Malam itu, Wulan merasakan kelelahan yang amat sangat. Bukan hanya karena fisik, tetapi juga mentalnya yang semakin terkikis. Saat ia duduk di ruang keluarga bersama Dimas, ia mencoba tersenyum meski hatinya begitu berat. Dimas, yang tidak menyadari apapun, memandang Wulan dengan penuh kasih sayang.
"Kamu capek, ya? Hari ini pasti melelahkan," ujar Dimas sambil meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat.
Wulan mengangguk pelan. "Sedikit, tapi tidak apa-apa. Tadi arisannya berjalan lancar."
Dimas tersenyum. "Baguslah. Aku senang kamu bisa ikut berbaur dengan keluarga dan teman-teman Mama. Itu penting."
Wulan menelan ludah, menahan keinginan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi ia tahu, ini bukan waktunya. Ia tidak ingin merusak malam yang seharusnya tenang dengan pertengkaran atau ketidaknyamanan. Lagi pula, Dimas tidak bersalah dalam semua ini. Ia hanya ingin yang terbaik untuk istrinya, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakang punggun
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Suara burung berkicau di luar jendela, namun bagi Wulan, kicauan itu terasa hambar. Hari baru telah tiba, tapi tantangan yang harus dihadapinya tetap sama. Wulan melangkah ke dapur dengan langkah ringan, berharap bisa menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga untuk melupakan beban yang terus menghimpit.Di dapur, ia menemukan Bu Ratih sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi. “Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan suara ramah, mencoba mencairkan suasana.Bu Ratih hanya mengangguk tanpa menoleh. Wulan bisa merasakan atmosfer dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Ia tahu bahwa ibu mertuanya tidak pernah benar-benar menyukainya, tapi pagi ini rasanya lebih terasa daripada biasanya.“Pagi, Wulan,” jawab Bu Ratih akhirnya. Suaranya terdengar datar, seakan-akan ada sesuatu yang ditahannya.Wulan menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia ingin bertanya, ingin t
Malam itu, Wulan duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Dimas baru saja pulang kerja dan sedang mandi di kamar. Seperti biasa, Wulan menyiapkan makan malam sederhana untuk mereka berdua. Suasana rumah tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, Wulan merasakan ada sesuatu yang aneh. Nada masih di luar, dan Bu Ratih ada di kamarnya sendiri.Setelah beberapa saat, Dimas turun dari kamar mandi dengan wajah segar. Ia duduk di samping Wulan, meraih remote televisi, dan mulai mencari saluran yang menarik. Wulan menoleh padanya dan tersenyum. “Gimana kerjaan di kantor, Mas?”Dimas menghela napas panjang. “Cukup melelahkan, tapi semua berjalan lancar. Tadi aku ketemu dengan Pak Arif, dia banyak kasih masukan tentang proyek baru kita.”Wulan mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha untuk tetap fokus pada suaminya, meskipun pikirannya terus berkecamuk tentang hubungan mereka dan bagaimana caranya untuk tetap tegar menghadapi
Pagi itu, matahari terbit dengan lembut, sinarnya menembus tirai tipis yang menutupi jendela kamar. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Dimas masih tertidur lelap di sampingnya, wajahnya terlihat damai dan tenang. Melihat suaminya seperti itu, Wulan merasakan campuran perasaan. Di satu sisi, ia merasa bersyukur memiliki suami yang selalu mencintainya. Di sisi lain, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya.Sejenak, Wulan duduk di tepi tempat tidur, menatap Dimas yang masih terlelap. Wajahnya yang damai membuat Wulan merasa semakin berat untuk menyimpan rahasia besar ini. Rahasia bahwa dirinya bukanlah istri biasa yang hanya mengurus rumah tangga, melainkan seorang wanita yang memiliki kekuasaan besar di balik layar, yang selama ini telah menyembunyikan identitas aslinya sebagai pemilik Solus Group.Setelah beberapa saat, Wulan beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai, membiarkan sinar matahari masuk dan menghangatkan kamar. Pandang
Keesokan paginya, Dimas bangun dengan perasaan yang aneh. Meski ia telah tidur dengan nyenyak, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seperti bayangan samar yang tak bisa ia tangkap. Ketika ia menoleh ke samping, Wulan sudah tidak ada di tempat tidur. Hanya sisa-sisa kehangatan di tempat tidur yang menandakan bahwa Wulan baru saja bangun.Dimas bangkit dan berjalan menuju dapur, di mana ia menemukan Wulan sedang menyiapkan sarapan. Pemandangan itu seharusnya menenangkan hatinya, tetapi kali ini berbeda. Ada sesuatu dalam ekspresi Wulan yang membuat Dimas merasa gelisah. Wulan tampak tenang, tetapi di balik senyum lembutnya, Dimas bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa."Selamat pagi, Sayang," Dimas menyapa, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Wulan menoleh dan tersenyum, seperti biasa. "Pagi, Mas. Mau kopi?"Dimas mengangguk, duduk di meja makan, dan memperhatikan gerakan Wulan yang lincah. Ia berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang terus menggan
Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus tirai jendela, menciptakan pola cahaya yang indah di lantai kamar. Dimas terbangun dengan perasaan campur aduk. Tidur semalam tidak memberinya jawaban, justru menambah kegelisahan di dalam hatinya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan pesan yang telah dikirimkan kepada temannya, tetapi pikiran itu terus menghantuinya, seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari.Setelah beberapa saat merenung, Dimas memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan melakukan rutinitas pagi. Ia merapikan tempat tidur dan berjalan menuju dapur, di mana aroma sarapan mulai menyebar. Wulan sudah berada di sana, mempersiapkan omelet dan menggoreng beberapa potong roti. Saat Dimas memasuki ruangan, senyum Wulan menyambutnya, seolah-olah mencoba untuk menciptakan suasana ceria di tengah ketegangan yang menyelimuti mereka.“Selamat pagi, Mas. Mau sarapan apa?” tanya Wulan dengan nada ceria, berusaha menunjukkan ketenangan.Dimas
Malam itu terasa panjang bagi Wulan. Setelah makan malam bersama, Wulan dan Dimas berbicara dengan nada ringan tentang rencana ke depan, tetapi percakapan mereka hanya di permukaan. Jauh di dalam hatinya, Wulan merasakan jarak yang mulai tumbuh di antara mereka. Setelah mencuci piring, Wulan naik ke kamar, mencoba menenangkan pikirannya dengan membaca buku. Namun, huruf-huruf di halaman hanya berlari di matanya tanpa benar-benar masuk ke dalam pikirannya.Di sisi lain, Dimas masih duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah televisi yang menyala. Ia memikirkan pertemuannya dengan temannya tadi. Rasa bersalah merayap di hatinya. Apakah ia terlalu jauh melangkah dengan meminta bantuan untuk memantau Wulan? Namun, ada suara lain di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran.Setelah beberapa saat merenung, Dimas memutuskan untuk tidur. Ketika ia masuk ke kamar, Wulan sudah berada di tempat tidur, berpura-pura tertidur. Dima
Pagi itu, Dimas terbangun lebih awal dari biasanya. Cahaya matahari yang lembut mulai masuk melalui jendela kamar mereka, menghangatkan ruangan. Ia menatap wajah Wulan yang masih tertidur lelap di sampingnya. Ada perasaan tenang yang aneh ketika ia melihat istrinya, seolah-olah semua keraguan dan kecurigaan yang menghantuinya semalam menguap begitu saja. Namun, kenyataan segera menyergapnya, mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.Wulan menggeliat sedikit, lalu perlahan membuka matanya. Ia melihat Dimas sudah terjaga dan menatapnya. “Mas, kamu sudah bangun?” tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.Dimas tersenyum kecil, mengangguk. “Iya, Sayang. Aku terbangun lebih awal hari ini.”Wulan merespons dengan senyum lembut, lalu duduk di tempat tidur. “Aku akan membuatkan sarapan. Kamu mau kopi atau teh?”“Kopi saja, seperti biasa,” jawab Dimas, masih berusaha mempertahankan nada bi
Malam itu, setelah Dimas selesai berbicara di telepon, ia kembali ke ruang tamu dengan pikiran yang masih berkecamuk. Ia mendapati Wulan masih duduk di tempat yang sama, tampak termenung dan sedikit cemas. Ada perasaan bersalah yang mulai merayap di hatinya. Ia tahu bahwa Wulan sedang menyembunyikan sesuatu, tapi ia juga merasa bahwa mungkin ada alasan kuat di balik semua ini. Dimas berusaha untuk menenangkan diri, tetapi pikirannya terus berputar, mencari tahu bagaimana ia harus menghadapi situasi ini."Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemas," kata Dimas dengan lembut saat ia duduk di sebelah Wulan. Tangannya meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat, seolah-olah mencari pegangan dalam kegelapan.Wulan memaksakan senyumnya, meskipun hatinya terasa berat. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti. Tapi, apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir, mencoba mencari tahu seberapa jauh Dimas sudah mengetahui kebenaran yang ia sembunyikan.Dimas