Pagi itu, Wulan berdiri di depan jendela kamarnya, membiarkan sinar matahari menembus tirai tipis yang menutupi kaca. Angin pagi menyapu wajahnya dengan lembut, membawa aroma segar dari taman belakang. Meski suasana terlihat damai, hatinya tetap bergejolak dengan seribu satu pikiran.Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Dimas pergi kerja lebih awal, meninggalkan Wulan sendirian bersama Bu Ratna dan Ana. Seperti biasa, wajah mereka berubah dari senyum yang hangat saat Dimas ada, menjadi dingin dan tajam begitu Dimas tidak lagi berada di rumah. Rasanya, rumah ini bukanlah tempat yang bisa ia sebut sebagai "rumah."“Wulan, kamu sedang apa di situ?” suara dingin Bu Ratna terdengar dari belakang, memotong keheningan pagi yang masih sejuk.Wulan menoleh, melihat ibu mertuanya berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangan di depan dada. Ana berdiri di belakangnya, wajahnya yang selalu penuh senyuman kini dipenuhi dengan sinis.“Tidak, Bu. Saya hanya melihat taman,” jawab Wulan pelan,
Malam itu berlalu dengan perlahan, seolah-olah waktu ingin memperpanjang setiap detik yang Wulan habiskan dalam kesunyian. Setelah memastikan Dimas tertidur pulas, ia berbaring di sebelahnya, namun matanya tak kunjung terpejam. Hatinya dipenuhi dengan perasaan campur aduk—antara cinta, kecewa, dan kesedihan yang tak berujung.Wulan menarik napas dalam-dalam, merasakan desakan air mata yang mendesak keluar. Namun, seperti biasa, ia memilih untuk menahannya. Air mata tidak akan mengubah apapun. Selama ini, ia selalu memilih untuk kuat di hadapan Dimas. Ia tak ingin memperlihatkan kelemahannya, terutama saat suaminya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di belakangnya.Perlahan, Wulan bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Dimas. Di ruang tamu yang gelap, ia duduk di sofa dan membiarkan pikirannya mengalir bebas. Pikirannya kembali berputar pada kata-kata Ana siang tadi—kata-kata yang menyakitkan namun
Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Pagi selalu dimulai dengan senyuman dari Dimas, sementara siang hingga sore dipenuhi oleh tugas-tugas rumah tangga yang tak ada habisnya dan tatapan dingin dari Bu Ratna serta Ana. Bagi Wulan, ini adalah rutinitas yang melelahkan secara fisik dan batin. Namun, di balik semua itu, ia terus bertahan, terus melangkah dengan tenang meski hatinya kerap terluka.Suatu pagi, Wulan sedang merapikan ruang tamu ketika Ana menghampirinya. Adik iparnya itu tampak begitu cantik dengan pakaian rapi dan gaya rambut sempurna. Ana selalu menjaga penampilannya, bahkan saat berada di rumah. Itu membuat Wulan merasa seolah-olah dirinya selalu terlihat kusam di sebelah Ana yang begitu sempurna.“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Kak Wulan,” kata Ana dengan nada yang manis namun berlapis dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang Wulan sudah terbiasa rasakan, tapi tidak pernah benar-benar ia hadapi secara terbuka.Wulan menatap Ana sejenak, la
Pagi itu, udara di luar terasa sejuk, tapi suasana di dalam rumah keluarga Setyo jauh dari kata tenang. Wulan bangun lebih awal, seperti biasa, memulai rutinitas paginya dengan menyiapkan sarapan. Dimas masih tertidur, lelah setelah bekerja hingga larut malam. Wulan menyukai momen-momen pagi seperti ini, saat dunia belum sepenuhnya terjaga, dan ia bisa mengatur napasnya dengan tenang tanpa merasakan tekanan dari Bu Ratna atau Ana.Namun, pagi itu terasa berbeda. Ada perasaan ganjil yang menggantung di udara, sesuatu yang tak bisa Wulan jelaskan. Ia melihat jam dinding, memastikan bahwa semuanya berjalan tepat waktu, tapi di dalam hatinya, kegelisahan mulai merayap perlahan.Sementara Wulan sibuk di dapur, Ana terbangun lebih awal dari biasanya. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan pelan ke ruang tamu. Tatapannya tajam saat ia melirik ke arah dapur, tempat Wulan terlihat sedang sibuk dengan persiapannya. Ana melipat tangan di dada dan mengerutkan dahi, seolah memikirkan sesuatu yang ti
Pagi hari berikutnya terasa berat bagi Wulan. Matanya masih terasa perih setelah semalaman terjaga. Meskipun ia tak menangis, hatinya seakan tercekik oleh rasa sakit yang tak terungkapkan. Dalam diamnya, Wulan selalu berusaha menguatkan diri, tapi hari ini, ada perasaan yang berbeda—lebih lelah, lebih patah.Di sisi lain, Dimas masih seperti biasa. Ia memulai harinya dengan sikap ceria dan perhatian. Pagi ini, ia tampak lebih santai, mungkin karena tak ada rapat pagi seperti biasanya. Wulan menyiapkan sarapan seperti biasa, dan Dimas menemaninya di dapur, mengobrol ringan sambil sesekali mencuri pandang ke arah istrinya."Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Dimas lembut, menyadari keheningan Wulan yang lebih dari biasanya.Wulan mengangguk dan tersenyum kecil, menyembunyikan segala resah yang berkecamuk di dalam dirinya. "Aku baik-baik saja, Mas. Hanya sedikit lelah."Dimas menggenggam tangan Wulan, mengelusnya lembut. "Jangan terlalu memaksakan diri. Kamu sudah melakukan banyak hal d
Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan, namun ketegangan di dalam diri Wulan semakin memuncak. Keluarga Dimas terus memainkan peran mereka dengan sangat halus. Di depan Dimas, mereka bersikap manis, seakan tidak ada masalah sama sekali, tapi ketika Dimas pergi bekerja, atmosfer rumah berubah dingin dan menusuk. Setiap gerakan Wulan seolah diawasi, dan setiap kesalahan kecil yang ia lakukan, meskipun tak kentara, selalu disinggung dengan sindiran yang halus namun tajam.Pagi itu, seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Bu Ratna muncul di dapur, kali ini tanpa Ana yang biasanya ikut menyudutkannya. Bu Ratna menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan gaun berwarna krem yang elegan, memancarkan aura seorang perempuan yang selalu ingin tampil sempurna."Kopi pagi ini agak hambar, Wulan. Coba tambahkan sedikit gula, lain kali jangan terburu-buru saat menyajikan sesuatu," katanya dengan suara yang tak terlalu tinggi, tapi menyiratkan kekecewaan.Wulan hanya m
Pagi berikutnya datang dengan perlahan, membawa cahaya matahari yang hangat menerangi rumah keluarga Setyo. Wulan bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan sebelum Dimas berangkat kerja. Ia berdiri di depan meja dapur, tangan sibuk mengolah bahan-bahan masakan, namun pikirannya jauh melayang. Semalam, setelah refleksi mendalam di depan cermin, Wulan menyadari bahwa ada sebuah kekuatan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Kini, kekuatan itu mulai bangkit, meski ia belum tahu bagaimana harus menggunakannya.Dimas datang dari belakang, memberikan pelukan hangat yang terasa nyaman, seperti biasa. “Pagi, sayang. Bau masakanmu selalu membuatku ingin tinggal lebih lama di rumah,” katanya sambil tersenyum.Wulan tersenyum balik, meski hati kecilnya sedikit perih. Ada banyak hal yang Dimas tidak tahu, dan ia juga tidak yakin kapan atau bagaimana akan mengungkapkan semuanya. “Aku senang kamu suka,” jawabnya lembut, berusaha menutupi rasa bimbang di hatinya.Dimas duduk di meja makan,
Pagi hari di rumah keluarga Setyo masih berjalan seperti biasa. Rutinitas yang Wulan jalani setiap hari semakin terasa menyesakkan, tetapi ia tetap menjalani semuanya tanpa keluhan. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia harus kuat, setidaknya sampai ia menemukan waktu yang tepat untuk bertindak. Kekuatan dalam dirinya semakin menguat setiap kali ia bertahan dari sikap dingin keluarga Dimas, yang tampak semakin hari semakin nyata, meskipun mereka masih menyembunyikannya di hadapan Dimas.Di meja makan, Dimas duduk sambil menikmati sarapan yang sudah disiapkan Wulan. Ia terlihat begitu santai, tanpa menyadari betapa tegangnya hubungan antara Wulan dan keluarganya. Dimas tersenyum hangat kepada istrinya, mengucapkan terima kasih atas sarapan lezat yang disiapkan dengan penuh perhatian."Aku benar-benar beruntung punya istri sebaik kamu, Wulan," ujar Dimas sembari menggenggam tangan Wulan.Wulan tersenyum tipis, menyembunyikan kegetiran yang mulai menumpuk dalam hatin