Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda di pagi itu. Meski tubuhnya masih terasa lelah, ada semacam ketenangan yang menyelimuti hatinya. Keputusan yang ia buat semalam memberikan semacam kekuatan baru dalam dirinya, meski ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah.Hari itu dimulai seperti biasa, dengan rutinitas yang hampir selalu sama setiap harinya. Namun, di balik setiap langkah, Wulan mulai memikirkan bagaimana ia akan menjalankan rencananya. Rencana yang belum sepenuhnya jelas, namun sudah mulai terbentuk dalam pikirannya.Saat Wulan menyapu halaman depan rumah, pikirannya kembali melayang pada masa lalunya—masa sebelum ia menikah dengan Dimas. Kenangan tentang bagaimana ia membangun Solus Group, tentang setiap keputusan yang ia buat, setiap risiko yang ia ambil, semuanya terasa begitu jauh sekarang. Seolah-olah itu adalah kehidupan lain, kehidupan yang tidak pernah ada dalam realitas yang ia hadapi saat ini.Namun, meskipun Wulan telah menyimpan masa lalunya itu dengan rapat,
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kecil di belakang rumah. Taman itu adalah salah satu tempat favoritnya untuk menenangkan diri, jauh dari tatapan dingin Ana atau komentar sinis dari Bu Ratna. Saat embun pagi masih menggantung di daun-daun, Wulan membiarkan dirinya merenung, memikirkan kehidupan yang telah ia pilih.Sejak pernikahannya dengan Dimas, Wulan merasakan adanya jarak yang tak kasat mata antara dirinya dan keluarga suaminya. Meskipun mereka tidak pernah secara langsung menunjukkan ketidaksukaan mereka di depan Dimas, Wulan selalu bisa merasakan ketidaknyamanan yang menggantung di udara. Di setiap interaksi, selalu ada kata-kata yang ditahan, pandangan yang tidak sepenuhnya tulus, dan senyum yang terasa dipaksakan.Ketika Dimas tidak ada, sikap mereka berubah. Ana dan Bu Ratna tidak lagi berusaha menyembunyikan rasa ketidaksukaan mereka. Namun, meski Wulan sadar akan semua ini, ia memilih untuk tetap diam. Dia yakin
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa di rumah keluarga Dimas. Setiap pagi, Wulan bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Dimas dan keluarganya, sebelum menjalani rutinitas rumah tangga yang seakan tak ada habisnya. Namun, di balik senyuman dan keheningannya, hati Wulan mulai dipenuhi rencana-rencana yang tersusun rapi.Pagi itu, Wulan sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan bersama Bu Ratna dan Ana. Seperti biasa, Dimas sudah berangkat ke kantor lebih awal. Wulan sesekali mencuri pandang ke arah mertuanya, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka. Selama beberapa waktu terakhir, ia mulai melihat celah-celah kecil dalam topeng yang dikenakan oleh Bu Ratna dan Ana. Ketidaknyamanan dan ketidaksukaan mereka terhadap Wulan semakin sulit disembunyikan, meskipun mereka masih berusaha menutupi sikap sebenarnya saat Dimas berada di rumah.Ana, yang biasanya sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba meletakkan perangkatnya di meja dan menatap Wulan. "Mbak Wulan, aku dengar dari teman-te
Hari-hari berlalu, dan rutinitas di rumah Dimas seakan menjadi bagian dari kehidupan Wulan. Meskipun hari-harinya diwarnai oleh senyuman dan kesabaran, di dalam hati Wulan, sesuatu mulai terbentuk—sebuah rencana yang perlahan-lahan mulai mengukir jalan menuju pembebasan dan kekuatan yang ia impikan.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Setelah menyiapkan sarapan, ia memutuskan untuk menyisihkan sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Ia duduk di teras belakang, menikmati secangkir teh hangat sambil memandangi taman yang penuh dengan bunga berwarna-warni. Momen tenang ini memberinya kesempatan untuk berpikir jernih. Di sinilah Wulan merasakan koneksi dengan alam, merasakan betapa kecilnya dia di tengah keindahan dunia, namun dengan semangat yang tak tergoyahkan untuk mengubah nasibnya.Setelah sarapan, Wulan memutuskan untuk pergi ke gym kecil yang ada di kompleks perumahan mereka. Ia ingin menjaga kebugaran tubuhnya sekaligus mencari waktu untuk merenung
Keesokan harinya, Wulan terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa berhasil karena mulai bisa mendekati Ana dan mengorek sedikit informasi darinya. Namun, di sisi lain, ia juga sadar bahwa apa yang sedang dilakukannya penuh risiko. Ia tidak boleh terbawa suasana atau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Keluarga Dimas, meskipun tampak bersikap baik di permukaan, mungkin memiliki rencana tersembunyi yang lebih dalam.Hari itu, Dimas pulang lebih awal dari biasanya. Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat, seperti biasa. Namun, ia bisa merasakan bahwa Dimas sedang membawa beban pikiran. Sesuatu telah terjadi di tempat kerjanya, dan Wulan merasa perlu menanyakannya."Mas, kamu pulang lebih awal hari ini. Ada apa?" tanyanya lembut, sambil menyajikan teh untuk Dimas.Dimas mengambil cangkir teh dari tangan Wulan dan duduk di sofa, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Iya, ada masalah kecil di kantor. Tidak terlalu serius, tapi cukup meng
Pagi itu, Wulan terbangun dengan semangat baru. Rencananya sudah mulai berjalan, dan ia merasa lebih siap daripada sebelumnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Dimas telah berangkat ke kantor lebih awal, seperti biasa, dan Wulan memanfaatkan waktu sendirian di rumah untuk mengatur langkah selanjutnya.Ana masih berada di kamar ketika Wulan selesai sarapan. Ia tahu bahwa adik iparnya itu mungkin tidak akan bangun hingga siang hari, memberikan Wulan waktu yang cukup untuk fokus pada urusannya sendiri. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang mengawasi, Wulan menuju ruang kerjanya dan membuka laptop.Pesan dari Pak Andri telah diterima semalam. Isi pesannya sederhana namun penuh makna: "Tentu, Bu Wulan. Saya akan atur pertemuan minggu depan. Terima kasih atas inisiatifnya."Wulan tersenyum tipis. Pertemuan ini akan menjadi langkah penting untuk memastikan proyek Dimas berjalan sesuai rencananya. Wulan tidak hanya akan membantu Dimas, tetapi juga memastikan bahwa
Pagi yang baru tiba dengan suasana yang tenang di rumah keluarga Dimas. Namun, ketenangan ini hanya permukaan tipis yang menutupi kegelisahan yang semakin mengakar di dalam diri Wulan. Semakin hari, rencananya berjalan dengan baik, namun rasa bersalah dan keraguan terus menghantui pikirannya. Ia mulai mempertanyakan apakah rencana balas dendam ini benar-benar sepadan dengan harga yang harus dibayar—pernikahan dan kebahagiaan yang dulu mereka nikmati.Setelah mengantar Dimas berangkat kerja, Wulan menghela napas panjang dan duduk di meja makan. Kepalanya terasa berat dengan segala pikiran yang berputar di dalamnya. Tapi ia harus tetap fokus, terutama saat ini, ketika permainan mulai memasuki tahap yang lebih serius.Ana berjalan masuk ke ruang makan dengan langkah yang pelan, tampaknya masih terbebani oleh firasat buruk yang sudah beberapa hari ini menghantuinya. "Mbak Wulan, aku merasa ada yang perlu kita bicarakan," katanya dengan suara yang sedikit gemetar.
Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi rasa berat di hati Wulan tidak berkurang sedikit pun. Semakin dalam rencana ini berjalan, semakin Wulan merasakan bahwa kehidupannya mulai terjerat dalam jaring yang ia buat sendiri. Ia harus terus bermain dalam peran yang ia pilih—menjadi istri yang setia di hadapan Dimas, namun menjadi mastermind di balik kehancurannya di belakang layar.Di meja makan pagi itu, suasana terasa canggung. Ana dan Ibunya, meskipun masih menunjukkan sikap sopan di depan Dimas, semakin sering menunjukkan sikap dingin saat Dimas tidak ada. Wulan merasakan ketegangan yang kian memuncak. Senyum yang dipaksakan di bibir Ana kini tidak lagi mampu menyembunyikan rasa tidak sukanya."Sarapan hari ini enak sekali, Mbak," kata Ana dengan nada yang terdengar manis, tetapi Wulan bisa merasakan adanya nada sinis di balik pujian itu. "Kamu memang selalu bisa membuat makanan enak."Wulan membalas dengan senyum lembut. "Terima kasih, Ana. Aku senang kamu suka."Meskipun percakapan