Share

Bab 10: Senyuman yang Pudar

Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.

Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi.

"Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.

Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma kurang tidur.”

Dimas mengangguk, tapi ada kerutan kecil di dahinya. Wulan tahu, suaminya memang perhatian, tapi ia juga tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi di belakang punggungnya. Dimas selalu percaya bahwa keluarganya memperlakukan Wulan dengan baik, seperti yang mereka tunjukkan di hadapannya. Dan Wulan, tak pernah punya keberanian untuk merusak ilusi itu.

“Aku pulang agak malam hari ini, ada pertemuan di kantor,” kata Dimas setelah menyelesaikan sarapannya.

“Baik, Mas. Aku tunggu di rumah,” jawab Wulan sambil tersenyum, meskipun dalam hatinya ia tahu, malam itu akan menjadi malam panjang lagi, dengan dirinya yang sendirian menanggung beban di rumah.


Setelah Dimas pergi bekerja, suasana rumah berubah drastis. Seperti biasanya, begitu mobil Dimas meninggalkan halaman, ibu mertuanya muncul dari kamarnya, mengenakan baju kebaya dengan anggun, namun tatapannya dingin.

“Wulan, hari ini kamu perlu belanja ke pasar. Ada beberapa kebutuhan yang belum terpenuhi untuk acara arisan nanti malam,” katanya tanpa basa-basi.

Wulan hanya mengangguk patuh, meski dalam hati ia tahu bahwa tugas-tugas ini terus saja ditumpukkan padanya. Tidak ada yang peduli dengan lelah atau perasaannya. Bahkan Ana yang duduk santai di ruang tamu dengan ponselnya pun tampak tak acuh. Ia tidak pernah ambil bagian dalam pekerjaan rumah, seolah semua ini adalah kewajiban Wulan seorang.

"Jangan lupa juga, persiapan makanan harus sempurna. Kamu tahu kan, bagaimana tamu-tamu keluarga kita suka mengomentari hal-hal kecil. Aku tidak mau kita jadi bahan gosip hanya karena persiapan yang tidak sempurna," lanjut ibu mertuanya lagi.

"Ya, Bu. Saya akan pastikan semuanya rapi," jawab Wulan lembut, meski hatinya semakin menjerit.


Siang itu, setelah Wulan kembali dari pasar, ia mulai sibuk di dapur, mempersiapkan semua kebutuhan untuk arisan malam nanti. Dapur penuh dengan aroma masakan yang menggugah selera, dan suara panci serta peralatan dapur beradu. Namun, dalam kesibukannya, Wulan merasa ada kekosongan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Setiap gerakan tangannya seperti dilakukan dengan autopilot, tanpa emosi yang nyata.

Sore menjelang, dan Wulan mulai merapikan meja makan serta ruang tamu untuk menyambut tamu arisan keluarga. Sementara itu, ibu mertua dan Ana sudah sibuk berdandan, mempersiapkan diri untuk tampil sempurna di hadapan para tamu. Tidak ada satu pun dari mereka yang menawarkan bantuan kepada Wulan. Seperti biasa, ia dibiarkan bekerja sendiri, menjalankan tugas-tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.

Namun, yang membuat hati Wulan semakin pedih bukan hanya ketidakpedulian mereka, tetapi juga kenyataan bahwa semua kerja kerasnya tak pernah diakui. Setiap kali tamu datang, ibu mertuanya selalu mendapatkan pujian atas kesempurnaan acara, tanpa sedikit pun menyebutkan peran Wulan di dalamnya. Ia hanya menjadi bayangan di balik layar, sosok yang bekerja keras namun tidak pernah terlihat.

Ketika malam tiba dan tamu-tamu mulai berdatangan, Wulan berdiri di sudut ruangan, memandang dari kejauhan. Ibu mertuanya menyapa para tamu dengan senyum yang tampak tulus, memperkenalkan hidangan dan persiapan rumah dengan bangga, seolah semua itu hasil kerjanya. Ana juga ikut larut dalam percakapan dengan tamu-tamu, tampil anggun dan ramah.

Wulan, di sisi lain, hanya melayani tamu-tamu dengan penuh kesopanan, memastikan makanan dan minuman selalu tersaji tanpa cela. Hatinya sudah terlalu sering merasakan luka ini, hingga rasa sakit itu mulai menumpulkan perasaannya. Ia hanya menjalani semuanya seperti tugas yang harus diselesaikan, tanpa harapan apapun.

Namun, di tengah arisan yang berlangsung, sebuah percakapan antara dua tamu menarik perhatian Wulan. Mereka duduk tidak jauh dari tempat Wulan berdiri, dan tanpa sengaja, ia mendengar salah satu dari mereka menyebut nama Solus Group.

"Ya ampun, aku dengar Solus Group lagi dapat kontrak besar di luar negeri. Mereka benar-benar perusahaan yang berkembang pesat," kata salah satu tamu sambil menyeruput tehnya.

“Benar, aku juga dengar. Kabarnya pemiliknya sangat misterius, tidak ada yang tahu siapa dia. Tapi siapapun dia, orang itu pasti luar biasa,” sahut tamu lainnya.

Wulan terdiam sejenak, mendengar percakapan itu dengan hati yang berdebar. Nama Solus Group selalu menjadi topik yang menarik perhatian, namun jarang ada yang tahu bahwa pemiliknya adalah Wulan sendiri. Ia memang sengaja menyembunyikan identitasnya dari publik, bahkan dari keluarga suaminya. Baginya, menjadi istri dan ibu rumah tangga biasa adalah cara untuk menjalani hidup yang sederhana, meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu kekuatan sebenarnya yang ia miliki.

Namun, mendengar orang-orang memuji perusahaannya, Wulan merasa sedikit lega. Setidaknya, di luar rumah ini, ia masih memiliki kendali atas sesuatu yang besar. Di balik sosoknya yang tampak lemah dan tak berdaya, Wulan menyimpan kekuatan yang luar biasa—sesuatu yang mungkin bisa ia gunakan suatu saat nanti.


Setelah tamu-tamu pulang, rumah kembali sunyi. Ibu mertuanya kembali ke kamarnya, puas dengan acara yang berjalan lancar. Ana menghilang ke kamarnya tanpa sepatah kata pun kepada Wulan, meninggalkan sisa-sisa kekacauan arisan di ruang tamu. Wulan hanya bisa menghela napas, merasa lelah bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.

Saat ia membereskan piring-piring kotor, pikirannya kembali melayang ke percakapan yang ia dengar tadi. Solus Group. Perusahaannya. Sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari dunia luar, dari Dimas, bahkan dari dirinya sendiri. Apakah saatnya ia mengungkapkan segalanya? Atau apakah ia harus terus menyembunyikan kebenaran itu hingga tiba saat yang tepat?

Wulan memandang ke arah cermin di ruang tamu, melihat bayangan dirinya yang tampak letih dan lelah. Namun, di balik tatapan kosong itu, ada sesuatu yang lain—sebuah tekad yang perlahan tumbuh, sebuah rencana yang mulai terbentuk. Mungkin, saatnya belum tiba. Tapi suatu hari nanti, Wulan akan menunjukkan pada dunia siapa dirinya sebenarnya.

Dan ketika saat itu tiba, Dimas dan keluarganya akan menyesal telah meremehkan dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status