Share

Bab 9: Menghadapi Ketidakpastian

Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.

Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini.

"Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.

Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa yang sebenarnya terjadi? Apakah cinta Dimas cukup kuat untuk melawan pengaruh keluarganya?

"Mas, kamu selalu bilang begitu," balas Wulan lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Dimas hanya tersenyum, tak menyadari pergolakan batin istrinya. "Karena itu benar. Kamu sempurna buatku."

Wulan kembali sibuk menyiapkan sarapan, tetapi pikirannya sudah melayang jauh. Saat Dimas ada di rumah, segalanya terasa lebih mudah. Ibu mertuanya tidak sekeras biasanya, dan Ana bahkan bisa terlihat ramah. Namun, begitu Dimas pergi bekerja, dunia kembali berubah. Wulan merasa seperti seorang tamu yang tidak diinginkan di rumah ini.


Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di ruang tamu, mendengarkan suara pintu mobil yang perlahan menjauh. Suasana rumah kembali ke keheningan yang mencekam. Seperti yang sudah ia duga, ibu mertuanya segera keluar dari kamar, menatap Wulan dengan tatapan tajam. Tatapan itu sudah menjadi hal biasa baginya.

"Wulan, ada tamu yang akan datang sore ini. Tolong kamu siapkan semuanya, jangan sampai ada yang kurang," ujar ibu mertuanya dengan nada yang memerintah.

"Tentu, Bu. Siapa tamunya?" tanya Wulan, berusaha menanggapi dengan sopan meski hatinya sedikit gentar.

"Keluarga besar dari pihak ayah Dimas. Mereka mau mampir sebentar sebelum acara besar nanti minggu depan. Kamu tahu sendiri kan, kita harus menjaga nama baik keluarga," jawab ibu mertuanya dengan nada sinis.

Wulan mengangguk patuh. Ia tahu, apapun yang ia lakukan, hasilnya tidak akan pernah cukup di mata mertuanya. Namun, ia tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyiapkan segalanya. Baginya, menjaga keharmonisan di rumah ini adalah prioritas. Ia berharap dengan melakukan semua ini, setidaknya ia bisa mendapatkan sedikit pengakuan atau penghargaan. Namun, setiap harinya, harapan itu semakin jauh.

Sementara itu, Ana muncul dari kamar dengan gaya santainya, masih memegang ponsel di tangan. Ia tidak pernah peduli dengan persiapan rumah atau tamu-tamu yang datang. Seolah-olah semua itu adalah tanggung jawab Wulan sepenuhnya. Bahkan, Ana kadang-kadang tidak ragu untuk membebankan tugas-tugas pribadinya pada Wulan, seperti mencuci baju atau merapikan kamarnya.

"Mbak Wulan, jangan lupa ya nanti bajuku sudah harus siap sebelum aku keluar," kata Ana sambil berlalu ke dapur, mengambil minuman dingin dari kulkas tanpa menoleh pada Wulan.

“Ya, Ana,” balas Wulan sambil melanjutkan tugasnya.

Wulan sudah terbiasa dengan semua ini. Walaupun hati kecilnya kadang memberontak, ia memilih untuk diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun semuanya terpendam jauh di dalam hatinya. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Dimas dengan masalah rumah tangga yang seharusnya kecil. Lagi pula, keluarganya selalu menunjukkan sisi terbaik mereka saat Dimas ada, membuat Wulan semakin bingung apakah ia harus berbicara atau tidak.


Siang itu, Wulan sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk kedatangan tamu. Dapur yang awalnya sunyi kini dipenuhi suara panci, pisau, dan piring yang beradu. Wulan bekerja tanpa henti, memastikan setiap hidangan siap dengan sempurna. Ini adalah bagian dari hidupnya sekarang—menjadi seorang istri yang baik di mata keluarga Dimas, meski ia jarang merasa dihargai.

Setelah berjam-jam bekerja, Wulan akhirnya menyelesaikan semua persiapan. Ia melirik jam di dinding, menyadari bahwa tamu akan segera datang. Ibu mertuanya dan Ana juga sudah berdandan rapi, siap menyambut tamu dengan senyuman yang penuh kepalsuan. Wulan sendiri merasa sedikit canggung; ia tahu, meski ia sudah melakukan segalanya, ia tetap akan dianggap kurang.

Dan benar saja, begitu tamu datang, ibu mertuanya langsung memuji dirinya sendiri atas segala kesempurnaan rumah dan persiapan yang dilakukan. Ia menyapa para tamu dengan hangat, seolah semua ini adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Wulan berdiri di belakang, tersenyum kecil, tak mengharapkan apapun.

"Aduh, Bu Susi, rumahnya selalu rapi dan indah! Pasti repot ya, mempersiapkan semuanya," puji salah satu tamu dengan ramah.

Ibu mertua Wulan tersenyum puas. "Ah, begitulah. Kita harus menjaga agar semuanya selalu dalam keadaan terbaik. Apalagi kalau tamu datang, harus sempurna," jawabnya.

Tak ada satu kata pun yang menyebutkan peran Wulan dalam persiapan tersebut. Wulan hanya bisa tersenyum lemah. Seolah-olah semua yang ia lakukan tak berarti apa-apa. Setiap kali tamu datang, ia selalu berdiri di pinggir, menyaksikan mertuanya menerima pujian yang seharusnya juga menjadi miliknya. Namun, Wulan sudah terbiasa dengan hal ini.

Saat tamu-tamu berkumpul di ruang tamu, Wulan memastikan segala hal berjalan lancar. Ia keluar masuk dapur, memastikan hidangan dan minuman tersaji dengan sempurna. Setiap kali ia lewat, tamu-tamu hanya sekilas melirik padanya, seperti pelayan yang bekerja di belakang layar. Wulan tidak meminta banyak, hanya sedikit pengakuan, tapi hal itu tampak terlalu jauh untuk diraih.


Sore itu, setelah tamu pulang, Wulan duduk sejenak di kursi makan, merasa letih. Ia memandang ke arah pintu depan, membayangkan Dimas yang nanti malam akan kembali. Hanya kehadiran suaminya yang masih mampu memberi sedikit kebahagiaan di tengah kesepian yang ia rasakan.

Namun, dalam hatinya, Wulan mulai merasakan sesuatu yang baru—sebuah dorongan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mulai sadar bahwa terus-menerus bertahan tidak akan membuat hidupnya lebih baik. Cinta kepada Dimas tidak cukup untuk menahan semua rasa sakit yang ia alami setiap hari. Lambat laun, Wulan tahu bahwa ia perlu mengambil tindakan, namun ia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan.

Malam itu, setelah Dimas pulang dan rumah kembali tenang, Wulan merenung dalam kegelapan. Ia tidak bisa terus seperti ini, tapi ia juga belum siap untuk melawan. Apa yang akan terjadi jika Dimas tahu tentang apa yang keluarganya lakukan di belakangnya? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi kenyataan ini?

Untuk pertama kalinya, Wulan mulai memikirkan apa yang bisa ia lakukan jika keadaan tidak berubah. Dalam kesunyian malam, ia membayangkan masa depan yang mungkin saja tak lagi bersama Dimas. Sementara cinta masih ada, kepercayaan dirinya mulai terkikis oleh perlakuan keluarga suaminya. Hatinya mulai bertanya-tanya apakah semua pengorbanan ini benar-benar sepadan.

Dan di sinilah awal dari rencana Wulan mulai terbentuk, meskipun ia masih belum sepenuhnya sadar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status