Pagi itu, matahari terbit dengan lembut, sinarnya menembus tirai tipis yang menutupi jendela kamar. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Dimas masih tertidur lelap di sampingnya, wajahnya terlihat damai dan tenang. Melihat suaminya seperti itu, Wulan merasakan campuran perasaan. Di satu sisi, ia merasa bersyukur memiliki suami yang selalu mencintainya. Di sisi lain, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya.
Sejenak, Wulan duduk di tepi tempat tidur, menatap Dimas yang masih terlelap. Wajahnya yang damai membuat Wulan merasa semakin berat untuk menyimpan rahasia besar ini. Rahasia bahwa dirinya bukanlah istri biasa yang hanya mengurus rumah tangga, melainkan seorang wanita yang memiliki kekuasaan besar di balik layar, yang selama ini telah menyembunyikan identitas aslinya sebagai pemilik Solus Group.
Setelah beberapa saat, Wulan beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai, membiarkan sinar matahari masuk dan menghangatkan kamar. Pandang
Keesokan paginya, Dimas bangun dengan perasaan yang aneh. Meski ia telah tidur dengan nyenyak, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seperti bayangan samar yang tak bisa ia tangkap. Ketika ia menoleh ke samping, Wulan sudah tidak ada di tempat tidur. Hanya sisa-sisa kehangatan di tempat tidur yang menandakan bahwa Wulan baru saja bangun.Dimas bangkit dan berjalan menuju dapur, di mana ia menemukan Wulan sedang menyiapkan sarapan. Pemandangan itu seharusnya menenangkan hatinya, tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu dalam ekspresi Wulan yang membuat Dimas merasa gelisah. Wulan tampak tenang, tetapi di balik senyum lembutnya, Dimas bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa."Selamat pagi, Sayang," Dimas menyapa, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Wulan menoleh dan tersenyum, seperti biasa. "Pagi, Mas. Mau kopi?"Dimas mengangguk, duduk di meja makan, dan memperhatikan gerakan Wulan yang lincah. Ia berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang terus menggan
Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus tirai jendela, menciptakan pola cahaya yang indah di lantai kamar. Dimas terbangun dengan perasaan campur aduk. Tidur semalam tidak memberinya jawaban, justru menambah kegelisahan di dalam hatinya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan pesan yang telah dikirimkan kepada temannya, tetapi pikiran itu terus menghantuinya, seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari.Setelah beberapa saat merenung, Dimas memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan melakukan rutinitas pagi. Ia merapikan tempat tidur dan berjalan menuju dapur, di mana aroma sarapan mulai menyebar. Wulan sudah berada di sana, mempersiapkan omelet dan menggoreng beberapa potong roti. Saat Dimas memasuki ruangan, senyum Wulan menyambutnya, seolah-olah mencoba untuk menciptakan suasana ceria di tengah ketegangan yang menyelimuti mereka.“Selamat pagi, Mas. Mau sarapan apa?” tanya Wulan dengan nada ceria, berusaha menunjukkan ketenangan.Dimas
Malam itu terasa panjang bagi Wulan. Setelah makan malam bersama, Wulan dan Dimas berbicara dengan nada ringan tentang rencana ke depan, tetapi percakapan mereka hanya di permukaan. Jauh di dalam hatinya, Wulan merasakan jarak yang mulai tumbuh di antara mereka. Setelah mencuci piring, Wulan naik ke kamar, mencoba menenangkan pikirannya dengan membaca buku. Namun, huruf-huruf di halaman hanya berlari di matanya tanpa benar-benar masuk ke dalam pikirannya.Di sisi lain, Dimas masih duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah televisi yang menyala. Ia memikirkan pertemuannya dengan temannya tadi. Rasa bersalah merayap di hatinya. Apakah ia terlalu jauh melangkah dengan meminta bantuan untuk memantau Wulan? Namun, ada suara lain di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran.Setelah beberapa saat merenung, Dimas memutuskan untuk tidur. Ketika ia masuk ke kamar, Wulan sudah berada di tempat tidur, berpura-pura tertidur. Dima
Pagi itu, Dimas terbangun lebih awal dari biasanya. Cahaya matahari yang lembut mulai masuk melalui jendela kamar mereka, menghangatkan ruangan. Ia menatap wajah Wulan yang masih tertidur lelap di sampingnya. Ada perasaan tenang yang aneh ketika ia melihat istrinya, seolah-olah semua keraguan dan kecurigaan yang menghantuinya semalam menguap begitu saja. Namun, kenyataan segera menyergapnya, mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.Wulan menggeliat sedikit, lalu perlahan membuka matanya. Ia melihat Dimas sudah terjaga dan menatapnya. “Mas, kamu sudah bangun?” tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.Dimas tersenyum kecil, mengangguk. “Iya, Sayang. Aku terbangun lebih awal hari ini.”Wulan merespons dengan senyum lembut, lalu duduk di tempat tidur. “Aku akan membuatkan sarapan. Kamu mau kopi atau teh?”“Kopi saja, seperti biasa,” jawab Dimas, masih berusaha mempertahankan nada bi
Malam itu, setelah Dimas selesai berbicara di telepon, ia kembali ke ruang tamu dengan pikiran yang masih berkecamuk. Ia mendapati Wulan masih duduk di tempat yang sama, tampak termenung dan sedikit cemas. Ada perasaan bersalah yang mulai merayap di hatinya. Ia tahu bahwa Wulan sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia juga merasa bahwa mungkin ada alasan kuat di balik semua ini. Dimas berusaha untuk menenangkan diri, tetapi pikirannya terus berputar, mencari tahu bagaimana ia harus menghadapi situasi ini."Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemas," kata Dimas dengan lembut saat ia duduk di sebelah Wulan. Tangannya meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat, seolah-olah mencari pegangan dalam kegelapan.Wulan memaksakan senyumnya, meskipun hatinya terasa berat. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti. Tapi, apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir, mencoba mencari tahu seberapa jauh Dimas sudah mengetahui kebenaran yang ia sembunyikan.Dimas
Pagi datang dengan sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar tidur mereka. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, pikirannya dipenuhi dengan tekad dan kecemasan. Hari ini adalah hari yang telah ia putuskan untuk mengungkapkan kebenaran kepada Dimas. Namun, ketika ia memandang wajah suaminya yang masih tertidur lelap, keberanian yang tadi malam ia kumpulkan tiba-tiba memudar.Wulan turun dari tempat tidur dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan Dimas. Ia berjalan menuju dapur dan mulai mempersiapkan sarapan. Tangan-tangannya bergerak otomatis, memasak nasi goreng kesukaan Dimas, sementara pikirannya terus-menerus berputar. Ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana reaksi Dimas nanti, bagaimana ia harus memulai pembicaraan ini, dan apa yang akan terjadi pada mereka setelah itu.Saat Dimas bangun, ia mencium aroma nasi goreng dari dapur dan tersenyum kecil. Wulan selalu tahu bagaimana membuat paginya lebih baik, dan itu adalah salah satu hal yang paling ia
Keesokan paginya, Wulan bangun dengan perasaan tak menentu. Malam sebelumnya, setelah Dimas berbicara dengan nada yang penuh kekhawatiran, ia merasakan ada sesuatu yang mendekat, sesuatu yang lebih besar dari apa yang ia bayangkan. Rasa takut itu terus menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.Namun, Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus berada dalam ketakutan. Hari ini, ia harus mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dimas mungkin tidak ingin memberitahunya dengan alasan tertentu, tetapi Wulan merasa bahwa ia harus tahu, apalagi jika hal itu akan memengaruhi kehidupan mereka.Setelah Dimas pergi bekerja, Wulan memutuskan untuk menelepon Sarah, salah satu temannya yang bekerja di sebuah perusahaan yang sering berurusan dengan Solus Group. Wulan dan Sarah sudah berteman sejak lama, dan meskipun Sarah tidak tahu tentang keterlibatan Wulan dengan Solus Group, ia selalu menjadi sumber informasi yang bisa diandalkan.
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan yang lebih tenang meski malamnya ia nyaris tidak bisa tidur. Langit masih gelap saat ia bangkit dari tempat tidurnya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi hari yang penuh ketidakpastian. Namun, dalam hati ia tahu bahwa hari ini akan berbeda—ia akan mulai menggali lebih dalam, mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekelilingnya.Setelah Dimas pergi bekerja, Wulan kembali duduk di ruang tamu, memikirkan langkah berikutnya. Ia sudah mencoba mencari tahu melalui Sarah, dan kunjungannya ke kantor Solus Group tidak membuahkan hasil. Kini, ia tahu bahwa pendekatan yang lebih langsung mungkin diperlukan.Wulan memutuskan untuk membuka laptopnya dan mulai menelusuri jejak digital yang mungkin dapat memberinya petunjuk. Sebagai seorang pemilik rahasia dari perusahaan sebesar Solus Group, ia seharusnya memiliki akses ke berbagai informasi yang tidak dimiliki oleh orang lain. Namun, Wulan selalu berhati-hati untuk ti
Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere
Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad
Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be
Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu
Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd
Hari pertemuan dengan keluarga Dimas tiba. Wulan merasakan campur aduk antara cemas dan bersemangat. Ia mengenakan gaun sederhana namun elegan, berharap penampilannya dapat menunjukkan keseriusannya. Dimas berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan dukungan dan kekhawatiran yang sama.Mereka tiba di rumah keluarga Dimas yang megah, dikelilingi oleh taman yang indah. Suasana terasa menegangkan. Wulan menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dimas memegang tangannya erat, memberi dorongan.“Ini adalah kesempatan kita untuk menjelaskan semuanya,” kata Dimas, mengangkat dagu Wulan sedikit agar mereka bisa saling menatap. “Kau tidak sendirian.”Ketika mereka memasuki ruang tamu, Wulan merasakan tatapan tajam dari anggota keluarga Dimas. Ibu mertuanya, Bu Sari, duduk dengan sikap angkuh, sementara kakak Dimas, Rina, memperhatikan dengan skeptis. Wulan berusaha untuk tidak merasa terintimidasi. Ia tahu bahwa ini adalah waktunya un
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa penuh tantangan bagi Wulan. Ia kembali ke rutinitas harian sebagai ibu rumah tangga, tetapi pikirannya selalu terbayang pada pertemuan yang baru saja dilalui. Meskipun Dimas terus menunjukkan dukungannya, Wulan merasa beban yang berat di pundaknya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan dan membuktikan nilainya.Dalam hati, Wulan mulai menyusun rencana. Ia ingin membuktikan kepada keluarga Dimas bahwa ia bukan sekadar istri yang diabaikan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan dan semangat untuk berkontribusi, baik untuk keluarga maupun komunitas. Namun, ia juga tahu bahwa untuk mencapai tujuan itu, ia harus memanfaatkan keahlian yang selama ini ia sembunyikan — sebagai pemilik Solus Group.Suatu malam, saat Dimas tertidur, Wulan duduk di meja kerjanya dengan laptop di depan. Cahaya lembut dari layar menerangi ruangan, memberikan suasana yang menenangkan. Ia membuka dokumen-dokumen peru
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan suasana di rumah Wulan semakin hangat. Keterlibatan Dimas dalam proyek sosialnya tidak hanya meningkatkan hubungan mereka, tetapi juga memberikan dampak positif bagi komunitas. Wulan merasa bahagia melihat suaminya kembali ke sosok yang ia kenal — penuh semangat dan antusiasme.Satu sore, setelah menghabiskan waktu di kantor, Dimas kembali dengan berita yang menggetarkan hati. “Aku sudah menghubungi beberapa artis untuk acara amal kita,” ujarnya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Benarkah? Siapa saja yang akan tampil?” tanya Wulan, matanya berbinar-binar.Dimas menyebutkan beberapa nama, termasuk penyanyi dan kelompok musik lokal yang terkenal. Wulan merasa bersemangat. “Ini luar biasa! Kita bisa mengundang lebih banyak orang dan meningkatkan kesadaran tentang proyek kita.”Mereka mulai merencanakan semua detail acara, dari pemilihan tempat hingga strategi promosi. Setiap detil