka. Suara Bu Ratih terdengar lebih jelas ketika ia berkata, “Aku tidak tahu sampai kapan Dimas akan terus dibutakan oleh sikap manis Wulan. Aku tahu dia mencoba yang terbaik, tapi jelas-
Pagi yang cerah menyelimuti kota, dan sinar matahari menyusup ke dalam kamar Wulan dan Dimas melalui celah-celah tirai. Wulan terbangun lebih awal seperti biasanya. Dengan lembut, ia menyibak selimut dan bangkit dari ranjang tanpa membangunkan Dimas yang masih terlelap. Kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari rutinitasnya; bangun pagi untuk memastikan segala sesuatu di rumah berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja.Wulan mengenakan pakaian yang sederhana namun elegan, sesuai dengan perannya sebagai ibu rumah tangga yang selalu siap melayani keluarga. Hari ini, ia memutuskan untuk membuatkan sarapan spesial bagi Dimas dan keluarganya. Ia berharap, setidaknya untuk pagi ini, semua akan berjalan tanpa ada ketegangan yang biasanya ia rasakan di dalam rumah.Setelah memasuki dapur, Wulan mulai memasak dengan cekatan. Aroma nasi goreng dan telur yang sedang digoreng menyebar di seluruh rumah. Saat ia sibuk mempersiapkan makanan, terdengar suara langkah kaki yang mendek
Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere
Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad
Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be
Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu
Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd
Hari pertemuan dengan keluarga Dimas tiba. Wulan merasakan campur aduk antara cemas dan bersemangat. Ia mengenakan gaun sederhana namun elegan, berharap penampilannya dapat menunjukkan keseriusannya. Dimas berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan dukungan dan kekhawatiran yang sama.Mereka tiba di rumah keluarga Dimas yang megah, dikelilingi oleh taman yang indah. Suasana terasa menegangkan. Wulan menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dimas memegang tangannya erat, memberi dorongan.“Ini adalah kesempatan kita untuk menjelaskan semuanya,” kata Dimas, mengangkat dagu Wulan sedikit agar mereka bisa saling menatap. “Kau tidak sendirian.”Ketika mereka memasuki ruang tamu, Wulan merasakan tatapan tajam dari anggota keluarga Dimas. Ibu mertuanya, Bu Sari, duduk dengan sikap angkuh, sementara kakak Dimas, Rina, memperhatikan dengan skeptis. Wulan berusaha untuk tidak merasa terintimidasi. Ia tahu bahwa ini adalah waktunya un
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa penuh tantangan bagi Wulan. Ia kembali ke rutinitas harian sebagai ibu rumah tangga, tetapi pikirannya selalu terbayang pada pertemuan yang baru saja dilalui. Meskipun Dimas terus menunjukkan dukungannya, Wulan merasa beban yang berat di pundaknya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan dan membuktikan nilainya.Dalam hati, Wulan mulai menyusun rencana. Ia ingin membuktikan kepada keluarga Dimas bahwa ia bukan sekadar istri yang diabaikan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan dan semangat untuk berkontribusi, baik untuk keluarga maupun komunitas. Namun, ia juga tahu bahwa untuk mencapai tujuan itu, ia harus memanfaatkan keahlian yang selama ini ia sembunyikan — sebagai pemilik Solus Group.Suatu malam, saat Dimas tertidur, Wulan duduk di meja kerjanya dengan laptop di depan. Cahaya lembut dari layar menerangi ruangan, memberikan suasana yang menenangkan. Ia membuka dokumen-dokumen peru
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan suasana di rumah Wulan semakin hangat. Keterlibatan Dimas dalam proyek sosialnya tidak hanya meningkatkan hubungan mereka, tetapi juga memberikan dampak positif bagi komunitas. Wulan merasa bahagia melihat suaminya kembali ke sosok yang ia kenal — penuh semangat dan antusiasme.Satu sore, setelah menghabiskan waktu di kantor, Dimas kembali dengan berita yang menggetarkan hati. “Aku sudah menghubungi beberapa artis untuk acara amal kita,” ujarnya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Benarkah? Siapa saja yang akan tampil?” tanya Wulan, matanya berbinar-binar.Dimas menyebutkan beberapa nama, termasuk penyanyi dan kelompok musik lokal yang terkenal. Wulan merasa bersemangat. “Ini luar biasa! Kita bisa mengundang lebih banyak orang dan meningkatkan kesadaran tentang proyek kita.”Mereka mulai merencanakan semua detail acara, dari pemilihan tempat hingga strategi promosi. Setiap detil