Keesokan paginya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan semangat yang membuncah dalam dirinya, siap untuk melanjutkan rencana yang telah ia susun dengan cermat. Meskipun pagi itu tampak seperti hari-hari biasa lainnya di rumah keluarga Dimas, Wulan tahu bahwa ia sedang bergerak ke arah yang lebih besar.
Setelah menyelesaikan sarapan pagi dan memastikan bahwa Dimas berangkat ke kantor dengan baik, Wulan kembali ke ruang kerjanya. Hari ini, ia berencana untuk memulai langkah konkret pertama dalam memperluas jaringan Solus Group, sekaligus memantau proyek-proyek yang sedang berjalan. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang membangun kekuatan yang akan ia gunakan kelak.
Wulan membuka laptopnya dan segera terhubung dengan Sarah, yang telah menyiapkan laporan lengkap mengenai perkembangan terbaru. “Bagaimana dengan proyek di Singapura? Apakah tim sudah menghadapi hambatan?” tanya Wulan sambil membuka dokumen di layarnya.
Wulan menyusuri koridor rumahnya yang panjang, suara langkah kakinya terdengar lembut di atas lantai marmer yang dingin. Hatinya dipenuhi oleh berbagai perasaan, campuran antara kesabaran yang mulai menipis dan semangat yang terus membara. Meskipun penampilannya di hadapan Dimas dan keluarganya tetap tenang dan penuh senyum, di dalam dirinya, Wulan merasakan bahwa batas kesabarannya semakin dekat.Saat ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan teh, suara percakapan terdengar dari ruang tamu. Wulan berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama. Ia mengenali suara mertuanya, Bu Ratih, yang sedang berbicara dengan Nada, adik Dimas. Mereka tampak terlibat dalam diskusi yang serius, meskipun nadanya dibuat-buat ceria.Wulan mendekat dengan hati-hati, memastikan ia tidak terlihat oleh mereka. Suara Bu Ratih terdengar lebih jelas ketika ia berkata, “Aku tidak tahu sampai kapan Dimas akan terus dibutakan oleh sikap manis Wulan. Aku tahu dia mencoba yang terbaik, tapi jelas-
Pagi yang cerah menyelimuti kota, dan sinar matahari menyusup ke dalam kamar Wulan dan Dimas melalui celah-celah tirai. Wulan terbangun lebih awal seperti biasanya. Dengan lembut, ia menyibak selimut dan bangkit dari ranjang tanpa membangunkan Dimas yang masih terlelap. Kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari rutinitasnya; bangun pagi untuk memastikan segala sesuatu di rumah berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja.Wulan mengenakan pakaian yang sederhana namun elegan, sesuai dengan perannya sebagai ibu rumah tangga yang selalu siap melayani keluarga. Hari ini, ia memutuskan untuk membuatkan sarapan spesial bagi Dimas dan keluarganya. Ia berharap, setidaknya untuk pagi ini, semua akan berjalan tanpa ada ketegangan yang biasanya ia rasakan di dalam rumah.Setelah memasuki dapur, Wulan mulai memasak dengan cekatan. Aroma nasi goreng dan telur yang sedang digoreng menyebar di seluruh rumah. Saat ia sibuk mempersiapkan makanan, terdengar suara langkah kaki yang mendek
Siang itu, setelah percakapan yang menguras energi antara Wulan dengan Nada dan Bu Ratih, Wulan merasa butuh udara segar. Dengan hati-hati, ia berjalan keluar rumah dan menuju taman kecil yang terletak di belakang. Taman itu adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa sedikit bebas dari tatapan mata yang selalu mengawasinya di dalam rumah.Wulan duduk di bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil dengan ikan-ikan koi yang berenang tenang di dalamnya. Ia menyukai tempat ini karena seolah-olah ketenangan taman ini mampu meredam segala kegelisahan yang ia rasakan. Namun, di balik ketenangan itu, hatinya masih terus bergolak.Dalam kesunyian itu, ingatan-ingatan tentang kehidupannya yang lalu, sebelum menikah dengan Dimas, perlahan muncul. Dulu, ia adalah seorang wanita karir yang sukses, dihormati, dan memiliki kuasa yang tidak bisa diremehkan. Solus Group, perusahaan yang ia bangun dengan kerja keras, adalah bagian dari dirinya yang paling dibanggakan. Namun, semua itu k
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun ia sudah berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Wulan selalu menikmati waktu-waktu pagi seperti ini, ketika rumah masih sepi dan ia bisa sejenak melupakan tekanan yang terus menghimpitnya.Wulan dengan cekatan memasak nasi goreng kesukaan Dimas. Aroma harum bawang putih yang digoreng memenuhi dapur, menghangatkan suasana. Sesekali, ia menoleh ke arah jendela dapur yang menghadap ke taman belakang, tempat ia kemarin duduk merenung. Meskipun hatinya masih diselimuti kekhawatiran, pagi ini ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan keluarga suaminya.Dimas adalah orang pertama yang turun ke dapur. Wajahnya tampak segar setelah mandi, senyum hangat menghiasi bibirnya ketika melihat Wulan sedang sibuk memasak.“Pagi, Sayang,” sapa Dimas sambil mendekati Wulan, memberikan kecupan lembut di pipinya. “Masakannya pasti enak nih, sudah terc
Pagi yang baru dimulai di kediaman keluarga Dimas seharusnya menjadi awal yang segar dan penuh harapan, tetapi bagi Wulan, setiap hari terasa seperti ujian baru. Sejak mulai menuliskan rencana-rencana kecilnya, Wulan merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Namun, dengan kekuatan itu datang pula tantangan yang semakin berat.Hari ini, setelah memastikan Dimas berangkat ke kantor dengan senyum yang masih Wulan bisa berikan dengan tulus, ia tahu bahwa ini akan menjadi hari yang panjang. Nada dan Bu Ratih tampak lebih dingin dari biasanya. Ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak diucapkan namun bisa dirasakan oleh Wulan.Wulan berusaha menjalani hari seperti biasa. Ia membersihkan rumah, menyiapkan makan siang, dan memastikan semua hal yang menjadi tugasnya sebagai menantu dilakukan dengan sempurna. Namun, saat ia selesai membersihkan ruang tamu, Nada tiba-tiba menghampirinya dengan tatapan yang menusuk."Wulan," Nada memulai, suaranya datar tapi penuh
Pagi yang cerah seharusnya membawa harapan baru, namun bagi Wulan, setiap hari adalah perpanjangan dari ujian kesabaran yang seolah tak ada habisnya. Setelah semalam berpikir panjang, Wulan bangun dengan tekad yang semakin kuat. Ia tidak akan membiarkan perlakuan dingin dari keluarga Dimas merusak semangatnya. Wulan sadar bahwa untuk mencapai tujuannya, ia harus tetap tenang dan bermain sesuai aturan yang mereka tetapkan—untuk saat ini.Setelah Dimas berangkat ke kantor pagi itu, Wulan langsung membersihkan rumah dengan teliti. Ia memastikan tidak ada satu pun sudut yang terlewat. Ini adalah caranya untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka meragukan kemampuannya, ia bisa melakukan tugas-tugasnya dengan sempurna. Saat ia sedang merapikan ruang keluarga, Nada muncul dari kamar dengan pakaian rapi, siap berangkat ke kampus.Nada melihat Wulan yang sedang sibuk membersihkan meja. "Kamu sudah sarapan?" tanya Nada, suaranya terdengar acuh tak acuh.Wulan menoleh
Malam itu, Wulan merasakan kelelahan yang amat sangat. Bukan hanya karena fisik, tetapi juga mentalnya yang semakin terkikis. Saat ia duduk di ruang keluarga bersama Dimas, ia mencoba tersenyum meski hatinya begitu berat. Dimas, yang tidak menyadari apapun, memandang Wulan dengan penuh kasih sayang."Kamu capek, ya? Hari ini pasti melelahkan," ujar Dimas sambil meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat.Wulan mengangguk pelan. "Sedikit, tapi tidak apa-apa. Tadi arisannya berjalan lancar."Dimas tersenyum. "Baguslah. Aku senang kamu bisa ikut berbaur dengan keluarga dan teman-teman Mama. Itu penting."Wulan menelan ludah, menahan keinginan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi ia tahu, ini bukan waktunya. Ia tidak ingin merusak malam yang seharusnya tenang dengan pertengkaran atau ketidaknyamanan. Lagi pula, Dimas tidak bersalah dalam semua ini. Ia hanya ingin yang terbaik untuk istrinya, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakang punggun
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Suara burung berkicau di luar jendela, namun bagi Wulan, kicauan itu terasa hambar. Hari baru telah tiba, tapi tantangan yang harus dihadapinya tetap sama. Wulan melangkah ke dapur dengan langkah ringan, berharap bisa menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga untuk melupakan beban yang terus menghimpit.Di dapur, ia menemukan Bu Ratih sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi. “Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan suara ramah, mencoba mencairkan suasana.Bu Ratih hanya mengangguk tanpa menoleh. Wulan bisa merasakan atmosfer dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Ia tahu bahwa ibu mertuanya tidak pernah benar-benar menyukainya, tapi pagi ini rasanya lebih terasa daripada biasanya.“Pagi, Wulan,” jawab Bu Ratih akhirnya. Suaranya terdengar datar, seakan-akan ada sesuatu yang ditahannya.Wulan menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia ingin bertanya, ingin t