Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan, namun ketegangan di dalam diri Wulan semakin memuncak. Keluarga Dimas terus memainkan peran mereka dengan sangat halus. Di depan Dimas, mereka bersikap manis, seakan tidak ada masalah sama sekali, tapi ketika Dimas pergi bekerja, atmosfer rumah berubah dingin dan menusuk. Setiap gerakan Wulan seolah diawasi, dan setiap kesalahan kecil yang ia lakukan, meskipun tak kentara, selalu disinggung dengan sindiran yang halus namun tajam.Pagi itu, seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Bu Ratna muncul di dapur, kali ini tanpa Ana yang biasanya ikut menyudutkannya. Bu Ratna menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan gaun berwarna krem yang elegan, memancarkan aura seorang perempuan yang selalu ingin tampil sempurna."Kopi pagi ini agak hambar, Wulan. Coba tambahkan sedikit gula, lain kali jangan terburu-buru saat menyajikan sesuatu," katanya dengan suara yang tak terlalu tinggi, tapi menyiratkan kekecewaan.Wulan hanya m
Pagi berikutnya datang dengan perlahan, membawa cahaya matahari yang hangat menerangi rumah keluarga Setyo. Wulan bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan sebelum Dimas berangkat kerja. Ia berdiri di depan meja dapur, tangan sibuk mengolah bahan-bahan masakan, namun pikirannya jauh melayang. Semalam, setelah refleksi mendalam di depan cermin, Wulan menyadari bahwa ada sebuah kekuatan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Kini, kekuatan itu mulai bangkit, meski ia belum tahu bagaimana harus menggunakannya.Dimas datang dari belakang, memberikan pelukan hangat yang terasa nyaman, seperti biasa. “Pagi, sayang. Bau masakanmu selalu membuatku ingin tinggal lebih lama di rumah,” katanya sambil tersenyum.Wulan tersenyum balik, meski hati kecilnya sedikit perih. Ada banyak hal yang Dimas tidak tahu, dan ia juga tidak yakin kapan atau bagaimana akan mengungkapkan semuanya. “Aku senang kamu suka,” jawabnya lembut, berusaha menutupi rasa bimbang di hatinya.Dimas duduk di meja makan,
Pagi hari di rumah keluarga Setyo masih berjalan seperti biasa. Rutinitas yang Wulan jalani setiap hari semakin terasa menyesakkan, tetapi ia tetap menjalani semuanya tanpa keluhan. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia harus kuat, setidaknya sampai ia menemukan waktu yang tepat untuk bertindak. Kekuatan dalam dirinya semakin menguat setiap kali ia bertahan dari sikap dingin keluarga Dimas, yang tampak semakin hari semakin nyata, meskipun mereka masih menyembunyikannya di hadapan Dimas.Di meja makan, Dimas duduk sambil menikmati sarapan yang sudah disiapkan Wulan. Ia terlihat begitu santai, tanpa menyadari betapa tegangnya hubungan antara Wulan dan keluarganya. Dimas tersenyum hangat kepada istrinya, mengucapkan terima kasih atas sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh perhatian."Aku benar-benar beruntung punya istri sebaik kamu, Wulan," ujar Dimas sembari menggenggam tangan Wulan.Wulan tersenyum tipis, menyembunyikan kegetiran yang mulai menumpuk dalam hatin
Malam itu, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Dimas belum pulang, dan Bu Ratna serta Ana sudah mengunci diri di kamar masing-masing. Wulan duduk di ruang tamu, menatap ke arah pintu dengan harapan samar bahwa Dimas akan segera pulang. Namun, malam semakin larut, dan hanya kesunyian yang terus menemani Wulan.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang semakin penuh dengan beban yang tak pernah ia bagikan kepada siapa pun. Tangannya yang halus perlahan mengusap permukaan meja di hadapannya, seolah mencari kenyamanan dari sentuhan benda mati itu. Meski di hadapan Dimas ia selalu terlihat kuat, kenyataannya malam-malam seperti ini menjadi saat-saat di mana ia merasa paling rapuh.Suara jarum jam yang berdetak pelan semakin mempertegas kesunyian di ruangan itu. Sesekali Wulan melirik telepon genggamnya, berharap ada pesan atau kabar dari Dimas. Tetapi layar tetap sunyi, tanpa ada tanda-tanda kehidupan dari suaminya. Satu jam, dua jam berlalu, dan Wulan a
Malam itu, Wulan tidak bisa tidur. Rasa letih yang seharusnya memaksanya terlelap justru membuat pikirannya berputar, mengingat kembali percakapan singkat dengan Ana di siang hari dan tatapan tajam Bu Ratna yang terus menghantuinya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang hidup Wulan yang sebenarnya. Bahkan Dimas pun tidak tahu, karena Wulan dengan sengaja menutup semua itu rapat-rapat.Dia menatap langit-langit kamar, seolah-olah mencari jawaban di balik kegelapan. Bisikan di dalam dirinya semakin kuat—bahwa waktu untuk bertahan telah melewati batasnya. Namun, Wulan masih belum siap. Ada sesuatu yang menahannya, seolah ia harus menunggu sampai semua bagian rencananya tersusun dengan sempurna. Hingga saat itu tiba, ia harus terus bermain peran sebagai istri yang baik, meski hatinya semakin terkikis oleh perlakuan dingin dari keluarga Dimas.Dimas di sampingnya, meski tertidur lelap, tampak tenang dan damai. Pria itu masih tidak tahu apa yang terjadi di belakangnya—tentang semua kebohongan y
Pagi yang baru hadir dengan perlahan, menyinari rumah besar yang sunyi. Wulan menatap jendela, menunggu mentari yang masih malu-malu muncul di balik awan. Pagi ini seperti pagi-pagi lainnya, penuh kesunyian yang ia hadapi seorang diri. Dimas sudah berangkat lebih awal dari biasanya, meninggalkan Wulan dengan keheningan yang semakin akrab.Pikirannya mengembara pada percakapan semalam. Dimas memang selalu menjanjikan akan meluangkan waktu lebih banyak untuk mereka, tetapi janji itu sering kali hanya tinggal janji. Wulan tak lagi mengharapkan apa pun dari janji tersebut. Kini, ia lebih fokus pada dirinya sendiri, pada kekuatan yang diam-diam ia bangun dari dalam.Saat sarapan, Ana datang terlambat seperti biasa. Tatapan merendahkan yang dipakainya sudah menjadi bagian dari rutinitas yang tak terucap, namun selalu terasa menyengat bagi Wulan. Hari ini Ana terlihat lebih malas dari biasanya, dengan rambut acak-acakan dan raut wajah yang tak peduli."Kak Wulan, kenapa sih kamu selalu bangu
Pagi yang cerah mulai menghilang saat Wulan melangkah keluar dari dapur, membawa cangkir teh hangat ke taman belakang. Hatinya terasa sesak dengan berbagai pikiran yang terus berputar. Ada keinginan kuat untuk membicarakan semuanya dengan Dimas—tentang perlakuan dingin keluarga, tentang rasa sakit yang ia pendam. Tapi setiap kali pikiran itu muncul, ia kembali mengingat betapa Dimas selalu tampak tenang dan tidak menyadari apa pun.Ia tak ingin menjadi beban bagi suaminya. Setidaknya itulah alasan yang terus ia katakan pada dirinya sendiri. Namun, di balik semua itu, ada ketakutan. Ketakutan bahwa kebenaran tidak akan membuat apa pun lebih baik, malah justru bisa menghancurkan segalanya.Wulan duduk di bangku taman, memandangi bunga-bunga yang ia tanam sendiri sejak pertama kali pindah ke rumah ini. Ada ketenangan yang ia temukan di taman ini, meski hanya sejenak. Setiap kelopak bunga yang mekar terasa seperti secercah harapan kecil di tengah lautan kegelapan yang melingkupi hidupnya.
Pagi menjelang, matahari baru saja muncul di balik jendela rumah itu. Suara burung berkicau seolah tak menyadari badai yang mulai menggelayut di hati Wulan. Di dapur, ia dengan cekatan mempersiapkan sarapan untuk keluarganya—kebiasaan rutin yang tak pernah ia abaikan, meski hatinya kini telah berubah.Dengan gerakan yang tenang dan anggun, ia meletakkan piring-piring berisi nasi, sayur, dan lauk di atas meja makan. Wajahnya tetap seperti biasa, penuh ketenangan. Tak ada tanda-tanda kegelisahan yang semalam memenuhi pikirannya. Bagi siapa pun yang melihatnya saat ini, Wulan adalah istri yang sempurna, ibu rumah tangga yang penuh kasih.Dimas, yang masih tampak mengantuk, berjalan ke ruang makan dengan senyum lelah. "Pagi, Sayang. Masak apa hari ini?" tanyanya sembari mencium lembut pipi Wulan.Wulan menoleh dan membalas senyumnya, meski hatinya terasa dingin. "Masak yang biasa, Mas. Sarapan dulu, ya, biar semangat kerja."Ia menatap Dimas yang duduk di meja makan. Selama ini, ia mencin