Beranda / Pernikahan / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 40: Kepedulian yang Samar

Share

Bab 40: Kepedulian yang Samar

Penulis: Le Vant
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi itu, rumah keluarga Setyo kembali dalam rutinitas biasa. Wulan, seperti biasa, bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Ia sudah terbiasa dengan keheningan yang menyelimuti rumah saat semua orang masih terlelap. Di balik aktivitas paginya yang sederhana, Wulan merasa ada sesuatu yang sedikit berbeda. Meski hari-harinya tak pernah jauh dari rutinitas, ada sebersit harapan yang muncul dalam benaknya, meski samar.

Ketika Dimas bangun dan masuk ke dapur, ia mendapati Wulan sedang sibuk menggoreng telur. Tanpa berkata banyak, ia menghampiri istrinya dan memeluknya dari belakang. Kejutan kecil ini membuat Wulan sedikit terperanjat, tetapi senyum tipis muncul di wajahnya.

"Masih ngantuk, Mas?" tanya Wulan, mencoba terdengar ringan.

Dimas mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tapi aku lebih ingin menghabiskan waktu dengan kamu pagi ini."

Pernyataan Dimas membuat Wulan merasa hangat di dalam hati. Di tengah kesibukan dan semua masalah yang ia hadapi, perhatia

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 41: Senyum di Balik Topeng

    Pagi itu, seperti biasanya, Wulan sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dalam kesunyian rumah yang masih terlelap, ia mengisi waktunya dengan aktivitas yang menenangkan. Suara pelan dari peralatan dapur menjadi latar belakang bagi pikirannya yang terus bergerak, mencoba merangkai strategi untuk menghadapi hari yang penuh dengan tantangan emosional.Saat Dimas akhirnya bangun dan masuk ke dapur, Wulan menyambutnya dengan senyum yang telah ia latih setiap hari. Senyum itu bukan sekadar ekspresi bahagia, melainkan tameng yang melindungi dirinya dari rasa sakit yang semakin lama semakin berat.Dimas menghampiri Wulan, memeluknya dari belakang seperti yang biasa ia lakukan. "Pagi, Sayang. Apa yang kita makan hari ini?" tanyanya dengan nada ceria.Wulan tersenyum lebih lebar, meski hatinya bergetar. "Aku buatkan nasi goreng kesukaan kamu, Mas. Kamu pasti suka."Dimas tersenyum sambil melepaskan pelukannya dan duduk di kursi makan. Ia tampak bersemangat, tak menyadari ketegangan

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 42: Kilauan Luka yang Tersembunyi

    Pagi itu, suasana rumah masih sama seperti sebelumnya. Wulan menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma kopi yang diseduh memenuhi ruang, menyelimuti pagi dengan kehangatan yang ironisnya, tidak pernah benar-benar dirasakannya.Ketika Dimas turun dari kamar, matanya langsung tertuju pada Wulan yang tengah mengatur meja makan. Ia menghampiri istrinya, memberikan kecupan ringan di pipi. “Pagi, Sayang. Terima kasih sudah bangun lebih awal lagi hari ini.”Wulan tersenyum, seperti biasanya. "Selamat pagi, Mas. Sarapan sudah siap."Dimas duduk di kursi, menatap Wulan dengan rasa ingin tahu yang sudah beberapa hari terakhir ini tak mampu ia abaikan. “Kamu benar-benar baik-baik saja, kan? Aku bisa melihat kamu sering termenung akhir-akhir ini.”Wulan menoleh, memandang Dimas dengan tatapan yang penuh perhatian, mencoba meyakinkan suaminya bahwa semuanya baik-baik saja. “Aku hanya sedikit lelah, Mas. Mungkin karena pekerjaan rumah yang bertumpuk. Jangan khawatir.”Dimas

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 43: Di Balik Senyum yang Terkoyak

    Pagi itu, udara terasa sedikit lebih sejuk dari biasanya. Sinar matahari yang lembut masuk melalui jendela kamar Wulan, memantulkan kilau hangat di dinding. Wulan membuka matanya perlahan, merasakan hangatnya cahaya pagi yang membangunkan tubuhnya dari kelelahan semalam. Namun, di balik ketenangan pagi itu, Wulan merasakan ada sesuatu yang berat mengganjal di hatinya.Dimas sudah bangun lebih awal. Seperti biasa, ia bersiap-siap untuk bekerja, mengenakan setelan kerjanya dengan rapi. Wulan memandang suaminya sejenak, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang terlihat damai ketika sedang sibuk menyiapkan diri. Ada rasa nyaman yang menjalar di hatinya setiap kali melihat Dimas, namun rasa itu selalu dibarengi dengan perasaan perih yang semakin dalam.“Selamat pagi, Sayang,” Dimas menyapa Wulan dengan senyuman hangat ketika melihat istrinya bangun dari tempat tidur.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahan yang ia rasakan. “Selamat pagi, Mas. Sudah siap untuk bekerja?”Di

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 44: Luka yang Tak Tampak

    Pagi berikutnya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Perasaan resah yang menemaninya semalaman masih membekas di hatinya. Meskipun ia berusaha untuk terlihat tenang di hadapan Dimas, Wulan tahu bahwa beban yang ia pikul semakin berat.Setelah memastikan bahwa Dimas berangkat kerja dengan baik, Wulan kembali tenggelam dalam rutinitasnya. Pekerjaan rumah yang tampak sederhana bagi orang lain justru menjadi pelarian baginya. Menggosok lantai, mencuci piring, dan menyapu halaman seolah-olah memberinya waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya sedang ia alami.Namun, setiap kali Wulan berhenti sejenak, pikirannya selalu kembali pada perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Meskipun mereka tidak pernah secara terang-terangan mengungkapkan kebencian mereka, Wulan bisa merasakan jarak yang semakin melebar di antara mereka. Setiap senyum palsu yang mereka berikan terasa seperti belati yang menusuk dari belakang.Sore harinya, Wulan berencana untuk pergi ke pasar. Ia butuh bah

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 45: Kilasan Masa Lalu

    Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda di pagi itu. Meski tubuhnya masih terasa lelah, ada semacam ketenangan yang menyelimuti hatinya. Keputusan yang ia buat semalam memberikan semacam kekuatan baru dalam dirinya, meski ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah.Hari itu dimulai seperti biasa, dengan rutinitas yang hampir selalu sama setiap harinya. Namun, di balik setiap langkah, Wulan mulai memikirkan bagaimana ia akan menjalankan rencananya. Rencana yang belum sepenuhnya jelas, namun sudah mulai terbentuk dalam pikirannya.Saat Wulan menyapu halaman depan rumah, pikirannya kembali melayang pada masa lalunya—masa sebelum ia menikah dengan Dimas. Kenangan tentang bagaimana ia membangun Solus Group, tentang setiap keputusan yang ia buat, setiap risiko yang ia ambil, semuanya terasa begitu jauh sekarang. Seolah-olah itu adalah kehidupan lain, kehidupan yang tidak pernah ada dalam realitas yang ia hadapi saat ini.Namun, meskipun Wulan telah menyimpan masa lalunya itu dengan rapat,

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 46: Perlahan Terkuak

    Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kecil di belakang rumah. Taman itu adalah salah satu tempat favoritnya untuk menenangkan diri, jauh dari tatapan dingin Ana atau komentar sinis dari Bu Ratna. Saat embun pagi masih menggantung di daun-daun, Wulan membiarkan dirinya merenung, memikirkan kehidupan yang telah ia pilih.Sejak pernikahannya dengan Dimas, Wulan merasakan adanya jarak yang tak kasat mata antara dirinya dan keluarga suaminya. Meskipun mereka tidak pernah secara langsung menunjukkan ketidaksukaan mereka di depan Dimas, Wulan selalu bisa merasakan ketidaknyamanan yang menggantung di udara. Di setiap interaksi, selalu ada kata-kata yang ditahan, pandangan yang tidak sepenuhnya tulus, dan senyum yang terasa dipaksakan.Ketika Dimas tidak ada, sikap mereka berubah. Ana dan Bu Ratna tidak lagi berusaha menyembunyikan rasa ketidaksukaan mereka. Namun, meski Wulan sadar akan semua ini, ia memilih untuk tetap diam. Dia yakin

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 47: Topeng Keluarga

    Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa di rumah keluarga Dimas. Setiap pagi, Wulan bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Dimas dan keluarganya, sebelum menjalani rutinitas rumah tangga yang seakan tak ada habisnya. Namun, di balik senyuman dan keheningannya, hati Wulan mulai dipenuhi rencana-rencana yang tersusun rapi.Pagi itu, Wulan sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan bersama Bu Ratna dan Ana. Seperti biasa, Dimas sudah berangkat ke kantor lebih awal. Wulan sesekali mencuri pandang ke arah mertuanya, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka. Selama beberapa waktu terakhir, ia mulai melihat celah-celah kecil dalam topeng yang dikenakan oleh Bu Ratna dan Ana. Ketidaknyamanan dan ketidaksukaan mereka terhadap Wulan semakin sulit disembunyikan, meskipun mereka masih berusaha menutupi sikap sebenarnya saat Dimas berada di rumah.Ana, yang biasanya sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba meletakkan perangkatnya di meja dan menatap Wulan. "Mbak Wulan, aku dengar dari teman-te

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 48: Strategi Tersembunyi

    Hari-hari berlalu, dan rutinitas di rumah Dimas seakan menjadi bagian dari kehidupan Wulan. Meskipun hari-harinya diwarnai oleh senyuman dan kesabaran, di dalam hati Wulan, sesuatu mulai terbentuk—sebuah rencana yang perlahan-lahan mulai mengukir jalan menuju pembebasan dan kekuatan yang ia impikan.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Setelah menyiapkan sarapan, ia memutuskan untuk menyisihkan sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Ia duduk di teras belakang, menikmati secangkir teh hangat sambil memandangi taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Momen tenang ini memberinya kesempatan untuk berpikir jernih. Di sinilah Wulan merasakan koneksi dengan alam, merasakan betapa kecilnya dia di tengah keindahan dunia, namun dengan semangat yang tak tergoyahkan untuk mengubah nasibnya.Setelah sarapan, Wulan memutuskan untuk pergi ke gym kecil yang ada di kompleks perumahan mereka. Ia ingin menjaga kebugaran tubuhnya sekaligus mencari waktu untuk merenung

Bab terbaru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 146: Tanda-Tanda yang Tak Terduga

    Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 145: Pertemuan yang Mengguncang

    Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 144: Bayang-Bayang Keraguan

    Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 143: Menggali Lebih Dalam

    Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 142: Tanda-tanda yang Mengkhawatirkan

    Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 141: Mencari Titik Terang

    Pagi berikutnya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Meskipun semalam ia tidak menemukan jawaban pasti dari Dimas, setidaknya Wulan tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Dengan tekad yang semakin bulat, Wulan memutuskan untuk melanjutkan penyelidikannya.Saat Dimas sudah berangkat kerja, Wulan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, kemudian duduk di meja makan sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia harus berhati-hati, karena Dimas bisa saja mulai curiga jika ia terlalu agresif dalam mencari tahu. Namun, Wulan juga tahu bahwa waktu tidak berpihak padanya. Jika Dimas benar-benar terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, maka Wulan harus bergerak cepat.Setelah menyelesaikan sarapan, Wulan mengambil ponselnya dan menghubungi Nina. "Nin, kita harus lebih cepat. Aku nggak bisa menunggu terlalu lama," katanya tanpa basa-basi.Nina di ujung telepon terdengar memahami kegelisahan sahabatnya. "Aku setuju.

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 140: Awal dari Sebuah Rencana

    Malam itu, Wulan tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik semua senyuman dan kehangatan yang ditunjukkan Dimas. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa suaminya masih pria yang ia cintai, tetapi di sisi lain, terlalu banyak tanda-tanda mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia benar-benar mengenal Dimas.Pagi harinya, Nina mengirim pesan singkat, memberitahu bahwa ia sudah menghubungi kenalannya yang bisa membantu mencari informasi tentang Rudi. Nina memang tidak pernah mengecewakan, selalu bisa diandalkan. Wulan merasa sedikit lega, meskipun belum tahu hasil dari pencarian tersebut. Namun, untuk saat ini, ia perlu melanjutkan harinya seperti biasa, tetap berperan sebagai istri yang baik dan ibu rumah tangga yang sempurna di mata semua orang.Saat Dimas sarapan di meja makan, Wulan berusaha menutupi kegelisahannya. Ia menyiapkan makanan seperti biasanya, menyajikan nasi goreng kesukaan Di

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 139: Menelusuri Jejak Kebenaran

    Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang tidak menentu. Meskipun Dimas tampak berusaha meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja, Wulan merasa sulit mempercayainya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya tidak bisa tenang. Wulan tahu bahwa ia harus mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin mencari tahu lebih banyak tentang aktivitas Dimas di kantor, tetapi ia tahu itu tidak bisa dilakukan secara langsung. Maka, Wulan memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari kantor Dimas. Dari sana, ia berharap bisa mengamati gerak-gerik suaminya, tanpa menarik perhatian.Wulan memilih tempat duduk yang strategis di sudut kafe, di mana ia bisa melihat keluar tanpa mudah terlihat oleh orang-orang di jalan. Ia memesan secangkir kopi dan mulai menunggu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, karena

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 138: Bayangan Kebohongan

    Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamar, memandikan ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Wulan terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang masih berat. Malam sebelumnya, setelah perbincangannya dengan ibunya, Wulan merasa sedikit lebih tenang. Namun, perasaan was-was itu tetap ada, seolah bersembunyi di sudut pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk kembali menghantuinya.Setelah memastikan Dimas sudah berangkat ke kantor, Wulan mencoba mengalihkan pikirannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, bayangan tentang masalah yang mungkin sedang dihadapi Dimas selalu kembali. Wulan tahu, sesuatu sedang terjadi—sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan.Hari itu, Wulan memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional. Biasanya, ia selalu menyukai perjalanan ke pasar, menikmati suasana riuh, aroma rempah-rempah yang kuat, dan warna-warni sayuran segar yang menggoda. Namun, kali ini, semuanya

DMCA.com Protection Status