Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.
Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.
Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.
Wulan menoleh dan tersenyum lembut. "Aku hanya ingin terlihat rapi saja, Mas. Aku mungkin akan pergi ke luar setelah selesai urusan rumah."
Dimas menghampiri dan memeluk Wulan dari belakang, mencium puncak kepalanya dengan lembut. "Aku senang kamu mulai keluar rumah dan melakukan hal-hal yang kamu sukai. Asal kamu tidak terlalu lelah, aku mendukung apa pun yang kamu lakukan."
Ada perasaan haru dalam hati Wulan mendengar kata-kata Dimas. Bagaimanapun, suaminya tetap menunjukkan perhatian meski ia tak menyadari ada banyak hal yang disembunyikan Wulan. Namun, ia tetap memutuskan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Setidaknya, belum.
"Terima kasih, Mas. Aku akan jaga diri," jawab Wulan sambil tersenyum, meski hatinya sedikit terguncang.
Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan bersiap untuk bertemu Rina. Ia berjalan menuju garasi, di mana mobilnya terparkir rapi. Mobil itu tidak pernah ia gunakan selama tinggal di rumah keluarga Dimas, untuk menjaga citra sebagai istri sederhana yang tidak terlalu mementingkan materi. Namun, hari ini ia merasa butuh menggunakan mobil tersebut—sebagai simbol bahwa ia siap untuk mengambil kembali kendali atas hidupnya.
Dalam perjalanan menuju kantor pusat Solus Group, Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di gedung perusahaannya sendiri. Ia membayangkan bagaimana reaksi para karyawan ketika melihatnya kembali. Apakah mereka masih mengenalnya? Atau apakah mereka hanya mengenalnya sebagai sosok yang berada di balik layar?
Ketika Wulan tiba di depan gedung Solus Group, sebuah perasaan nostalgia langsung membanjiri dirinya. Gedung itu masih berdiri megah, dengan arsitektur modern yang mencerminkan kekuatan dan kestabilan perusahaan. Ia terdiam sejenak di dalam mobil, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum melangkah keluar.
Saat ia memasuki lobi, beberapa karyawan yang melintas berhenti sejenak, tampak terkejut melihat kehadirannya. Wulan memberikan senyum ramah dan mengangguk sopan pada mereka, meski ia tahu ada banyak yang ingin mereka tanyakan. Tanpa menghiraukan bisik-bisik yang mulai terdengar, Wulan menuju lift yang akan membawanya ke lantai tertinggi, tempat ruang rapat pimpinan berada.
Rina sudah menunggu di dalam ruang rapat ketika Wulan tiba. Ia tersenyum lebar begitu melihat sahabatnya masuk. "Wulan! Aku masih tidak percaya kamu benar-benar datang. Ini seperti mimpi!"
Wulan tertawa kecil dan memeluk Rina. "Aku juga merasa aneh. Sudah lama sekali aku tidak ke sini."
Setelah beberapa saat berbincang hangat, mereka berdua duduk di meja rapat, siap membicarakan proyek besar yang sedang dihadapi perusahaan. Wulan segera masuk ke mode kerja, dan Rina terkejut melihat betapa cepatnya Wulan bisa beradaptasi kembali.
"Kita sedang dalam tahap finalisasi untuk proyek properti di Singapura, dan aku butuh persetujuanmu untuk langkah selanjutnya," kata Rina sambil memperlihatkan dokumen-dokumen yang harus ditandatangani Wulan.
Wulan memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan teliti. Ia membaca setiap halaman, mempertimbangkan risiko dan manfaat dari setiap keputusan yang harus diambil. Meski sudah lama tidak terlibat langsung, insting bisnisnya masih tajam.
"Aku setuju dengan strategi ini, tapi pastikan kita menyiapkan mitigasi risiko yang lebih kuat. Proyek sebesar ini pasti akan menghadapi tantangan, dan kita harus siap menghadapi apa pun," kata Wulan tegas.
Rina mengangguk setuju. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Ini adalah salah satu alasan kenapa kita sangat membutuhkanmu kembali. Pandanganmu selalu tajam."
Setelah menandatangani beberapa dokumen penting, Wulan merasa lega. Meskipun ada banyak hal yang perlu ia pelajari kembali, hari ini adalah awal yang baik. Ia merasa hidupnya mulai menemukan keseimbangan antara peran sebagai ibu rumah tangga dan wanita karier yang sukses.
Ketika Wulan pulang ke rumah sore itu, ia disambut dengan keheningan. Rumah tampak kosong, dan ia tahu bahwa ibu mertuanya dan Ana mungkin sedang pergi. Dimas belum pulang dari kantor, jadi Wulan memiliki waktu untuk merenung.
Ia duduk di sofa ruang tamu, memandangi foto pernikahan yang terbingkai rapi di dinding. Dalam foto itu, ia dan Dimas tampak bahagia, penuh cinta dan harapan untuk masa depan. Tapi sekarang, Wulan merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka, meskipun Dimas tidak menyadari hal itu.
Ketika Wulan sedang asyik dalam pikirannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rina: "Terima kasih atas masukannya hari ini, Wulan. Kami semua senang kamu kembali. Mari kita wujudkan proyek ini bersama-sama!"
Wulan tersenyum, merasa lebih kuat dari sebelumnya. Hari ini adalah awal yang baik, namun ia tahu bahwa ini hanya langkah kecil dari perjalanan panjang yang masih harus ia tempuh.
Meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Wulan merasa bahwa kekuatan yang ia miliki, baik sebagai istri, wanita karier, dan seorang yang pernah terluka, akan membantunya menghadapi semua tantangan yang datang.
Namun di balik semua itu, ia juga tahu bahwa waktunya akan tiba—waktu di mana kebenaran tentang siapa dirinya yang sebenarnya harus terungkap. Dan ketika saat itu tiba, ia siap menghadapi apa pun, termasuk keluarga Dimas yang mungkin akan menyesali perlakuan mereka selama ini.
Malam itu, Dimas pulang dengan wajah letih, tetapi tetap berusaha tersenyum. "Hari ini cukup melelahkan, tapi aku senang bisa pulang dan melihatmu, Sayang," katanya sambil mencium Wulan.
Wulan tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan bersalah. Ia belum sepenuhnya jujur kepada Dimas tentang rencananya dan tentang apa yang telah ia lakukan hari ini. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk menyimpan semuanya sendiri. Mungkin masih belum saatnya untuk mengungkapkan semuanya.
Mereka makan malam bersama seperti biasa, dengan obrolan ringan tentang keseharian mereka. Dimas tampak lebih tenang, dan Wulan merasa ada sedikit kehangatan yang kembali dalam hubungan mereka.
Namun, di tengah ketenangan itu, Wulan tahu bahwa badai pasti akan datang. Dan saat itu tiba, ia harus siap—bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga untuk mengambil kembali kendali atas hidupnya sepenuhnya.
Esok hari mungkin akan membawa tantangan baru, tetapi Wulan tidak lagi merasa takut. Kini, ia siap menghadapi dunia dengan segala kekuatannya, dan siap untuk mulai menyusun rencana yang lebih besar.
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Rina berlalu dengan cepat. Wulan mulai terlibat lebih intens dalam proyek-proyek Solus Group, meski tetap menjaga rutinitas rumah tangganya dengan cermat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan siap untuk Dimas sebelum berangkat kerja, dan ketika Dimas pulang, Wulan selalu ada di rumah, menyiapkan makan malam dengan rapi.Namun, di balik semua itu, Wulan mulai merasakan tekanan yang lebih besar dari keluarga Dimas, terutama dari ibu mertuanya, Bu Ratna, dan Ana. Keduanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin dan menyindir Wulan di saat Dimas tidak berada di rumah. Meski perlakuan mereka belum sepenuhnya kasar, Wulan bisa merasakan ketidaksukaan yang semakin jelas dari hari ke hari.Suatu sore, ketika Wulan sedang memotong sayuran di dapur, Ana masuk dengan wajah cemberut. Gadis itu langsung mengambil segelas air tanpa menyapa Wulan sama sekali. Sikap dingin itu sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini Ana tampak lebih kesal daripada biasanya."Kak W
Waktu terus berjalan, dan Wulan mulai terbiasa dengan perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Setiap hari seperti permainan di mana ia harus menjaga ketenangannya, memainkan peran sebagai menantu dan istri yang baik di depan keluarga Dimas. Ia masih setia menyembunyikan perasaannya, menutup rapat-rapat rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah kekuatan yang pelan-pelan terbangun dari dalam dirinya.Hari itu, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan bersama Bu Ratna. Ana sudah pergi lebih awal untuk bertemu teman-temannya, meninggalkan Wulan dan ibu mertuanya dalam keheningan yang tak nyaman. Seperti biasa, Bu Ratna memulai percakapan dengan nada yang dingin namun penuh dengan sindiran halus."Wulan, sudah berapa lama kamu menikah dengan Dimas?" tanya Bu Ratna sambil menyeruput teh hijau di cangkirnya."Tiga tahun, Bu," jawab Wulan dengan tenang. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu, n
Pagi itu, seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi Dimas dan keluarganya. Ia berdiri di dapur, menyeduh kopi dan memanggang roti, sementara pikirannya melayang-layang. Ketenangan pagi selalu menjadi waktu bagi Wulan untuk merenung, meskipun hari-harinya semakin berat dengan perlakuan keluarga Dimas. Di hadapan Dimas, semuanya terlihat baik-baik saja, namun ketika suaminya pergi bekerja, semuanya berubah.Setelah menyiapkan semuanya, Wulan memanggil Dimas dan Bu Ratna yang sudah duduk di meja makan. Ana, seperti biasa, belum bangun. Sarapan kali ini berlangsung dalam keheningan yang canggung. Bu Ratna tidak banyak bicara, hanya sesekali menanyakan hal-hal yang remeh, namun tatapannya sering kali terasa menilai. Seolah-olah setiap tindakan Wulan tidak pernah benar di matanya.Dimas, yang tidak menyadari ketegangan halus di antara Wulan dan ibunya, mencoba mencairkan suasana. "Sayang, aku mungkin pulang agak malam hari ini. Ada meeting mendadak dengan klien da
Hari-hari terus berlalu, dan bagi Wulan, waktu seolah bergerak dalam irama yang lambat namun penuh tekanan. Setiap pagi, ia menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga, memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk Dimas dan keluarganya. Di hadapan Dimas, ia tetap wanita yang tabah, tersenyum lembut dan penuh kasih sayang. Tapi ketika Dimas pergi bekerja, kenyataan yang sesungguhnya datang seperti bayangan gelap yang menghantui hidupnya.Pada suatu siang, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di ruang tamu bersama Bu Ratna dan Ana. Suasana di rumah begitu sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar, menghitung setiap detik dalam keheningan yang menegangkan. Bu Ratna menyesap teh sambil menatap keluar jendela, sementara Ana sibuk dengan ponselnya, jarang menatap Wulan."Kamu nggak ada rencana untuk jalan-jalan, Wulan?" tanya Ana tiba-tiba, nadanya terdengar ringan, tapi ada sindiran halus yang tersembunyi. "Mungkin bisa ajak teman-teman kamu atau siapa gitu. Biar nggak cuma di rum
Pagi kembali tiba, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun sebelum matahari terbit. Suara panci dan wajan terdengar halus dari dapur, ketika Wulan mempersiapkan sarapan untuk keluarga Dimas. Rutinitas ini telah menjadi bagian dari hidupnya sejak menikah, namun akhir-akhir ini, ia merasakan setiap detik yang berlalu seperti beban. Setiap pekerjaan rumah yang ia lakukan bukan lagi tentang cinta dan dedikasi, melainkan upaya untuk menjaga ketenangan yang rapuh di dalam rumah itu.Ketika Dimas turun dari kamar dengan wajah segar, Wulan menyambutnya dengan senyum yang selalu hangat, meski hatinya mulai semakin jauh. Dimas membalas senyuman itu dan mendekat untuk mencium pipi Wulan. "Sarapan apa hari ini, Sayang?""Tumisan sayur dan nasi goreng kesukaanmu," jawab Wulan lembut, menyajikan piring di meja makan.Sementara Dimas menikmati sarapannya, Ana dan Bu Ratna turun menyusul. Seperti biasanya, ketika Dimas ada di rumah, sikap keduanya terlihat normal, bahkan cenderun
Hari ini dimulai seperti hari-hari sebelumnya. Wulan terbangun lebih awal dari yang lain, memulai rutinitas paginya di dapur dengan langkah yang perlahan namun mantap. Segala persiapan sarapan dilakukan dengan cermat, seperti cara ia mengatur hidupnya—tertib, rapih, tanpa ada satu pun kekurangan. Dimas turun dari kamar dengan wajah yang tampak segar, seperti biasa. Senyum yang dulu membuat Wulan merasa damai, kini mulai memudar pengaruhnya. Dimas duduk di meja makan, menikmati aroma sarapan yang disiapkan Wulan dengan senyum tipis di wajahnya.“Sayang, apa kau baik-baik saja?” tanya Dimas ketika Wulan menyajikan piring berisi nasi goreng dan telur mata sapi di depannya. Suaranya terdengar lembut, namun ada keraguan yang tak bisa ia sembunyikan.Wulan menoleh dan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Mas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabnya sambil meletakkan gelas teh di samping piring Dimas. Kata-kata itu terdengar datar di telin
Pagi hari di rumah itu selalu dimulai dengan kesunyian yang hanya diisi oleh suara aktivitas Wulan di dapur. Seperti biasa, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Tangannya cekatan mengolah bahan makanan, sementara pikirannya melayang-layang pada berbagai hal. Setiap gerakan di dapur seakan menjadi cara baginya untuk melupakan sementara beban yang dipikul di pundaknya.Setelah sarapan siap, Wulan melihat jam dinding. Masih terlalu pagi untuk Dimas bangun, tapi tak lama lagi Bu Ratna dan Ana akan turun. Mereka selalu memulai hari dengan senyum yang terbalut dengan kepura-puraan, hanya saat Dimas ada. Namun ketika Dimas sudah pergi bekerja, wajah-wajah asli mereka akan keluar.Langkah kaki Ana terdengar dari tangga. Wulan menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya. Ana muncul di pintu dapur, mengenakan gaun rumah yang mewah namun sederhana, senyum tipis menghiasi bibirnya. Sejenak, Wulan bisa merasakan bahwa senyum itu tidak lebih dari sebuah topeng."Selamat pagi, Kak Wulan,"
Sore itu, setelah Dimas pergi bekerja, suasana di rumah kembali terasa sunyi. Wulan duduk di meja makan, menatap jendela yang memperlihatkan taman kecil di halaman belakang. Ada keheningan yang tak nyaman, seperti sebuah kabut yang menutupi ruang di sekelilingnya. Meski begitu, ia tetap berusaha memusatkan pikirannya pada hal-hal sederhana, seperti membersihkan dapur atau menyusun kembali meja makan yang telah digunakan.Namun, tidak ada aktivitas kecil yang mampu menyembunyikan kenyataan pahit yang sedang ia hadapi. Perlakuan keluarga Dimas semakin hari semakin terasa. Pada awalnya, sindiran dan tatapan dingin mungkin bisa ia abaikan, namun kini semuanya terasa semakin nyata dan terus menghantui hari-harinya. Seperti awan kelabu yang selalu menggantung di atasnya, menunggu untuk menjatuhkan hujan yang tak kunjung reda.Bu Ratna dan Ana sudah keluar rumah pagi tadi untuk bertemu dengan kerabat. Itu memberi Wulan sedikit ruang untuk bernafas. Meski di rumah itu ia seharusnya merasa nya