Wulan terbangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum matahari benar-benar terbit. Ia merasakan kegelisahan yang menumpuk di dalam dirinya sejak percakapan dengan Bu Ratna kemarin. Ada ketegangan yang tak bisa ia abaikan, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja.
Ia bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membangunkan Dimas yang masih terlelap. Setelah membenahi dirinya, Wulan berjalan keluar kamar dan menuju dapur untuk memulai rutinitasnya. Pagi ini, ia memutuskan untuk membuat sarapan spesial sebagai upaya untuk menjaga kedamaian di rumah, meski hanya sementara.
Wulan tahu bahwa ia harus terus memainkan peran ini dengan sempurna, tidak boleh ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh Bu Ratna atau Ana. Setiap tindakan kecilnya diperhitungkan dengan cermat, seolah-olah ia sedang berjalan di atas lapisan es yang sangat tipis.
Ketika aroma masakan mulai menyebar di seluruh rumah, satu per satu anggota keluarga mulai bangun. Dimas muncul pertama, wajah
Hari-hari berikutnya berjalan dengan suasana yang semakin tak menentu. Wulan merasakan tekanan yang semakin besar dari Bu Ratna dan Ana, namun ia tetap berusaha mempertahankan ketenangan di hadapan mereka. Di sisi lain, Dimas, yang masih belum menyadari ketegangan yang terjadi di belakang punggungnya, terus memperlakukan Wulan dengan penuh kasih sayang, seolah-olah tidak ada yang berubah.Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Meskipun ia sudah sangat ahli dalam menyembunyikan perasaannya, ada batasan sampai sejauh mana ia bisa berpura-pura. Tekanan dari Bu Ratna dan Ana semakin terasa, seperti api yang mulai membakar perlahan di bawah permukaan.Suatu pagi, saat Dimas sudah pergi bekerja, Wulan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman kecil di belakang rumah. Taman itu biasanya menjadi tempatnya mencari ketenangan, namun pagi itu, ketenangan terasa jauh dari jangkauannya. Pikiran-pikiran gelap terus berkecamuk di benaknya, dan Wulan merasa semakin t
Hari itu Wulan berusaha menjalani rutinitasnya seperti biasa, namun bayangan percakapan dengan Ana dan Bu Ratna terus menghantuinya. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada pekerjaan rumah, pikirannya kembali kepada perasaan cemas yang mulai menjalar di hatinya. Ketegangan yang dirasakannya semakin hari semakin membesar, dan Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus begini.Siang itu, ketika Dimas sudah pergi bekerja dan rumah mulai sepi, Wulan memutuskan untuk berbicara dengan dirinya sendiri di depan cermin kamar. Ia menatap bayangannya yang terlihat lelah dan tertekan. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan untuk mengubah situasi ini. Namun, setiap kali ia mencoba mencari jalan keluar, semua tampak begitu rumit.“Apa yang harus kulakukan?” bisiknya pada bayangannya sendiri.Ia kemudian teringat akan rencana yang selama ini ia susun dengan hati-hati. Rencana untuk memastikan bahwa ia tidak akan menjadi korban dalam keluarga ini. Wulan t
Keesokan harinya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan dorongan kuat untuk segera memulai rencananya. Setelah memastikan Dimas dan anggota keluarganya sudah pergi, Wulan duduk di meja makan dengan secangkir teh panas di tangannya. Pikirannya berputar, mencoba menyusun langkah pertama yang harus diambil.Wulan tahu bahwa mengungkap identitasnya sebagai pemilik Solus Group terlalu berisiko jika dilakukan terlalu cepat. Ia harus bermain dengan cerdik, sedikit demi sedikit, tanpa menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, terutama Dimas.Sambil menyesap teh, Wulan membuka ponselnya dan memeriksa pesan-pesan yang masuk. Salah satu pesan dari rekan bisnisnya menarik perhatiannya. Pesan itu berisi informasi tentang beberapa proyek besar yang sedang berjalan, dan Wulan tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tepat untuk mulai menjalankan rencananya.Wulan segera menghubungi asistennya, Sarah, yang selalu setia mendampinginya dalam urusan bisnis. "Sarah, a
Pagi itu, Wulan memulai harinya dengan rutinitas yang tampak biasa. Ia menyajikan sarapan untuk Dimas dan keluarganya dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Namun, di balik senyum itu, Wulan sudah menyusun langkah-langkah selanjutnya dalam pikirannya. Hari ini, ia akan mulai membangun jaringan yang lebih luas, sebuah langkah penting untuk mewujudkan rencananya.Setelah mengantar Dimas ke pintu depan, Wulan kembali ke dapur, memastikan bahwa semua telah beres sebelum ia mulai bekerja di ruang pribadinya. Tak lama setelah itu, ia menghubungi Sarah untuk mendapatkan informasi terbaru tentang situasi di Solus Group.“Sarah, bagaimana perkembangan proyek-proyek kita? Apakah ada hal yang perlu saya ketahui?” tanya Wulan sambil menyiapkan catatan di mejanya.“Semua berjalan lancar, Bu. Proyek-proyek besar sedang dalam proses, dan tim kita bekerja dengan baik. Namun, ada satu hal yang perlu perhatian Anda. Ada proposal baru yang masuk dar
Keesokan paginya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan semangat yang membuncah dalam dirinya, siap untuk melanjutkan rencana yang telah ia susun dengan cermat. Meskipun pagi itu tampak seperti hari-hari biasa lainnya di rumah keluarga Dimas, Wulan tahu bahwa ia sedang bergerak ke arah yang lebih besar.Setelah menyelesaikan sarapan pagi dan memastikan bahwa Dimas berangkat ke kantor dengan baik, Wulan kembali ke ruang kerjanya. Hari ini, ia berencana untuk memulai langkah konkret pertama dalam memperluas jaringan Solus Group, sekaligus memantau proyek-proyek yang sedang berjalan. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang membangun kekuatan yang akan ia gunakan kelak.Wulan membuka laptopnya dan segera terhubung dengan Sarah, yang telah menyiapkan laporan lengkap mengenai perkembangan terbaru. “Bagaimana dengan proyek di Singapura? Apakah tim sudah menghadapi hambatan?” tanya Wulan sambil membuka dokumen di layarnya.
Wulan menyusuri koridor rumahnya yang panjang, suara langkah kakinya terdengar lembut di atas lantai marmer yang dingin. Hatinya dipenuhi oleh berbagai perasaan, campuran antara kesabaran yang mulai menipis dan semangat yang terus membara. Meskipun penampilannya di hadapan Dimas dan keluarganya tetap tenang dan penuh senyum, di dalam dirinya, Wulan merasakan bahwa batas kesabarannya semakin dekat.Saat ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan teh, suara percakapan terdengar dari ruang tamu. Wulan berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama. Ia mengenali suara mertuanya, Bu Ratih, yang sedang berbicara dengan Nada, adik Dimas. Mereka tampak terlibat dalam diskusi yang serius, meskipun nadanya dibuat-buat ceria.Wulan mendekat dengan hati-hati, memastikan ia tidak terlihat oleh mereka. Suara Bu Ratih terdengar lebih jelas ketika ia berkata, “Aku tidak tahu sampai kapan Dimas akan terus dibutakan oleh sikap manis Wulan. Aku tahu dia mencoba yang terbaik, tapi jelas-
Pagi yang cerah menyelimuti kota, dan sinar matahari menyusup ke dalam kamar Wulan dan Dimas melalui celah-celah tirai. Wulan terbangun lebih awal seperti biasanya. Dengan lembut, ia menyibak selimut dan bangkit dari ranjang tanpa membangunkan Dimas yang masih terlelap. Kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari rutinitasnya; bangun pagi untuk memastikan segala sesuatu di rumah berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja.Wulan mengenakan pakaian yang sederhana namun elegan, sesuai dengan perannya sebagai ibu rumah tangga yang selalu siap melayani keluarga. Hari ini, ia memutuskan untuk membuatkan sarapan spesial bagi Dimas dan keluarganya. Ia berharap, setidaknya untuk pagi ini, semua akan berjalan tanpa ada ketegangan yang biasanya ia rasakan di dalam rumah.Setelah memasuki dapur, Wulan mulai memasak dengan cekatan. Aroma nasi goreng dan telur yang sedang digoreng menyebar di seluruh rumah. Saat ia sibuk mempersiapkan makanan, terdengar suara langkah kaki yang mendek
Siang itu, setelah percakapan yang menguras energi antara Wulan dengan Nada dan Bu Ratih, Wulan merasa butuh udara segar. Dengan hati-hati, ia berjalan keluar rumah dan menuju taman kecil yang terletak di belakang. Taman itu adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa sedikit bebas dari tatapan mata yang selalu mengawasinya di dalam rumah.Wulan duduk di bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil dengan ikan-ikan koi yang berenang tenang di dalamnya. Ia menyukai tempat ini karena seolah-olah ketenangan taman ini mampu meredam segala kegelisahan yang ia rasakan. Namun, di balik ketenangan itu, hatinya masih terus bergolak.Dalam kesunyian itu, ingatan-ingatan tentang kehidupannya yang lalu, sebelum menikah dengan Dimas, perlahan muncul. Dulu, ia adalah seorang wanita karir yang sukses, dihormati, dan memiliki kuasa yang tidak bisa diremehkan. Solus Group, perusahaan yang ia bangun dengan kerja keras, adalah bagian dari dirinya yang paling dibanggakan. Namun, semua itu k
Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si
Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken
Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun
Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena
Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamar, memandikan ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Wulan terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang masih berat. Malam sebelumnya, setelah perbincangannya dengan ibunya, Wulan merasa sedikit lebih tenang. Namun, perasaan was-was itu tetap ada, seolah bersembunyi di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantuinya.Setelah memastikan Dimas sudah berangkat ke kantor, Wulan mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, bayangan tentang masalah yang mungkin sedang dihadapi Dimas selalu kembali. Wulan tahu, sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan.Hari itu, Wulan memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional. Biasanya, ia selalu menyukai perjalanan ke pasar, menikmati suasana riuh, aroma rempah-rempah yang kuat, dan warna-warni sayuran segar yang menggoda. Namun, kali ini, semuanya