Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan yang lebih tenang meski malamnya ia nyaris tidak bisa tidur. Langit masih gelap saat ia bangkit dari tempat tidurnya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi hari yang penuh ketidakpastian. Namun, dalam hati ia tahu bahwa hari ini akan berbeda—ia akan mulai menggali lebih dalam, mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekelilingnya.
Setelah Dimas pergi bekerja, Wulan kembali duduk di ruang tamu, memikirkan langkah berikutnya. Ia sudah mencoba mencari tahu melalui Sarah, dan kunjungannya ke kantor Solus Group tidak membuahkan hasil. Kini, ia tahu bahwa pendekatan yang lebih langsung mungkin diperlukan.
Wulan memutuskan untuk membuka laptopnya dan mulai menelusuri jejak digital yang mungkin dapat memberinya petunjuk. Sebagai seorang pemilik rahasia dari perusahaan sebesar Solus Group, ia seharusnya memiliki akses ke berbagai informasi yang tidak dimiliki oleh orang lain. Namun, Wulan selalu berhati-hati untuk ti
Malam mulai menyelimuti rumah dengan keheningan yang mencekam. Wulan duduk di ruang kerjanya, memandangi layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terbaru Solus Group. Angka-angka yang bergerak di layar seolah-olah menggambarkan sebuah cerita tersembunyi yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tahu betapa rapuhnya dunia ini. Ia merasa ada sesuatu yang janggal, namun tidak bisa langsung menempatkan jarinya pada apa yang salah.Pikiran Wulan melayang kembali ke percakapannya dengan Clara di kafe beberapa hari lalu. Kata-kata Clara terus terngiang di telinganya—ada pengkhianatan yang mungkin sedang terjadi di dalam Solus Group, dan yang lebih mengganggu, Dimas bisa jadi terlibat di dalamnya. Namun, Wulan masih tidak bisa menerima kemungkinan itu. Bagaimana mungkin orang yang selama ini ia cintai, suaminya sendiri, bisa melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan?Dalam kesunyian malam, Wulan merasa dirinya semakin terasing dari segala yang ia kenal. Ia merind
Malam semakin larut, dan Wulan masih terjaga di tempat tidur. Dimas sudah tertidur lelap di sampingnya, mendengkur pelan seperti biasa. Namun, Wulan tidak bisa memejamkan mata. Pikiran-pikirannya berputar-putar seperti badai, menghantam hatinya tanpa henti. Kecurigaan dan kekhawatiran yang ia coba redam mulai tumbuh semakin besar, seperti bayangan yang terus membesar di tengah malam.Di saat yang bersamaan, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya—kepercayaan yang dulu begitu kuat terhadap suaminya. Dimas adalah orang yang ia percaya tanpa syarat, orang yang ia pikir akan selalu jujur dan terbuka. Tapi sekarang, seiring waktu, Wulan merasa ada sesuatu yang disembunyikan Dimas darinya. Sesuatu yang begitu besar dan begitu penting, hingga membuat Dimas berbeda.Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang malam, membuat Wulan tidak bisa tidur. Akhirnya, ia memutuskan untuk bangun dari tempat tidur dan pergi ke dapur untuk menenangkan diri dengan segelas
Pagi itu, Wulan mulai menjalankan rencananya. Meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan, ia memutuskan untuk mulai mencari tahu lebih dalam tentang proyek yang sedang Dimas kerjakan. Ia tahu bahwa ini mungkin akan membawa konsekuensi, tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.Setelah memastikan Dimas telah berangkat kerja, Wulan masuk ke ruang kerja suaminya. Ruangan itu selalu terasa rapi dan terorganisir, mencerminkan kepribadian Dimas yang tertib dan sistematis. Tapi di balik kerapian itu, Wulan merasa ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang sengaja disamarkan agar tidak mudah ditemukan.Wulan berjalan menuju meja kerja Dimas, melihat-lihat berkas-berkas yang tertata rapi di atasnya. Sebagian besar dokumen yang ia temukan adalah laporan-laporan keuangan, kontrak bisnis, dan dokumen-dokumen perusahaan lainnya. Semua tampak biasa saja, tidak ada yang mencurigakan. Namun, Wulan tahu bahwa jika Dimas memang menyembunyikan sesuatu, itu past
Seminggu telah berlalu sejak Wulan menemukan dokumen yang menghubungkan proyek Dimas dengan Solus Group. Setiap hari, rasa gelisahnya semakin membesar, tapi ia tahu bahwa terburu-buru hanya akan membuatnya ceroboh. Maka, ia tetap menjalani rutinitas sehari-harinya dengan tenang, sambil secara diam-diam terus menyelidiki.Pada suatu pagi, saat Dimas sedang sibuk bersiap-siap untuk berangkat kerja, Wulan memutuskan untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya penuh risiko.“Mas, proyek apa yang sedang kamu kerjakan sekarang? Kelihatannya kamu sangat sibuk belakangan ini,” tanyanya dengan nada ringan, seolah-olah ia hanya ingin tahu kabar biasa.Dimas menoleh sambil tersenyum tipis. “Ah, itu proyek besar, Sayang. Banyak yang harus diselesaikan, tapi semoga semua berjalan lancar.”Wulan menyembunyikan rasa ingin tahunya di balik senyum manis. “Apa ada hubungannya dengan perusahaan besar?”
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai."Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur
Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan
Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wu