Pagi itu, suasana rumah masih sama seperti sebelumnya. Wulan menyibukkan diri di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma kopi yang diseduh memenuhi ruang, menyelimuti pagi dengan kehangatan yang ironisnya, tidak pernah benar-benar dirasakannya.Ketika Dimas turun dari kamar, matanya langsung tertuju pada Wulan yang tengah mengatur meja makan. Ia menghampiri istrinya, memberikan kecupan ringan di pipi. “Pagi, Sayang. Terima kasih sudah bangun lebih awal lagi hari ini.”Wulan tersenyum, seperti biasanya. "Selamat pagi, Mas. Sarapan sudah siap."Dimas duduk di kursi, menatap Wulan dengan rasa ingin tahu yang sudah beberapa hari terakhir ini tak mampu ia abaikan. “Kamu benar-benar baik-baik saja, kan? Aku bisa melihat kamu sering termenung akhir-akhir ini.”Wulan menoleh, memandang Dimas dengan tatapan yang penuh perhatian, mencoba meyakinkan suaminya bahwa semuanya baik-baik saja. “Aku hanya sedikit lelah, Mas. Mungkin karena pekerjaan rumah yang bertumpuk. Jangan khawatir.”Dimas
Pagi itu, udara terasa sedikit lebih sejuk dari biasanya. Sinar matahari yang lembut masuk melalui jendela kamar Wulan, memantulkan kilau hangat di dinding. Wulan membuka matanya perlahan, merasakan hangatnya cahaya pagi yang membangunkan tubuhnya dari kelelahan semalam. Namun, di balik ketenangan pagi itu, Wulan merasakan ada sesuatu yang berat mengganjal di hatinya.Dimas sudah bangun lebih awal. Seperti biasa, ia bersiap-siap untuk bekerja, mengenakan setelan kerjanya dengan rapi. Wulan memandang suaminya sejenak, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang terlihat damai ketika sedang sibuk menyiapkan diri. Ada rasa nyaman yang menjalar di hatinya setiap kali melihat Dimas, namun rasa itu selalu dibarengi dengan perasaan perih yang semakin dalam.“Selamat pagi, Sayang,” Dimas menyapa Wulan dengan senyuman hangat ketika melihat istrinya bangun dari tempat tidur.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahan yang ia rasakan. “Selamat pagi, Mas. Sudah siap untuk bekerja?”Di
Pagi berikutnya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Perasaan resah yang menemaninya semalaman masih membekas di hatinya. Meskipun ia berusaha untuk terlihat tenang di hadapan Dimas, Wulan tahu bahwa beban yang ia pikul semakin berat.Setelah memastikan bahwa Dimas berangkat kerja dengan baik, Wulan kembali tenggelam dalam rutinitasnya. Pekerjaan rumah yang tampak sederhana bagi orang lain justru menjadi pelarian baginya. Menggosok lantai, mencuci piring, dan menyapu halaman seolah-olah memberinya waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya sedang ia alami.Namun, setiap kali Wulan berhenti sejenak, pikirannya selalu kembali pada perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Meskipun mereka tidak pernah secara terang-terangan mengungkapkan kebencian mereka, Wulan bisa merasakan jarak yang semakin melebar di antara mereka. Setiap senyum palsu yang mereka berikan terasa seperti belati yang menusuk dari belakang.Sore harinya, Wulan berencana untuk pergi ke pasar. Ia butuh bah
Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda di pagi itu. Meski tubuhnya masih terasa lelah, ada semacam ketenangan yang menyelimuti hatinya. Keputusan yang ia buat semalam memberikan semacam kekuatan baru dalam dirinya, meski ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah.Hari itu dimulai seperti biasa, dengan rutinitas yang hampir selalu sama setiap harinya. Namun, di balik setiap langkah, Wulan mulai memikirkan bagaimana ia akan menjalankan rencananya. Rencana yang belum sepenuhnya jelas, namun sudah mulai terbentuk dalam pikirannya.Saat Wulan menyapu halaman depan rumah, pikirannya kembali melayang pada masa lalunya—masa sebelum ia menikah dengan Dimas. Kenangan tentang bagaimana ia membangun Solus Group, tentang setiap keputusan yang ia buat, setiap risiko yang ia ambil, semuanya terasa begitu jauh sekarang. Seolah-olah itu adalah kehidupan lain, kehidupan yang tidak pernah ada dalam realitas yang ia hadapi saat ini.Namun, meskipun Wulan telah menyimpan masa lalunya itu dengan rapat,
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kecil di belakang rumah. Taman itu adalah salah satu tempat favoritnya untuk menenangkan diri, jauh dari tatapan dingin Ana atau komentar sinis dari Bu Ratna. Saat embun pagi masih menggantung di daun-daun, Wulan membiarkan dirinya merenung, memikirkan kehidupan yang telah ia pilih.Sejak pernikahannya dengan Dimas, Wulan merasakan adanya jarak yang tak kasat mata antara dirinya dan keluarga suaminya. Meskipun mereka tidak pernah secara langsung menunjukkan ketidaksukaan mereka di depan Dimas, Wulan selalu bisa merasakan ketidaknyamanan yang menggantung di udara. Di setiap interaksi, selalu ada kata-kata yang ditahan, pandangan yang tidak sepenuhnya tulus, dan senyum yang terasa dipaksakan.Ketika Dimas tidak ada, sikap mereka berubah. Ana dan Bu Ratna tidak lagi berusaha menyembunyikan rasa ketidaksukaan mereka. Namun, meski Wulan sadar akan semua ini, ia memilih untuk tetap diam. Dia yakin
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa di rumah keluarga Dimas. Setiap pagi, Wulan bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Dimas dan keluarganya, sebelum menjalani rutinitas rumah tangga yang seakan tak ada habisnya. Namun, di balik senyuman dan keheningannya, hati Wulan mulai dipenuhi rencana-rencana yang tersusun rapi.Pagi itu, Wulan sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan bersama Bu Ratna dan Ana. Seperti biasa, Dimas sudah berangkat ke kantor lebih awal. Wulan sesekali mencuri pandang ke arah mertuanya, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka. Selama beberapa waktu terakhir, ia mulai melihat celah-celah kecil dalam topeng yang dikenakan oleh Bu Ratna dan Ana. Ketidaknyamanan dan ketidaksukaan mereka terhadap Wulan semakin sulit disembunyikan, meskipun mereka masih berusaha menutupi sikap sebenarnya saat Dimas berada di rumah.Ana, yang biasanya sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba meletakkan perangkatnya di meja dan menatap Wulan. "Mbak Wulan, aku dengar dari teman-te
Hari-hari berlalu, dan rutinitas di rumah Dimas seakan menjadi bagian dari kehidupan Wulan. Meskipun hari-harinya diwarnai oleh senyuman dan kesabaran, di dalam hati Wulan, sesuatu mulai terbentuk—sebuah rencana yang perlahan-lahan mulai mengukir jalan menuju pembebasan dan kekuatan yang ia impikan.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Setelah menyiapkan sarapan, ia memutuskan untuk menyisihkan sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Ia duduk di teras belakang, menikmati secangkir teh hangat sambil memandangi taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Momen tenang ini memberinya kesempatan untuk berpikir jernih. Di sinilah Wulan merasakan koneksi dengan alam, merasakan betapa kecilnya dia di tengah keindahan dunia, namun dengan semangat yang tak tergoyahkan untuk mengubah nasibnya.Setelah sarapan, Wulan memutuskan untuk pergi ke gym kecil yang ada di kompleks perumahan mereka. Ia ingin menjaga kebugaran tubuhnya sekaligus mencari waktu untuk merenung
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa berhasil karena mulai bisa mendekati Ana dan mengorek sedikit informasi darinya. Namun, di sisi lain, ia juga sadar bahwa apa yang sedang dilakukannya penuh risiko. Ia tidak boleh terbawa suasana atau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Keluarga Dimas, meskipun tampak bersikap baik di permukaan, mungkin memiliki rencana tersembunyi yang lebih dalam.Hari itu, Dimas pulang lebih awal dari biasanya. Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat, seperti biasa. Namun, ia bisa merasakan bahwa Dimas sedang membawa beban pikiran. Sesuatu telah terjadi di tempat kerjanya, dan Wulan merasa perlu menanyakannya."Mas, kamu pulang lebih awal hari ini. Ada apa?" tanyanya lembut, sambil menyajikan teh untuk Dimas.Dimas mengambil cangkir teh dari tangan Wulan dan duduk di sofa, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Iya, ada masalah kecil di kantor. Tidak terlalu serius, tapi cukup meng