Pagi hari kembali datang, dan Wulan bangun dengan perasaan yang berat. Matahari pagi yang biasanya menenangkan, kini terasa seperti beban di atas bahunya. Rasa cemas dan ketidakpastian terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa lelah meski baru saja terbangun.
Setelah menyiapkan sarapan untuk Dimas dan memastikan semua kebutuhan suaminya terpenuhi sebelum berangkat kerja, Wulan duduk di ruang makan dengan segelas teh hangat di tangannya. Sambil menatap kosong ke luar jendela, pikirannya kembali berputar pada penemuan-penemuan aneh dalam rekening keuangan keluarga mereka. Ia merasa seolah berada di ujung jurang, dengan hanya sedikit dorongan yang akan membuatnya terjatuh ke dalam lubang yang lebih dalam.
Dimas datang menghampiri Wulan, mengecup keningnya dengan lembut. “Kamu kelihatan capek, Sayang. Semalam tidak bisa tidur ya?”
Wulan tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Hanya banyak pikiran saja, Mas. Tapi aku baik-baik
Pagi berikutnya datang dengan cara yang sama, namun Wulan merasa ada yang berbeda. Di dalam dirinya, ada kekuatan yang perlahan bangkit. Meski ketakutan dan kecemasan masih menghantui, ia tahu bahwa ia harus lebih kuat dari sebelumnya. Ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam keraguan dan ketidakpastian.Setelah menyiapkan sarapan untuk Dimas, Wulan menyambut suaminya dengan senyum yang hangat seperti biasanya. Ia berusaha menutupi kegelisahan yang masih menggerogoti hatinya. Dimas tampak sedikit lebih ceria pagi itu, mungkin karena beban pekerjaan yang sedikit berkurang atau mungkin karena ia tidak menyadari ada badai yang perlahan-lahan menggulung di bawah permukaan kehidupan rumah tangga mereka.“Kamu mau kemana hari ini, Sayang?” tanya Dimas sambil merapikan dasi di depan cermin.Wulan berpikir sejenak sebelum menjawab. “Mungkin aku akan pergi ke pasar, membeli beberapa bahan makanan yang mulai habis di rumah. Dan mungkin akan mampir ke r
Keesokan paginya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak biasa. Meskipun ia berhasil tidur setelah larut malam, mimpi-mimpinya penuh dengan bayangan-bayangan aneh yang membuatnya terbangun dengan hati yang resah. Dimas masih tidur di sampingnya, napasnya teratur dan dalam. Wulan menatap suaminya sejenak, merasa ada jarak yang semakin melebar di antara mereka, meskipun secara fisik mereka begitu dekat.Setelah beberapa saat merenung, Wulan memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia tahu bahwa dirinya harus tetap kuat, apa pun yang terjadi. Ia tidak boleh membiarkan kekhawatiran merusak segalanya. Pagi itu, Wulan memutuskan untuk menyiapkan sarapan yang lebih istimewa, berharap bisa menikmati momen kebersamaan dengan Dimas sebelum suaminya pergi bekerja.Namun, di tengah aktivitasnya di dapur, Dimas datang dengan wajah yang tampak lebih serius dari biasanya. "Sayang, aku harus pergi lebih awal hari ini. Ada urusan mendadak di kantor yang harus segera
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tubuh yang terasa berat dan pikiran yang masih terbungkus dalam kabut ketidakpastian. Malam sebelumnya meninggalkan bekas di hatinya, perasaan kosong yang seakan tak dapat diisi. Dimas sudah bangun lebih awal dan sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Wulan melihatnya sedang mengikat dasi di depan cermin.“Mas, apa kamu tidak apa-apa?” Wulan bertanya dengan hati-hati, mencoba membaca ekspresi suaminya dari sudut matanya.Dimas menoleh sekilas dan tersenyum tipis, “Aku baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit stres dengan pekerjaan. Kamu tidak perlu khawatir.”Namun, Wulan bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum itu. Perasaannya semakin tidak tenang, namun ia tahu bahwa memaksa Dimas untuk berbicara hanya akan membuat situasi semakin tegang. Ia memilih untuk menahan diri, berharap bahwa Dimas akan berbicara jika memang ada sesuatu yang perlu dikatakan.“Kala
Wulan menghabiskan hari-harinya dengan rutinitas yang sama, mencoba mengabaikan rasa cemas yang terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa lambat, terutama saat Dimas tidak ada di rumah. Pikiran tentang apa yang sedang terjadi saat Dimas keluar kota terus-menerus berputar di kepalanya, membuatnya sulit berkonsentrasi pada apa pun.Malam itu, setelah Dimas berangkat keluar kota, Wulan memutuskan untuk menghubungi salah satu sahabat terdekatnya, Fitri. Fitri adalah teman Wulan sejak mereka masih di bangku kuliah, dan meskipun hidup mereka sekarang berbeda, persahabatan mereka tetap erat.“Fit, aku perlu bicara,” kata Wulan tanpa basa-basi saat Fitri menjawab teleponnya.“Wulan, ada apa? Suaramu terdengar sangat gelisah,” tanya Fitri dengan nada khawatir.Wulan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Rasanya akhir-akhir ini aku kehilangan Dimas. Dia berubah, Fit, tapi aku tidak tah
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai."Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur
Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan
Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wu