Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.
Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi.
"Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.
Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma kurang tidur.”
Dimas mengangguk, tapi ada kerutan kecil di dahinya. Wulan tahu, suaminya memang perhatian, tapi ia juga tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi di belakang punggungnya. Dimas selalu percaya bahwa keluarganya memperlakukan Wulan dengan baik, seperti yang mereka tunjukkan di hadapannya. Dan Wulan, tak pernah punya keberanian untuk merusak ilusi itu.
“Aku pulang agak malam hari ini, ada pertemuan di kantor,” kata Dimas setelah menyelesaikan sarapannya.
“Baik, Mas. Aku tunggu di rumah,” jawab Wulan sambil tersenyum, meskipun dalam hatinya ia tahu, malam itu akan menjadi malam panjang lagi, dengan dirinya yang sendirian menanggung beban di rumah.
Setelah Dimas pergi bekerja, suasana rumah berubah drastis. Seperti biasanya, begitu mobil Dimas meninggalkan halaman, ibu mertuanya muncul dari kamarnya, mengenakan baju kebaya dengan anggun, namun tatapannya dingin.
“Wulan, hari ini kamu perlu belanja ke pasar. Ada beberapa kebutuhan yang belum terpenuhi untuk acara arisan nanti malam,” katanya tanpa basa-basi.
Wulan hanya mengangguk patuh, meski dalam hati ia tahu bahwa tugas-tugas ini terus saja ditumpukkan padanya. Tidak ada yang peduli dengan lelah atau perasaannya. Bahkan Ana yang duduk santai di ruang tamu dengan ponselnya pun tampak tak acuh. Ia tidak pernah ambil bagian dalam pekerjaan rumah, seolah semua ini adalah kewajiban Wulan seorang.
"Jangan lupa juga, persiapan makanan harus sempurna. Kamu tahu kan, bagaimana tamu-tamu keluarga kita suka mengomentari hal-hal kecil. Aku tidak mau kita jadi bahan gosip hanya karena persiapan yang tidak sempurna," lanjut ibu mertuanya lagi.
"Ya, Bu. Saya akan pastikan semuanya rapi," jawab Wulan lembut, meski hatinya semakin menjerit.
Siang itu, setelah Wulan kembali dari pasar, ia mulai sibuk di dapur, mempersiapkan semua kebutuhan untuk arisan malam nanti. Dapur penuh dengan aroma masakan yang menggugah selera, dan suara panci serta peralatan dapur beradu. Namun, dalam kesibukannya, Wulan merasa ada kekosongan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Setiap gerakan tangannya seperti dilakukan dengan autopilot, tanpa emosi yang nyata.
Sore menjelang, dan Wulan mulai merapikan meja makan serta ruang tamu untuk menyambut tamu arisan keluarga. Sementara itu, ibu mertua dan Ana sudah sibuk berdandan, mempersiapkan diri untuk tampil sempurna di hadapan para tamu. Tidak ada satu pun dari mereka yang menawarkan bantuan kepada Wulan. Seperti biasa, ia dibiarkan bekerja sendiri, menjalankan tugas-tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.
Namun, yang membuat hati Wulan semakin pedih bukan hanya ketidakpedulian mereka, tetapi juga kenyataan bahwa semua kerja kerasnya tak pernah diakui. Setiap kali tamu datang, ibu mertuanya selalu mendapatkan pujian atas kesempurnaan acara, tanpa sedikit pun menyebutkan peran Wulan di dalamnya. Ia hanya menjadi bayangan di balik layar, sosok yang bekerja keras namun tidak pernah terlihat.
Ketika malam tiba dan tamu-tamu mulai berdatangan, Wulan berdiri di sudut ruangan, memandang dari kejauhan. Ibu mertuanya menyapa para tamu dengan senyum yang tampak tulus, memperkenalkan hidangan dan persiapan rumah dengan bangga, seolah semua itu hasil kerjanya. Ana juga ikut larut dalam percakapan dengan tamu-tamu, tampil anggun dan ramah.
Wulan, di sisi lain, hanya melayani tamu-tamu dengan penuh kesopanan, memastikan makanan dan minuman selalu tersaji tanpa cela. Hatinya sudah terlalu sering merasakan luka ini, hingga rasa sakit itu mulai menumpulkan perasaannya. Ia hanya menjalani semuanya seperti tugas yang harus diselesaikan, tanpa harapan apapun.
Namun, di tengah arisan yang berlangsung, sebuah percakapan antara dua tamu menarik perhatian Wulan. Mereka duduk tidak jauh dari tempat Wulan berdiri, dan tanpa sengaja, ia mendengar salah satu dari mereka menyebut nama Solus Group.
"Ya ampun, aku dengar Solus Group lagi dapat kontrak besar di luar negeri. Mereka benar-benar perusahaan yang berkembang pesat," kata salah satu tamu sambil menyeruput tehnya.
“Benar, aku juga dengar. Kabarnya pemiliknya sangat misterius, tidak ada yang tahu siapa dia. Tapi siapapun dia, orang itu pasti luar biasa,” sahut tamu lainnya.
Wulan terdiam sejenak, mendengar percakapan itu dengan hati yang berdebar. Nama Solus Group selalu menjadi topik yang menarik perhatian, namun jarang ada yang tahu bahwa pemiliknya adalah Wulan sendiri. Ia memang sengaja menyembunyikan identitasnya dari publik, bahkan dari keluarga suaminya. Baginya, menjadi istri dan ibu rumah tangga biasa adalah cara untuk menjalani hidup yang sederhana, meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu kekuatan sebenarnya yang ia miliki.
Namun, mendengar orang-orang memuji perusahaannya, Wulan merasa sedikit lega. Setidaknya, di luar rumah ini, ia masih memiliki kendali atas sesuatu yang besar. Di balik sosoknya yang tampak lemah dan tak berdaya, Wulan menyimpan kekuatan yang luar biasa—sesuatu yang mungkin bisa ia gunakan suatu saat nanti.
Setelah tamu-tamu pulang, rumah kembali sunyi. Ibu mertuanya kembali ke kamarnya, puas dengan acara yang berjalan lancar. Ana menghilang ke kamarnya tanpa sepatah kata pun kepada Wulan, meninggalkan sisa-sisa kekacauan arisan di ruang tamu. Wulan hanya bisa menghela napas, merasa lelah bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.
Saat ia membereskan piring-piring kotor, pikirannya kembali melayang ke percakapan yang ia dengar tadi. Solus Group. Perusahaannya. Sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari dunia luar, dari Dimas, bahkan dari dirinya sendiri. Apakah saatnya ia mengungkapkan segalanya? Atau apakah ia harus terus menyembunyikan kebenaran itu hingga tiba saat yang tepat?
Wulan memandang ke arah cermin di ruang tamu, melihat bayangan dirinya yang tampak letih dan lelah. Namun, di balik tatapan kosong itu, ada sesuatu yang lain—sebuah tekad yang perlahan tumbuh, sebuah rencana yang mulai terbentuk. Mungkin, saatnya belum tiba. Tapi suatu hari nanti, Wulan akan menunjukkan pada dunia siapa dirinya sebenarnya.
Dan ketika saat itu tiba, Dimas dan keluarganya akan menyesal telah meremehkan dirinya.
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi."Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus,
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.Wula
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Rina berlalu dengan cepat. Wulan mulai terlibat lebih intens dalam proyek-proyek Solus Group, meski tetap menjaga rutinitas rumah tangganya dengan cermat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan siap untuk Dimas sebelum berangkat kerja, dan ketika Dimas pulang, Wulan selalu ada di rumah, menyiapkan makan malam dengan rapi.Namun, di balik semua itu, Wulan mulai merasakan tekanan yang lebih besar dari keluarga Dimas, terutama dari ibu mertuanya, Bu Ratna, dan Ana. Keduanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin dan menyindir Wulan di saat Dimas tidak berada di rumah. Meski perlakuan mereka belum sepenuhnya kasar, Wulan bisa merasakan ketidaksukaan yang semakin jelas dari hari ke hari.Suatu sore, ketika Wulan sedang memotong sayuran di dapur, Ana masuk dengan wajah cemberut. Gadis itu langsung mengambil segelas air tanpa menyapa Wulan sama sekali. Sikap dingin itu sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini Ana tampak lebih kesal daripada biasanya."Kak W
Waktu terus berjalan, dan Wulan mulai terbiasa dengan perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Setiap hari seperti permainan di mana ia harus menjaga ketenangannya, memainkan peran sebagai menantu dan istri yang baik di depan keluarga Dimas. Ia masih setia menyembunyikan perasaannya, menutup rapat-rapat rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah kekuatan yang pelan-pelan terbangun dari dalam dirinya.Hari itu, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan bersama Bu Ratna. Ana sudah pergi lebih awal untuk bertemu teman-temannya, meninggalkan Wulan dan ibu mertuanya dalam keheningan yang tak nyaman. Seperti biasa, Bu Ratna memulai percakapan dengan nada yang dingin namun penuh dengan sindiran halus."Wulan, sudah berapa lama kamu menikah dengan Dimas?" tanya Bu Ratna sambil menyeruput teh hijau di cangkirnya."Tiga tahun, Bu," jawab Wulan dengan tenang. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu, n
Pagi itu, seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi Dimas dan keluarganya. Ia berdiri di dapur, menyeduh kopi dan memanggang roti, sementara pikirannya melayang-layang. Ketenangan pagi selalu menjadi waktu bagi Wulan untuk merenung, meskipun hari-harinya semakin berat dengan perlakuan keluarga Dimas. Di hadapan Dimas, semuanya terlihat baik-baik saja, namun ketika suaminya pergi bekerja, semuanya berubah.Setelah menyiapkan semuanya, Wulan memanggil Dimas dan Bu Ratna yang sudah duduk di meja makan. Ana, seperti biasa, belum bangun. Sarapan kali ini berlangsung dalam keheningan yang canggung. Bu Ratna tidak banyak bicara, hanya sesekali menanyakan hal-hal yang remeh, namun tatapannya sering kali terasa menilai. Seolah-olah setiap tindakan Wulan tidak pernah benar di matanya.Dimas, yang tidak menyadari ketegangan halus di antara Wulan dan ibunya, mencoba mencairkan suasana. "Sayang, aku mungkin pulang agak malam hari ini. Ada meeting mendadak dengan klien da
Hari-hari terus berlalu, dan bagi Wulan, waktu seolah bergerak dalam irama yang lambat namun penuh tekanan. Setiap pagi, ia menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga, memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk Dimas dan keluarganya. Di hadapan Dimas, ia tetap wanita yang tabah, tersenyum lembut dan penuh kasih sayang. Tapi ketika Dimas pergi bekerja, kenyataan yang sesungguhnya datang seperti bayangan gelap yang menghantui hidupnya.Pada suatu siang, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di ruang tamu bersama Bu Ratna dan Ana. Suasana di rumah begitu sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar, menghitung setiap detik dalam keheningan yang menegangkan. Bu Ratna menyesap teh sambil menatap keluar jendela, sementara Ana sibuk dengan ponselnya, jarang menatap Wulan."Kamu nggak ada rencana untuk jalan-jalan, Wulan?" tanya Ana tiba-tiba, nadanya terdengar ringan, tapi ada sindiran halus yang tersembunyi. "Mungkin bisa ajak teman-teman kamu atau siapa gitu. Biar nggak cuma di rum
Pagi kembali tiba, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun sebelum matahari terbit. Suara panci dan wajan terdengar halus dari dapur, ketika Wulan mempersiapkan sarapan untuk keluarga Dimas. Rutinitas ini telah menjadi bagian dari hidupnya sejak menikah, namun akhir-akhir ini, ia merasakan setiap detik yang berlalu seperti beban. Setiap pekerjaan rumah yang ia lakukan bukan lagi tentang cinta dan dedikasi, melainkan upaya untuk menjaga ketenangan yang rapuh di dalam rumah itu.Ketika Dimas turun dari kamar dengan wajah segar, Wulan menyambutnya dengan senyum yang selalu hangat, meski hatinya mulai semakin jauh. Dimas membalas senyuman itu dan mendekat untuk mencium pipi Wulan. "Sarapan apa hari ini, Sayang?""Tumisan sayur dan nasi goreng kesukaanmu," jawab Wulan lembut, menyajikan piring di meja makan.Sementara Dimas menikmati sarapannya, Ana dan Bu Ratna turun menyusul. Seperti biasanya, ketika Dimas ada di rumah, sikap keduanya terlihat normal, bahkan cenderun
Hari ini dimulai seperti hari-hari sebelumnya. Wulan terbangun lebih awal dari yang lain, memulai rutinitas paginya di dapur dengan langkah yang perlahan namun mantap. Segala persiapan sarapan dilakukan dengan cermat, seperti cara ia mengatur hidupnya—tertib, rapih, tanpa ada satu pun kekurangan. Dimas turun dari kamar dengan wajah yang tampak segar, seperti biasa. Senyum yang dulu membuat Wulan merasa damai, kini mulai memudar pengaruhnya. Dimas duduk di meja makan, menikmati aroma sarapan yang disiapkan Wulan dengan senyum tipis di wajahnya.“Sayang, apa kau baik-baik saja?” tanya Dimas ketika Wulan menyajikan piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi di depannya. Suaranya terdengar lembut, namun ada keraguan yang tak bisa ia sembunyikan.Wulan menoleh dan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Mas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya sambil meletakkan gelas teh di samping piring Dimas. Kata-kata itu terdengar datar di telin