Pagi berikutnya, suasana rumah masih terlihat seperti biasa. Wulan bangun lebih awal dan mulai menyiapkan sarapan seperti yang selalu ia lakukan. Dimas masih di kamar mandi, bersiap untuk berangkat kerja. Hati Wulan sedikit lebih tenang pagi itu, meskipun sisa-sisa kecemasan dari hari sebelumnya masih membekas. Dia tahu bahwa hari ini dia harus lebih berhati-hati.
Ketika Wulan sedang sibuk di dapur, ibu mertuanya muncul dari arah ruang tamu. Wanita tua itu tampak segar, dengan riasan yang rapi seperti biasa. Ia duduk di meja makan dan memandang Wulan dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Wulan,” panggil ibu mertuanya pelan, namun tegas.
Wulan berhenti mengaduk adonan kue dan menoleh. “Iya, Bu? Ada yang Ibu butuhkan?”
Wanita itu memandang Wulan sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Kamu sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Kami semua menghargai apa yang kamu lakukan untuk Dimas dan rumah ini. Tapi, ada
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Wulan berusaha menjaga keseimbangan antara perannya sebagai istri yang setia dan tanggung jawab tersembunyi yang dia pikul sebagai pemilik Solus Group. Meskipun tampak tenang di luar, hatinya selalu waspada. Setiap interaksi dengan keluarga Dimas kini dia analisis dengan lebih cermat, mencari tanda-tanda yang mungkin menunjukkan perubahan sikap atau kecurigaan.Pagi itu, seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dimas masih terlelap, dan Wulan mengambil kesempatan itu untuk memeriksa pesan-pesan dari rekan bisnisnya. Dia telah mengatur agar semua komunikasi terkait Solus Group dilakukan melalui saluran yang sangat pribadi dan aman, sehingga tidak ada yang mencurigai keterlibatannya.Saat dia sedang sibuk di dapur, Ana muncul dengan wajah yang sedikit cemberut. Kakak iparnya itu memang dikenal sebagai orang yang sulit ditebak suasana hatinya, namun belakangan ini, Wulan merasakan ada sesuatu yang berbeda dari si
Malam itu, Wulan duduk di tepi ranjangnya, memandangi pemandangan luar jendela yang sepi. Suara hujan yang turun perlahan mengetuk-ngetuk jendela, menciptakan irama yang menenangkan. Dimas sudah tertidur di sampingnya, napasnya teratur dan tenang. Wulan mendesah pelan, berusaha melepaskan segala kegelisahan yang menggumpal di dalam hatinya.Pikirannya kembali pada percakapan pagi tadi dengan Ana. Meskipun tidak ada kata-kata tajam yang dilontarkan, Wulan merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam sikap kakak iparnya itu. Seolah-olah Ana mencoba mencari sesuatu, menggali lebih dalam dari yang seharusnya.Wulan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa dia harus tetap kuat, tidak boleh goyah meskipun kecurigaan mulai merayap di sekitarnya. Wulan berpikir tentang strategi yang akan dia gunakan ke depannya. Mungkin sudah saatnya untuk mulai sedikit menjaga jarak dari keluarga Dimas, tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimanapun juga, dia harus meli
Pagi di rumah keluarga Dimas berjalan dengan ritme yang biasa. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyinari ruang tamu yang telah diisi dengan aroma teh hangat dan roti panggang. Wulan, dengan senyum tipis di wajahnya, sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk semua orang. Ibu mertuanya, Bu Ratna, duduk di meja makan, menatap Wulan dengan pandangan yang sulit diartikan."Roti panggangnya sudah matang, Bu," ujar Wulan sambil meletakkan piring berisi roti di meja."Terima kasih, Wulan," jawab Bu Ratna dengan nada datar. Meski kata-katanya terdengar sopan, Wulan dapat merasakan jarak yang tak kasat mata di antara mereka. Ketegangan ini hampir tak terlihat, namun cukup terasa bagi Wulan, yang sudah terbiasa mengamati perilaku keluarganya.Ana, yang baru saja turun dari lantai atas, duduk di meja dengan langkah ringan. “Pagi, semua,” sapanya dengan ceria.“Pagi, Ana. Mau kopi?” tanya Wulan deng
Malam di rumah keluarga Dimas selalu sunyi. Setelah makan malam bersama, semua orang kembali ke rutinitas masing-masing. Bu Ratna dan Pak Wirya sering menghabiskan waktu dengan menonton televisi di ruang keluarga, sementara Ana dan suaminya, Arif, terkadang masih sibuk dengan pekerjaan atau berada di kamar mereka.Wulan duduk di sudut kamar, menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip. Pesan dari stafnya di Solus Group sudah masuk, berisi rincian masalah yang perlu diselesaikan. Wulan tahu bahwa dia tidak bisa menunda keputusan ini terlalu lama, tetapi dia juga sadar bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkutat dengan urusan pekerjaan. Suara televisi dari ruang keluarga terdengar sayup-sayup melalui dinding, mengingatkan Wulan bahwa keluarganya hanya beberapa langkah jauhnya. Dia harus tetap waspada.Wulan menghela napas panjang, lalu menutup ponselnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. "Nanti saja," pikirnya. Dia tahu bahwa tekanan ini akan terus me
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Dimas terasa damai seperti biasa. Matahari mulai menembus jendela, menyinari ruang makan yang sudah tertata rapi dengan sarapan pagi. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang menenangkan.Wulan sudah bangun lebih awal dari yang lain, seperti biasanya. Dia menyiapkan sarapan dengan hati-hati, memastikan semuanya sempurna sebelum keluarga berkumpul. Meskipun dalam hati dia tahu bahwa perhatian ini mungkin tidak sepenuhnya dihargai, Wulan tetap menjalankan perannya sebagai istri dan menantu dengan sebaik-baiknya.Dimas turun dari lantai atas dengan senyuman di wajahnya. “Pagi, Sayang,” sapanya sambil mencium pipi Wulan.“Pagi, Mas,” jawab Wulan dengan senyum lembut, meskipun di dalam hatinya masih ada beban yang tak terlihat. Dia merasa senang melihat Dimas dalam suasana hati yang baik, meskipun dia tahu bahwa kebahagiaan ini bersifat sementara.Tidak lama kemud
Pagi di rumah keluarga Dimas dimulai dengan cara yang sama seperti biasanya. Wulan bangun lebih awal dari yang lain, menyiapkan sarapan, dan memastikan segala sesuatunya berjalan lancar. Namun, di balik rutinitas yang tenang ini, Wulan mulai merasakan tekanan yang semakin meningkat dari sikap keluarga Dimas.Setelah sarapan, Dimas bersiap untuk pergi bekerja. Sebelum meninggalkan rumah, dia mendekati Wulan yang sedang membereskan meja makan. “Sayang, hari ini kamu ada rencana apa?” tanya Dimas dengan nada lembut.Wulan tersenyum, meskipun hatinya terasa sedikit berat. “Tidak ada yang khusus, Mas. Aku hanya akan di rumah, mungkin sedikit membersihkan dan menyiapkan makan malam.”Dimas mengangguk dan mencium kening Wulan. “Kalau begitu, jaga diri baik-baik ya. Aku akan pulang lebih awal hari ini.”“Pasti, Mas. Hati-hati di jalan,” balas Wulan dengan senyum yang tetap dipaksakan. Setelah Dimas pergi, senyumnya
Hari-hari berikutnya tidak menjadi lebih mudah bagi Wulan. Setiap kali Dimas pergi bekerja, suasana rumah kembali berubah. Seolah-olah, kehangatan yang ia ciptakan setiap pagi dengan penuh cinta menguap begitu saja ketika pintu depan tertutup di belakang suaminya.Keluarga Dimas, terutama Bu Ratna, semakin sering menunjukkan sikap yang membuat Wulan merasa tidak nyaman. Meskipun mereka tidak pernah secara langsung menyudutkannya, ada tatapan, kata-kata halus, dan sikap dingin yang membuatnya merasa semakin terasing.Pagi itu, Wulan tengah merapikan bunga di vas ruang tamu ketika Bu Ratna masuk. Wulan melihat ibu mertuanya berjalan dengan langkah pelan, tetapi setiap langkahnya terasa membawa beban berat yang tidak terlihat."Wulan, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," kata Bu Ratna tanpa basa-basi.Wulan meletakkan bunga yang sedang ia tata dan menoleh, "Ada apa, Bu?"Bu Ratna menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. "Kamu sudah cuku
Matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk timur ketika Wulan terbangun dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Malam itu, meski sudah berusaha keras untuk memejamkan mata, pikirannya terus dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran. Ia melirik Dimas yang masih terlelap di sampingnya, merasa sedikit lega melihat suaminya tampak tenang dalam tidurnya. Wulan tahu bahwa Dimas adalah sumber kekuatannya, tetapi juga adalah kelemahan terbesarnya.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai aktivitasnya seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya, Wulan menyiapkan sarapan dengan penuh kasih sayang. Ia tahu bahwa momen seperti ini adalah saat-saat yang berharga baginya, saat ia bisa merasakan ketenangan sebelum badai datang kembali.Sambil memasak, pikirannya melayang pada percakapan dengan Ana sehari sebelumnya. Wulan masih bisa merasakan ketegangan yang terselip di balik kata-kata adik iparnya itu. Ana, meskipun terlihat ramah dan ceria, mulai