Pagi yang baru tiba dengan suasana yang tenang di rumah keluarga Dimas. Namun, ketenangan ini hanya permukaan tipis yang menutupi kegelisahan yang semakin mengakar di dalam diri Wulan. Semakin hari, rencananya berjalan dengan baik, namun rasa bersalah dan keraguan terus menghantui pikirannya. Ia mulai mempertanyakan apakah rencana balas dendam ini benar-benar sepadan dengan harga yang harus dibayar—pernikahan dan kebahagiaan yang dulu mereka nikmati.
Setelah mengantar Dimas berangkat kerja, Wulan menghela napas panjang dan duduk di meja makan. Kepalanya terasa berat dengan segala pikiran yang berputar di dalamnya. Tapi ia harus tetap fokus, terutama saat ini, ketika permainan mulai memasuki tahap yang lebih serius.
Ana berjalan masuk ke ruang makan dengan langkah yang pelan, tampaknya masih terbebani oleh firasat buruk yang sudah beberapa hari ini menghantuinya. "Mbak Wulan, aku merasa ada yang perlu kita bicarakan," katanya dengan suara yang sedikit gemetar.
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi rasa berat di hati Wulan tidak berkurang sedikit pun. Semakin dalam rencana ini berjalan, semakin Wulan merasakan bahwa kehidupannya mulai terjerat dalam jaring yang ia buat sendiri. Ia harus terus bermain dalam peran yang ia pilih—menjadi istri yang setia di hadapan Dimas, namun menjadi mastermind di balik kehancurannya di belakang layar.Di meja makan pagi itu, suasana terasa canggung. Ana dan Ibunya, meskipun masih menunjukkan sikap sopan di depan Dimas, semakin sering menunjukkan sikap dingin saat Dimas tidak ada. Wulan merasakan ketegangan yang kian memuncak. Senyum yang dipaksakan di bibir Ana kini tidak lagi mampu menyembunyikan rasa tidak sukanya."Sarapan hari ini enak sekali, Mbak," kata Ana dengan nada yang terdengar manis, tetapi Wulan bisa merasakan adanya nada sinis di balik pujian itu. "Kamu memang selalu bisa membuat makanan enak."Wulan membalas dengan senyum lembut. "Terima kasih, Ana. Aku senang kamu suka."Meskipun percakapan
Pagi datang dengan sinar matahari yang masuk melalui tirai tipis di kamar Wulan. Namun, meski pagi menjanjikan awal yang baru, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menghantui dirinya sejak malam sebelumnya. Dimas masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat tenang, seolah semua masalah di dunia ini tidak menyentuhnya. Tetapi Wulan tahu, di balik ketenangan itu, ada badai yang sedang berkumpul.Wulan perlahan bangkit dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Dimas. Dia merasa perlu waktu untuk sendiri, untuk merenung dan menata kembali pikirannya yang kacau. Setelah mandi dan mengenakan pakaian, Wulan turun ke dapur, berharap kesibukan memasak bisa mengalihkan pikirannya.Namun, saat Wulan mulai menyiapkan sarapan, langkah kaki terdengar mendekat. Ana muncul di pintu dapur, wajahnya terlihat segar tetapi dengan tatapan mata yang mengisyaratkan sesuatu yang berbeda."Pagi, Mbak," sapa Ana dengan senyum tipis. "Hari ini aku bantuin masak, ya?"Wulan menatap Ana sejenak, s
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Dimas berangkat kerja lebih awal, tanpa sarapan dan tanpa kata-kata yang biasa diucapkannya kepada Wulan. Meskipun Wulan mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, bayangan ketegangan yang tersirat di wajah Dimas tidak bisa ia lupakan.Wulan duduk di meja makan, memandangi cangkir kopinya yang dingin. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai macam pikiran, dari situasi yang dihadapi Dimas di kantor hingga langkah-langkah yang harus ia ambil untuk memastikan rencana balas dendamnya berjalan lancar. Namun, di balik semua itu, ada perasaan hampa yang semakin hari semakin sulit ia abaikan.Ketika Wulan beranjak dari meja, ia mendengar suara pintu dibuka dengan pelan. Ana masuk ke ruang makan, dengan senyuman yang seolah tidak pernah lepas dari wajahnya. Senyuman itu, bagi orang lain mungkin terlihat ramah dan tulus, tapi bagi Wulan, ada sesuatu di balik senyuman itu yang membuatnya waspada."Apa a
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan yang berat. Ketegangan di rumah semakin terasa, seperti kabut yang tidak kunjung hilang. Meskipun Dimas mencoba tetap bersikap tenang, Wulan bisa merasakan bahwa beban yang ia pikul semakin berat setiap harinya. Proyek yang dihentikan sementara waktu itu menjadi ancaman yang terus menghantui pikiran Dimas, dan pada akhirnya, ikut mempengaruhi suasana di rumah.Wulan turun ke dapur dan melihat ibu mertua serta Ana sedang sibuk menyiapkan sarapan. Mereka berdua terlihat akrab, saling berbincang dengan nada suara yang rendah. Ketika Wulan masuk, percakapan mereka berhenti tiba-tiba, dan suasana di dapur menjadi lebih sunyi.“Selamat pagi, Bu,” sapa Wulan dengan senyum yang ia paksakan.Ibu mertua Wulan menoleh dengan senyum tipis, “Pagi, Wulan. Sudah sarapan?”“Belum, Bu. Saya mau bantu-bantu di sini dulu,” jawab Wulan sambil melangkah mendekat.“Nggak usah, Wulan. Kamu k
Pagi itu, Wulan bangun dengan perasaan tidak menentu. Ketidakpastian yang menghantui pikirannya membuatnya merasa seperti berada di dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, ia adalah seorang istri yang harus setia dan mendukung suaminya, tetapi di sisi lain, ia adalah seorang pemimpin yang memiliki kekuatan untuk mengubah hidupnya sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Kedua peran ini semakin hari semakin sulit untuk ia jalani bersamaan.Setelah membersihkan diri dan bersiap-siap, Wulan menuju dapur untuk memulai hari. Pagi ini, suasana dapur berbeda. Tidak ada percakapan hangat antara ibu mertua dan Ana seperti biasanya. Mereka berdua tampak lebih pendiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Wulan bisa merasakan ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tidak yakin apa itu.Wulan berusaha mengalihkan pikirannya dengan mempersiapkan sarapan. Ia tahu bahwa Dimas membutuhkan energi untuk hari yang panjang di kantor. Ketika sedang menyiapkan makanan, ia mendengar langkah kaki Dimas yang tu
Pagi itu, Wulan merasakan kegelisahan yang tak biasa. Meskipun hari tampak cerah dan udara segar, ada sesuatu yang mengganggunya sejak ia membuka mata. Perasaan ini seperti bayangan gelap yang menyelinap di balik sinar matahari pagi, tidak terlihat jelas, tetapi kehadirannya tak bisa diabaikan.Wulan turun ke dapur dengan langkah pelan, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Ibu mertua dan Ana sudah duduk di meja makan, seperti biasa. Namun, kali ini, ada ketegangan yang jelas di udara, meskipun tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Wulan bisa merasakan tatapan Ana yang tajam menusuk punggungnya saat ia mengambil kopi dan duduk di meja.“Selamat pagi,” Wulan mencoba membuka percakapan dengan suara lembut.“Pagi,” jawab ibu mertua singkat, tanpa sedikit pun senyuman di wajahnya.Ana hanya mengangguk, tatapan matanya tetap tertuju pada piringnya. Suasana yang sunyi dan canggung menyelimuti ruang makan, seolah-olah mereka semua sedang menunggu sesuatu yang buruk terjadi.Dimas
Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang lebih berat. Keputusan-keputusan yang harus diambil dan rahasia yang harus disimpan membuat pikirannya semakin penuh. Sinar matahari pagi yang menerobos melalui jendela kamarnya tidak mampu mengusir kegelapan yang kini mengelilingi hatinya.Saat ia turun ke ruang makan, suasana rumah terasa lebih tegang dari biasanya. Dimas sedang berbicara dengan ibunya, dan meskipun suaranya terdengar lembut, ada nada ketidakpuasan yang samar-samar. Wulan mendekati meja makan dengan senyuman kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya.“Pagi, Mas,” sapa Wulan sambil memberikan ciuman di pipi Dimas.Dimas menoleh dan membalas senyuman Wulan, meskipun terlihat sedikit canggung. “Pagi, sayang. Kamu tidur nyenyak?”Wulan mengangguk, meskipun kenyataannya ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Pikirannya terus-menerus dipenuhi oleh rencana-rencana dan kekhawatiran. Namun
Pagi yang baru membawa sedikit ketenangan bagi Wulan. Meskipun kegelisahan semalam masih menyisakan jejak di hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi ujian lain untuk dirinya. Setiap langkah yang diambilnya harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Ia sadar bahwa ia tidak bisa membiarkan dirinya terbawa oleh emosi atau kehilangan kendali, terutama di hadapan keluarga Dimas.Seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Meskipun pekerjaannya ini terasa lebih seperti rutinitas tanpa makna, ia melakukannya dengan penuh perhatian. Setiap gerakan tangannya saat menyiapkan makanan adalah bentuk lain dari upayanya untuk tetap mempertahankan kedamaian di rumah ini, meskipun kedamaian itu hanyalah ilusi yang rapuh.Saat ia membawa hidangan ke meja makan, ibu mertuanya sudah duduk di kursi, dengan tatapan yang sama seperti kemarin—dingin dan menilai. Wulan menundukkan kepala sedikit, menyapa dengan sopan seperti biasanya. Ibu mertuanya hanya mengangguk