Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun ia sudah berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Wulan selalu menikmati waktu-waktu pagi seperti ini, ketika rumah masih sepi dan ia bisa sejenak melupakan tekanan yang terus menghimpitnya.
Wulan dengan cekatan memasak nasi goreng kesukaan Dimas. Aroma harum bawang putih yang digoreng memenuhi dapur, menghangatkan suasana. Sesekali, ia menoleh ke arah jendela dapur yang menghadap ke taman belakang, tempat ia kemarin duduk merenung. Meskipun hatinya masih diselimuti kekhawatiran, pagi ini ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan keluarga suaminya.
Dimas adalah orang pertama yang turun ke dapur. Wajahnya tampak segar setelah mandi, senyum hangat menghiasi bibirnya ketika melihat Wulan sedang sibuk memasak.
“Pagi, Sayang,” sapa Dimas sambil mendekati Wulan, memberikan kecupan lembut di pipinya. “Masakannya pasti enak nih, sudah terc
Pagi yang baru dimulai di kediaman keluarga Dimas seharusnya menjadi awal yang segar dan penuh harapan, tetapi bagi Wulan, setiap hari terasa seperti ujian baru. Sejak mulai menuliskan rencana-rencana kecilnya, Wulan merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Namun, dengan kekuatan itu datang pula tantangan yang semakin berat.Hari ini, setelah memastikan Dimas berangkat ke kantor dengan senyum yang masih Wulan bisa berikan dengan tulus, ia tahu bahwa ini akan menjadi hari yang panjang. Nada dan Bu Ratih tampak lebih dingin dari biasanya. Ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak diucapkan namun bisa dirasakan oleh Wulan.Wulan berusaha menjalani hari seperti biasa. Ia membersihkan rumah, menyiapkan makan siang, dan memastikan semua hal yang menjadi tugasnya sebagai menantu dilakukan dengan sempurna. Namun, saat ia selesai membersihkan ruang tamu, Nada tiba-tiba menghampirinya dengan tatapan yang menusuk."Wulan," Nada memulai, suaranya datar tapi penuh
Pagi yang cerah seharusnya membawa harapan baru, namun bagi Wulan, setiap hari adalah perpanjangan dari ujian kesabaran yang seolah tak ada habisnya. Setelah semalam berpikir panjang, Wulan bangun dengan tekad yang semakin kuat. Ia tidak akan membiarkan perlakuan dingin dari keluarga Dimas merusak semangatnya. Wulan sadar bahwa untuk mencapai tujuannya, ia harus tetap tenang dan bermain sesuai aturan yang mereka tetapkan—untuk saat ini.Setelah Dimas berangkat ke kantor pagi itu, Wulan langsung membersihkan rumah dengan teliti. Ia memastikan tidak ada satu pun sudut yang terlewat. Ini adalah caranya untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka meragukan kemampuannya, ia bisa melakukan tugas-tugasnya dengan sempurna. Saat ia sedang merapikan ruang keluarga, Nada muncul dari kamar dengan pakaian rapi, siap berangkat ke kampus.Nada melihat Wulan yang sedang sibuk membersihkan meja. "Kamu sudah sarapan?" tanya Nada, suaranya terdengar acuh tak acuh.Wulan menoleh
Malam itu, Wulan merasakan kelelahan yang amat sangat. Bukan hanya karena fisik, tetapi juga mentalnya yang semakin terkikis. Saat ia duduk di ruang keluarga bersama Dimas, ia mencoba tersenyum meski hatinya begitu berat. Dimas, yang tidak menyadari apapun, memandang Wulan dengan penuh kasih sayang."Kamu capek, ya? Hari ini pasti melelahkan," ujar Dimas sambil meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat.Wulan mengangguk pelan. "Sedikit, tapi tidak apa-apa. Tadi arisannya berjalan lancar."Dimas tersenyum. "Baguslah. Aku senang kamu bisa ikut berbaur dengan keluarga dan teman-teman Mama. Itu penting."Wulan menelan ludah, menahan keinginan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi ia tahu, ini bukan waktunya. Ia tidak ingin merusak malam yang seharusnya tenang dengan pertengkaran atau ketidaknyamanan. Lagi pula, Dimas tidak bersalah dalam semua ini. Ia hanya ingin yang terbaik untuk istrinya, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakang punggun
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Suara burung berkicau di luar jendela, namun bagi Wulan, kicauan itu terasa hambar. Hari baru telah tiba, tapi tantangan yang harus dihadapinya tetap sama. Wulan melangkah ke dapur dengan langkah ringan, berharap bisa menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga untuk melupakan beban yang terus menghimpit.Di dapur, ia menemukan Bu Ratih sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi. “Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan suara ramah, mencoba mencairkan suasana.Bu Ratih hanya mengangguk tanpa menoleh. Wulan bisa merasakan atmosfer dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Ia tahu bahwa ibu mertuanya tidak pernah benar-benar menyukainya, tapi pagi ini rasanya lebih terasa daripada biasanya.“Pagi, Wulan,” jawab Bu Ratih akhirnya. Suaranya terdengar datar, seakan-akan ada sesuatu yang ditahannya.Wulan menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia ingin bertanya, ingin t
Malam itu, Wulan duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Dimas baru saja pulang kerja dan sedang mandi di kamar. Seperti biasa, Wulan menyiapkan makan malam sederhana untuk mereka berdua. Suasana rumah tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, Wulan merasakan ada sesuatu yang aneh. Nada masih di luar, dan Bu Ratih ada di kamarnya sendiri.Setelah beberapa saat, Dimas turun dari kamar mandi dengan wajah segar. Ia duduk di samping Wulan, meraih remote televisi, dan mulai mencari saluran yang menarik. Wulan menoleh padanya dan tersenyum. “Gimana kerjaan di kantor, Mas?”Dimas menghela napas panjang. “Cukup melelahkan, tapi semua berjalan lancar. Tadi aku ketemu dengan Pak Arif, dia banyak kasih masukan tentang proyek baru kita.”Wulan mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha untuk tetap fokus pada suaminya, meskipun pikirannya terus berkecamuk tentang hubungan mereka dan bagaimana caranya untuk tetap tegar menghadapi
Pagi itu, matahari terbit dengan lembut, sinarnya menembus tirai tipis yang menutupi jendela kamar. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Dimas masih tertidur lelap di sampingnya, wajahnya terlihat damai dan tenang. Melihat suaminya seperti itu, Wulan merasakan campuran perasaan. Di satu sisi, ia merasa bersyukur memiliki suami yang selalu mencintainya. Di sisi lain, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya.Sejenak, Wulan duduk di tepi tempat tidur, menatap Dimas yang masih terlelap. Wajahnya yang damai membuat Wulan merasa semakin berat untuk menyimpan rahasia besar ini. Rahasia bahwa dirinya bukanlah istri biasa yang hanya mengurus rumah tangga, melainkan seorang wanita yang memiliki kekuasaan besar di balik layar, yang selama ini telah menyembunyikan identitas aslinya sebagai pemilik Solus Group.Setelah beberapa saat, Wulan beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai, membiarkan sinar matahari masuk dan menghangatkan kamar. Pandang
Keesokan paginya, Dimas bangun dengan perasaan yang aneh. Meski ia telah tidur dengan nyenyak, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seperti bayangan samar yang tak bisa ia tangkap. Ketika ia menoleh ke samping, Wulan sudah tidak ada di tempat tidur. Hanya sisa-sisa kehangatan di tempat tidur yang menandakan bahwa Wulan baru saja bangun.Dimas bangkit dan berjalan menuju dapur, di mana ia menemukan Wulan sedang menyiapkan sarapan. Pemandangan itu seharusnya menenangkan hatinya, tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu dalam ekspresi Wulan yang membuat Dimas merasa gelisah. Wulan tampak tenang, tetapi di balik senyum lembutnya, Dimas bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa."Selamat pagi, Sayang," Dimas menyapa, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Wulan menoleh dan tersenyum, seperti biasa. "Pagi, Mas. Mau kopi?"Dimas mengangguk, duduk di meja makan, dan memperhatikan gerakan Wulan yang lincah. Ia berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang terus menggan
Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus tirai jendela, menciptakan pola cahaya yang indah di lantai kamar. Dimas terbangun dengan perasaan campur aduk. Tidur semalam tidak memberinya jawaban, justru menambah kegelisahan di dalam hatinya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan pesan yang telah dikirimkan kepada temannya, tetapi pikiran itu terus menghantuinya, seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari.Setelah beberapa saat merenung, Dimas memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan melakukan rutinitas pagi. Ia merapikan tempat tidur dan berjalan menuju dapur, di mana aroma sarapan mulai menyebar. Wulan sudah berada di sana, mempersiapkan omelet dan menggoreng beberapa potong roti. Saat Dimas memasuki ruangan, senyum Wulan menyambutnya, seolah-olah mencoba untuk menciptakan suasana ceria di tengah ketegangan yang menyelimuti mereka.“Selamat pagi, Mas. Mau sarapan apa?” tanya Wulan dengan nada ceria, berusaha menunjukkan ketenangan.Dimas