Beranda / Pernikahan / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 85: Puncak Kesabaran

Share

Bab 85: Puncak Kesabaran

Penulis: Le Vant
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Wulan menyusuri koridor rumahnya yang panjang, suara langkah kakinya terdengar lembut di atas lantai marmer yang dingin. Hatinya dipenuhi oleh berbagai perasaan, campuran antara kesabaran yang mulai menipis dan semangat yang terus membara. Meskipun penampilannya di hadapan Dimas dan keluarganya tetap tenang dan penuh senyum, di dalam dirinya, Wulan merasakan bahwa batas kesabarannya semakin dekat.

Saat ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan teh, suara percakapan terdengar dari ruang tamu. Wulan berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama. Ia mengenali suara mertuanya, Bu Ratih, yang sedang berbicara dengan Nada, adik Dimas. Mereka tampak terlibat dalam diskusi yang serius, meskipun nadanya dibuat-buat ceria.

Wulan mendekat dengan hati-hati, memastikan ia tidak terlihat oleh mereka. Suara Bu Ratih terdengar lebih jelas ketika ia berkata, “Aku tidak tahu sampai kapan Dimas akan terus dibutakan oleh sikap manis Wulan. Aku tahu dia mencoba yang terbaik, tapi jelas-

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 86: Di Balik Ketenangan

    Pagi yang cerah menyelimuti kota, dan sinar matahari menyusup ke dalam kamar Wulan dan Dimas melalui celah-celah tirai. Wulan terbangun lebih awal seperti biasanya. Dengan lembut, ia menyibak selimut dan bangkit dari ranjang tanpa membangunkan Dimas yang masih terlelap. Kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari rutinitasnya; bangun pagi untuk memastikan segala sesuatu di rumah berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja.Wulan mengenakan pakaian yang sederhana namun elegan, sesuai dengan perannya sebagai ibu rumah tangga yang selalu siap melayani keluarga. Hari ini, ia memutuskan untuk membuatkan sarapan spesial bagi Dimas dan keluarganya. Ia berharap, setidaknya untuk pagi ini, semua akan berjalan tanpa ada ketegangan yang biasanya ia rasakan di dalam rumah.Setelah memasuki dapur, Wulan mulai memasak dengan cekatan. Aroma nasi goreng dan telur yang sedang digoreng menyebar di seluruh rumah. Saat ia sibuk mempersiapkan makanan, terdengar suara langkah kaki yang mendek

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 87: Ketenangan yang Menyimpan Luka

    Siang itu, setelah percakapan yang menguras energi antara Wulan dengan Nada dan Bu Ratih, Wulan merasa butuh udara segar. Dengan hati-hati, ia berjalan keluar rumah dan menuju taman kecil yang terletak di belakang. Taman itu adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa sedikit bebas dari tatapan mata yang selalu mengawasinya di dalam rumah.Wulan duduk di bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil dengan ikan-ikan koi yang berenang tenang di dalamnya. Ia menyukai tempat ini karena seolah-olah ketenangan taman ini mampu meredam segala kegelisahan yang ia rasakan. Namun, di balik ketenangan itu, hatinya masih terus bergolak.Dalam kesunyian itu, ingatan-ingatan tentang kehidupannya yang lalu, sebelum menikah dengan Dimas, perlahan muncul. Dulu, ia adalah seorang wanita karir yang sukses, dihormati, dan memiliki kuasa yang tidak bisa diremehkan. Solus Group, perusahaan yang ia bangun dengan kerja keras, adalah bagian dari dirinya yang paling dibanggakan. Namun, semua itu k

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 88: Benih Rencana yang Mulai Tumbuh

    Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun ia sudah berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Wulan selalu menikmati waktu-waktu pagi seperti ini, ketika rumah masih sepi dan ia bisa sejenak melupakan tekanan yang terus menghimpitnya.Wulan dengan cekatan memasak nasi goreng kesukaan Dimas. Aroma harum bawang putih yang digoreng memenuhi dapur, menghangatkan suasana. Sesekali, ia menoleh ke arah jendela dapur yang menghadap ke taman belakang, tempat ia kemarin duduk merenung. Meskipun hatinya masih diselimuti kekhawatiran, pagi ini ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan keluarga suaminya.Dimas adalah orang pertama yang turun ke dapur. Wajahnya tampak segar setelah mandi, senyum hangat menghiasi bibirnya ketika melihat Wulan sedang sibuk memasak.“Pagi, Sayang,” sapa Dimas sambil mendekati Wulan, memberikan kecupan lembut di pipinya. “Masakannya pasti enak nih, sudah terc

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 89: Kesabaran yang Diuji

    Pagi yang baru dimulai di kediaman keluarga Dimas seharusnya menjadi awal yang segar dan penuh harapan, tetapi bagi Wulan, setiap hari terasa seperti ujian baru. Sejak mulai menuliskan rencana-rencana kecilnya, Wulan merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Namun, dengan kekuatan itu datang pula tantangan yang semakin berat.Hari ini, setelah memastikan Dimas berangkat ke kantor dengan senyum yang masih Wulan bisa berikan dengan tulus, ia tahu bahwa ini akan menjadi hari yang panjang. Nada dan Bu Ratih tampak lebih dingin dari biasanya. Ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak diucapkan namun bisa dirasakan oleh Wulan.Wulan berusaha menjalani hari seperti biasa. Ia membersihkan rumah, menyiapkan makan siang, dan memastikan semua hal yang menjadi tugasnya sebagai menantu dilakukan dengan sempurna. Namun, saat ia selesai membersihkan ruang tamu, Nada tiba-tiba menghampirinya dengan tatapan yang menusuk."Wulan," Nada memulai, suaranya datar tapi penuh

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 90: Topeng Kesabaran

    Pagi yang cerah seharusnya membawa harapan baru, namun bagi Wulan, setiap hari adalah perpanjangan dari ujian kesabaran yang seolah tak ada habisnya. Setelah semalam berpikir panjang, Wulan bangun dengan tekad yang semakin kuat. Ia tidak akan membiarkan perlakuan dingin dari keluarga Dimas merusak semangatnya. Wulan sadar bahwa untuk mencapai tujuannya, ia harus tetap tenang dan bermain sesuai aturan yang mereka tetapkan—untuk saat ini.Setelah Dimas berangkat ke kantor pagi itu, Wulan langsung membersihkan rumah dengan teliti. Ia memastikan tidak ada satu pun sudut yang terlewat. Ini adalah caranya untuk menunjukkan bahwa meskipun mereka meragukan kemampuannya, ia bisa melakukan tugas-tugasnya dengan sempurna. Saat ia sedang merapikan ruang keluarga, Nada muncul dari kamar dengan pakaian rapi, siap berangkat ke kampus.Nada melihat Wulan yang sedang sibuk membersihkan meja. "Kamu sudah sarapan?" tanya Nada, suaranya terdengar acuh tak acuh.Wulan menoleh

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 91: Jebakan dalam Senyuman

    Malam itu, Wulan merasakan kelelahan yang amat sangat. Bukan hanya karena fisik, tetapi juga mentalnya yang semakin terkikis. Saat ia duduk di ruang keluarga bersama Dimas, ia mencoba tersenyum meski hatinya begitu berat. Dimas, yang tidak menyadari apapun, memandang Wulan dengan penuh kasih sayang."Kamu capek, ya? Hari ini pasti melelahkan," ujar Dimas sambil meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat.Wulan mengangguk pelan. "Sedikit, tapi tidak apa-apa. Tadi arisannya berjalan lancar."Dimas tersenyum. "Baguslah. Aku senang kamu bisa ikut berbaur dengan keluarga dan teman-teman Mama. Itu penting."Wulan menelan ludah, menahan keinginan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi ia tahu, ini bukan waktunya. Ia tidak ingin merusak malam yang seharusnya tenang dengan pertengkaran atau ketidaknyamanan. Lagi pula, Dimas tidak bersalah dalam semua ini. Ia hanya ingin yang terbaik untuk istrinya, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakang punggun

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 92: Di Balik Kebaikan Tersembunyi

    Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Suara burung berkicau di luar jendela, namun bagi Wulan, kicauan itu terasa hambar. Hari baru telah tiba, tapi tantangan yang harus dihadapinya tetap sama. Wulan melangkah ke dapur dengan langkah ringan, berharap bisa menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga untuk melupakan beban yang terus menghimpit.Di dapur, ia menemukan Bu Ratih sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi. “Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan suara ramah, mencoba mencairkan suasana.Bu Ratih hanya mengangguk tanpa menoleh. Wulan bisa merasakan atmosfer dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Ia tahu bahwa ibu mertuanya tidak pernah benar-benar menyukainya, tapi pagi ini rasanya lebih terasa daripada biasanya.“Pagi, Wulan,” jawab Bu Ratih akhirnya. Suaranya terdengar datar, seakan-akan ada sesuatu yang ditahannya.Wulan menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia ingin bertanya, ingin t

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 93: Ketegangan yang Tak Terelakkan

    Malam itu, Wulan duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi. Dimas baru saja pulang kerja dan sedang mandi di kamar. Seperti biasa, Wulan menyiapkan makan malam sederhana untuk mereka berdua. Suasana rumah tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, Wulan merasakan ada sesuatu yang aneh. Nada masih di luar, dan Bu Ratih ada di kamarnya sendiri.Setelah beberapa saat, Dimas turun dari kamar mandi dengan wajah segar. Ia duduk di samping Wulan, meraih remote televisi, dan mulai mencari saluran yang menarik. Wulan menoleh padanya dan tersenyum. “Gimana kerjaan di kantor, Mas?”Dimas menghela napas panjang. “Cukup melelahkan, tapi semua berjalan lancar. Tadi aku ketemu dengan Pak Arif, dia banyak kasih masukan tentang proyek baru kita.”Wulan mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha untuk tetap fokus pada suaminya, meskipun pikirannya terus berkecamuk tentang hubungan mereka dan bagaimana caranya untuk tetap tegar menghadapi

Bab terbaru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 146: Tanda-Tanda yang Tak Terduga

    Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 145: Pertemuan yang Mengguncang

    Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 144: Bayang-Bayang Keraguan

    Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 143: Menggali Lebih Dalam

    Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 142: Tanda-tanda yang Mengkhawatirkan

    Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 141: Mencari Titik Terang

    Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 140: Awal dari Sebuah Rencana

    Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 139: Menelusuri Jejak Kebenaran

    Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 138: Bayangan Kebohongan

    Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamar, memandikan ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Wulan terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang masih berat. Malam sebelumnya, setelah perbincangannya dengan ibunya, Wulan merasa sedikit lebih tenang. Namun, perasaan was-was itu tetap ada, seolah bersembunyi di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantuinya.Setelah memastikan Dimas sudah berangkat ke kantor, Wulan mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, bayangan tentang masalah yang mungkin sedang dihadapi Dimas selalu kembali. Wulan tahu, sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan.Hari itu, Wulan memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional. Biasanya, ia selalu menyukai perjalanan ke pasar, menikmati suasana riuh, aroma rempah-rempah yang kuat, dan warna-warni sayuran segar yang menggoda. Namun, kali ini, semuanya

DMCA.com Protection Status