Share

Bab 8: Retakan yang Semakin Lebar

Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya.

"Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya.

"Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."

Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya.

"Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.

“Ya, Ana,” jawab Wulan pendek, sembari menuangkan kopi untuk Dimas.

Setelah semuanya tersaji di meja makan, Wulan duduk dengan tenang di sebelah Dimas. Sekali lagi, dia menjadi saksi obrolan yang tampak hangat antara suaminya dan ibu mertuanya. Meski Wulan ada di sana, dia merasa seperti orang asing dalam kehidupan keluarganya sendiri.


Setelah Dimas berangkat bekerja, suasana rumah kembali ke pola yang sudah terlalu familiar bagi Wulan. Ana kembali ke kamarnya, meninggalkan Wulan bersama ibu mertuanya di ruang makan yang kini sunyi. Wulan merapikan piring-piring dengan hati-hati, berusaha mengisi keheningan dengan pekerjaan, namun tiba-tiba suara tajam ibunya menyentak keheningan itu.

"Wulan, kamu benar-benar kurang teliti membersihkan meja ini," katanya sambil menunjuk ke arah meja makan yang sudah diseka Wulan beberapa saat lalu. "Lihat, masih ada debu di sini."

Wulan berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan emosinya. Ia tahu, sekecil apapun hal yang ia lakukan, pasti ada celah bagi ibu mertuanya untuk mencari kesalahan.

"Saya akan bersihkan lagi, Bu," jawabnya pelan.

Ibu mertuanya hanya mengangguk dingin tanpa mengucapkan terima kasih atau memberi senyum. Saat itu, Wulan menyadari bahwa perlakuan seperti ini tidak akan pernah berubah. Keinginan untuk diterima, untuk diperlakukan dengan kasih sayang, semakin tampak seperti mimpi yang tak mungkin terwujud.

Namun, Wulan tetap menyimpan segala perasaannya di dalam hati. Ia selalu berusaha sabar, percaya bahwa suatu hari semuanya akan berubah. Entah bagaimana, ia berharap cinta Dimas pada akhirnya akan cukup untuk melindungi dirinya dari kebencian yang ia rasakan dari keluarga suaminya.


Hari demi hari, sikap dingin Ana dan ibu mertuanya semakin mencolok. Keduanya jarang bicara dengan Wulan kecuali saat memberi perintah. Ana sering mengabaikan kehadiran Wulan, sementara ibu mertuanya lebih sering mengkritik hasil pekerjaannya di rumah, tak peduli seberapa keras Wulan sudah berusaha untuk membuat segalanya sempurna.

Suatu siang, ketika Wulan sedang menyelesaikan pekerjaan rumah, Ana tiba-tiba mendatanginya dengan wajah tak sabar.

"Mbak Wulan, baju yang aku suruh cuci kemarin mana?" tanyanya dengan nada menyalahkan. "Aku sudah bilang kan aku butuh hari ini?"

Wulan tertegun sesaat, ingat betul ia sudah mencucikan dan menyetrika baju tersebut kemarin. "Sudah selesai, Ana. Sudah kusimpan di kamarmu," jawab Wulan pelan.

Ana mendengus, lalu tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergi ke kamarnya. Sikap semacam ini sudah terlalu sering terjadi, dan Wulan mulai merasa lelah. Lelah berusaha keras tapi selalu dianggap kurang. Lelah mencintai keluarga yang bahkan tidak mau mengakui keberadaannya.

Namun, Wulan tetap diam. Baginya, tidak ada gunanya mengadu pada Dimas. Keluarganya terlalu pintar menyembunyikan kebencian mereka saat Dimas ada di rumah. Setiap kali Wulan mencoba memberi petunjuk pada Dimas tentang bagaimana perasaannya, Dimas selalu menjawab dengan, "Kamu jangan terlalu memikirkan hal kecil, ya. Mama dan Ana pasti sayang sama kamu."

Wulan hanya bisa tersenyum getir ketika mendengar itu. Setiap kali Dimas berkata begitu, ia semakin yakin bahwa suaminya tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Cinta Dimas mungkin ada, tapi Dimas buta terhadap kenyataan yang Wulan hadapi setiap hari.


Malamnya, setelah Dimas pulang, suasana rumah kembali hangat—setidaknya di permukaan. Dimas menyapa ibunya dan Ana dengan tawa dan senyuman, dan mereka berdua membalas dengan hangat. Bahkan Ana, yang sepanjang hari bersikap acuh tak acuh pada Wulan, tiba-tiba menjadi ceria di depan Dimas. Wulan melihat bagaimana mereka bisa berubah dalam sekejap, dan perasaan terasing semakin menggerogoti hatinya.

Saat makan malam, Wulan lebih banyak diam. Dimas dan ibunya sibuk membicarakan rencana keluarga untuk menghadiri sebuah acara keluarga besar akhir pekan nanti. Wulan mendengarkan, meskipun hatinya semakin tenggelam dalam kesepian.

“Wulan, kamu bisa siap-siap juga, ya. Kita akan pergi pagi-pagi sekali ke rumah nenek,” kata Dimas sambil tersenyum padanya.

“Iya, Mas,” jawab Wulan pelan. Meski ia tak terlalu mengenal keluarga besar Dimas, ia tahu bahwa dalam acara seperti itu, ia akan kembali merasa terasing di tengah keramaian.


Malam itu, setelah semuanya berakhir dan rumah kembali sepi, Wulan merenung di kamarnya. Ia merasa semakin terisolasi, meski dikelilingi oleh keluarga suaminya. Dimas mungkin mencintainya, tapi ia tak bisa benar-benar memahami apa yang Wulan alami. Setiap kali Dimas menyentuhnya atau mengucapkan kata-kata manis, Wulan merasa ada dinding yang memisahkan mereka—sebuah dinding yang dibangun oleh ketidaktahuan Dimas dan kebencian keluarganya.

Wulan memandang ke luar jendela, menatap langit malam yang kosong. Di tengah kesunyian itu, ia mulai menyadari bahwa hidupnya kini hanya bertahan untuk mempertahankan pernikahan yang semakin terasa hampa. Ia menahan segala luka dalam diam, berharap suatu hari cinta Dimas akan cukup untuk menyelamatkan segalanya.

Namun, di balik kesabaran itu, Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus begini selamanya. Ada batas di mana kesabaran akan habis, dan ketika itu terjadi, Wulan tahu bahwa ia akan mengambil tindakan.

Saat itu belum tiba, tapi Wulan mulai memikirkan kemungkinannya. Tindakan apa yang harus ia ambil? Bagaimana cara ia mempertahankan dirinya tanpa harus menghancurkan apa yang sudah ia bangun bersama Dimas? Pertanyaan itu terus menghantuinya, namun jawabannya belum datang.

Di tengah kegelapan malam, Wulan hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, segalanya akan menjadi lebih baik. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, ia mulai meragukan apakah cinta benar-benar bisa menjadi jawaban untuk semua ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status