Share

Bab 12: Langkah Kecil yang Bermakna

Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.

Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.

Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.

Wulan menoleh dan tersenyum lembut. "Aku hanya ingin terlihat rapi saja, Mas. Aku mungkin akan pergi ke luar setelah selesai urusan rumah."

Dimas menghampiri dan memeluk Wulan dari belakang, mencium puncak kepalanya dengan lembut. "Aku senang kamu mulai keluar rumah dan melakukan hal-hal yang kamu sukai. Asal kamu tidak terlalu lelah, aku mendukung apa pun yang kamu lakukan."

Ada perasaan haru dalam hati Wulan mendengar kata-kata Dimas. Bagaimanapun, suaminya tetap menunjukkan perhatian meski ia tak menyadari ada banyak hal yang disembunyikan Wulan. Namun, ia tetap memutuskan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Setidaknya, belum.

"Terima kasih, Mas. Aku akan jaga diri," jawab Wulan sambil tersenyum, meski hatinya sedikit terguncang.


Setelah Dimas berangkat ke kantor, Wulan bersiap untuk bertemu Rina. Ia berjalan menuju garasi, di mana mobilnya terparkir rapi. Mobil itu tidak pernah ia gunakan selama tinggal di rumah keluarga Dimas, untuk menjaga citra sebagai istri sederhana yang tidak terlalu mementingkan materi. Namun, hari ini ia merasa butuh menggunakan mobil tersebut—sebagai simbol bahwa ia siap untuk mengambil kembali kendali atas hidupnya.

Dalam perjalanan menuju kantor pusat Solus Group, Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di gedung perusahaannya sendiri. Ia membayangkan bagaimana reaksi para karyawan ketika melihatnya kembali. Apakah mereka masih mengenalnya? Atau apakah mereka hanya mengenalnya sebagai sosok yang berada di balik layar?

Ketika Wulan tiba di depan gedung Solus Group, sebuah perasaan nostalgia langsung membanjiri dirinya. Gedung itu masih berdiri megah, dengan arsitektur modern yang mencerminkan kekuatan dan kestabilan perusahaan. Ia terdiam sejenak di dalam mobil, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum melangkah keluar.

Saat ia memasuki lobi, beberapa karyawan yang melintas berhenti sejenak, tampak terkejut melihat kehadirannya. Wulan memberikan senyum ramah dan mengangguk sopan pada mereka, meski ia tahu ada banyak yang ingin mereka tanyakan. Tanpa menghiraukan bisik-bisik yang mulai terdengar, Wulan menuju lift yang akan membawanya ke lantai tertinggi, tempat ruang rapat pimpinan berada.

Rina sudah menunggu di dalam ruang rapat ketika Wulan tiba. Ia tersenyum lebar begitu melihat sahabatnya masuk. "Wulan! Aku masih tidak percaya kamu benar-benar datang. Ini seperti mimpi!"

Wulan tertawa kecil dan memeluk Rina. "Aku juga merasa aneh. Sudah lama sekali aku tidak ke sini."

Setelah beberapa saat berbincang hangat, mereka berdua duduk di meja rapat, siap membicarakan proyek besar yang sedang dihadapi perusahaan. Wulan segera masuk ke mode kerja, dan Rina terkejut melihat betapa cepatnya Wulan bisa beradaptasi kembali.

"Kita sedang dalam tahap finalisasi untuk proyek properti di Singapura, dan aku butuh persetujuanmu untuk langkah selanjutnya," kata Rina sambil memperlihatkan dokumen-dokumen yang harus ditandatangani Wulan.

Wulan memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan teliti. Ia membaca setiap halaman, mempertimbangkan risiko dan manfaat dari setiap keputusan yang harus diambil. Meski sudah lama tidak terlibat langsung, insting bisnisnya masih tajam.

"Aku setuju dengan strategi ini, tapi pastikan kita menyiapkan mitigasi risiko yang lebih kuat. Proyek sebesar ini pasti akan menghadapi tantangan, dan kita harus siap menghadapi apa pun," kata Wulan tegas.

Rina mengangguk setuju. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Ini adalah salah satu alasan kenapa kita sangat membutuhkanmu kembali. Pandanganmu selalu tajam."

Setelah menandatangani beberapa dokumen penting, Wulan merasa lega. Meskipun ada banyak hal yang perlu ia pelajari kembali, hari ini adalah awal yang baik. Ia merasa hidupnya mulai menemukan keseimbangan antara peran sebagai ibu rumah tangga dan wanita karier yang sukses.


Ketika Wulan pulang ke rumah sore itu, ia disambut dengan keheningan. Rumah tampak kosong, dan ia tahu bahwa ibu mertuanya dan Ana mungkin sedang pergi. Dimas belum pulang dari kantor, jadi Wulan memiliki waktu untuk merenung.

Ia duduk di sofa ruang tamu, memandangi foto pernikahan yang terbingkai rapi di dinding. Dalam foto itu, ia dan Dimas tampak bahagia, penuh cinta dan harapan untuk masa depan. Tapi sekarang, Wulan merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka, meskipun Dimas tidak menyadari hal itu.

Ketika Wulan sedang asyik dalam pikirannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rina: "Terima kasih atas masukannya hari ini, Wulan. Kami semua senang kamu kembali. Mari kita wujudkan proyek ini bersama-sama!"

Wulan tersenyum, merasa lebih kuat dari sebelumnya. Hari ini adalah awal yang baik, namun ia tahu bahwa ini hanya langkah kecil dari perjalanan panjang yang masih harus ia tempuh.

Meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Wulan merasa bahwa kekuatan yang ia miliki, baik sebagai istri, wanita karier, dan seorang yang pernah terluka, akan membantunya menghadapi semua tantangan yang datang.

Namun di balik semua itu, ia juga tahu bahwa waktunya akan tiba—waktu di mana kebenaran tentang siapa dirinya yang sebenarnya harus terungkap. Dan ketika saat itu tiba, ia siap menghadapi apa pun, termasuk keluarga Dimas yang mungkin akan menyesali perlakuan mereka selama ini.


Malam itu, Dimas pulang dengan wajah letih, tetapi tetap berusaha tersenyum. "Hari ini cukup melelahkan, tapi aku senang bisa pulang dan melihatmu, Sayang," katanya sambil mencium Wulan.

Wulan tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan bersalah. Ia belum sepenuhnya jujur kepada Dimas tentang rencananya dan tentang apa yang telah ia lakukan hari ini. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk menyimpan semuanya sendiri. Mungkin masih belum saatnya untuk mengungkapkan semuanya.

Mereka makan malam bersama seperti biasa, dengan obrolan ringan tentang keseharian mereka. Dimas tampak lebih tenang, dan Wulan merasa ada sedikit kehangatan yang kembali dalam hubungan mereka.

Namun, di tengah ketenangan itu, Wulan tahu bahwa badai pasti akan datang. Dan saat itu tiba, ia harus siap—bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga untuk mengambil kembali kendali atas hidupnya sepenuhnya.

Esok hari mungkin akan membawa tantangan baru, tetapi Wulan tidak lagi merasa takut. Kini, ia siap menghadapi dunia dengan segala kekuatannya, dan siap untuk mulai menyusun rencana yang lebih besar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status