Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya.
"Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya.
"Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."
Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya.
"Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.
“Ya, Ana,” jawab Wulan pendek, sembari menuangkan kopi untuk Dimas.
Setelah semuanya tersaji di meja makan, Wulan duduk dengan tenang di sebelah Dimas. Sekali lagi, dia menjadi saksi obrolan yang tampak hangat antara suaminya dan ibu mertuanya. Meski Wulan ada di sana, dia merasa seperti orang asing dalam kehidupan keluarganya sendiri.
Setelah Dimas berangkat bekerja, suasana rumah kembali ke pola yang sudah terlalu familiar bagi Wulan. Ana kembali ke kamarnya, meninggalkan Wulan bersama ibu mertuanya di ruang makan yang kini sunyi. Wulan merapikan piring-piring dengan hati-hati, berusaha mengisi keheningan dengan pekerjaan, namun tiba-tiba suara tajam ibunya menyentak keheningan itu.
"Wulan, kamu benar-benar kurang teliti membersihkan meja ini," katanya sambil menunjuk ke arah meja makan yang sudah diseka Wulan beberapa saat lalu. "Lihat, masih ada debu di sini."
Wulan berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan emosinya. Ia tahu, sekecil apapun hal yang ia lakukan, pasti ada celah bagi ibu mertuanya untuk mencari kesalahan.
"Saya akan bersihkan lagi, Bu," jawabnya pelan.
Ibu mertuanya hanya mengangguk dingin tanpa mengucapkan terima kasih atau memberi senyum. Saat itu, Wulan menyadari bahwa perlakuan seperti ini tidak akan pernah berubah. Keinginan untuk diterima, untuk diperlakukan dengan kasih sayang, semakin tampak seperti mimpi yang tak mungkin terwujud.
Namun, Wulan tetap menyimpan segala perasaannya di dalam hati. Ia selalu berusaha sabar, percaya bahwa suatu hari semuanya akan berubah. Entah bagaimana, ia berharap cinta Dimas pada akhirnya akan cukup untuk melindungi dirinya dari kebencian yang ia rasakan dari keluarga suaminya.
Hari demi hari, sikap dingin Ana dan ibu mertuanya semakin mencolok. Keduanya jarang bicara dengan Wulan kecuali saat memberi perintah. Ana sering mengabaikan kehadiran Wulan, sementara ibu mertuanya lebih sering mengkritik hasil pekerjaannya di rumah, tak peduli seberapa keras Wulan sudah berusaha untuk membuat segalanya sempurna.
Suatu siang, ketika Wulan sedang menyelesaikan pekerjaan rumah, Ana tiba-tiba mendatanginya dengan wajah tak sabar.
"Mbak Wulan, baju yang aku suruh cuci kemarin mana?" tanyanya dengan nada menyalahkan. "Aku sudah bilang kan aku butuh hari ini?"
Wulan tertegun sesaat, ingat betul ia sudah mencucikan dan menyetrika baju tersebut kemarin. "Sudah selesai, Ana. Sudah kusimpan di kamarmu," jawab Wulan pelan.
Ana mendengus, lalu tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergi ke kamarnya. Sikap semacam ini sudah terlalu sering terjadi, dan Wulan mulai merasa lelah. Lelah berusaha keras tapi selalu dianggap kurang. Lelah mencintai keluarga yang bahkan tidak mau mengakui keberadaannya.
Namun, Wulan tetap diam. Baginya, tidak ada gunanya mengadu pada Dimas. Keluarganya terlalu pintar menyembunyikan kebencian mereka saat Dimas ada di rumah. Setiap kali Wulan mencoba memberi petunjuk pada Dimas tentang bagaimana perasaannya, Dimas selalu menjawab dengan, "Kamu jangan terlalu memikirkan hal kecil, ya. Mama dan Ana pasti sayang sama kamu."
Wulan hanya bisa tersenyum getir ketika mendengar itu. Setiap kali Dimas berkata begitu, ia semakin yakin bahwa suaminya tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Cinta Dimas mungkin ada, tapi Dimas buta terhadap kenyataan yang Wulan hadapi setiap hari.
Malamnya, setelah Dimas pulang, suasana rumah kembali hangat—setidaknya di permukaan. Dimas menyapa ibunya dan Ana dengan tawa dan senyuman, dan mereka berdua membalas dengan hangat. Bahkan Ana, yang sepanjang hari bersikap acuh tak acuh pada Wulan, tiba-tiba menjadi ceria di depan Dimas. Wulan melihat bagaimana mereka bisa berubah dalam sekejap, dan perasaan terasing semakin menggerogoti hatinya.
Saat makan malam, Wulan lebih banyak diam. Dimas dan ibunya sibuk membicarakan rencana keluarga untuk menghadiri sebuah acara keluarga besar akhir pekan nanti. Wulan mendengarkan, meskipun hatinya semakin tenggelam dalam kesepian.
“Wulan, kamu bisa siap-siap juga, ya. Kita akan pergi pagi-pagi sekali ke rumah nenek,” kata Dimas sambil tersenyum padanya.
“Iya, Mas,” jawab Wulan pelan. Meski ia tak terlalu mengenal keluarga besar Dimas, ia tahu bahwa dalam acara seperti itu, ia akan kembali merasa terasing di tengah keramaian.
Malam itu, setelah semuanya berakhir dan rumah kembali sepi, Wulan merenung di kamarnya. Ia merasa semakin terisolasi, meski dikelilingi oleh keluarga suaminya. Dimas mungkin mencintainya, tapi ia tak bisa benar-benar memahami apa yang Wulan alami. Setiap kali Dimas menyentuhnya atau mengucapkan kata-kata manis, Wulan merasa ada dinding yang memisahkan mereka—sebuah dinding yang dibangun oleh ketidaktahuan Dimas dan kebencian keluarganya.
Wulan memandang ke luar jendela, menatap langit malam yang kosong. Di tengah kesunyian itu, ia mulai menyadari bahwa hidupnya kini hanya bertahan untuk mempertahankan pernikahan yang semakin terasa hampa. Ia menahan segala luka dalam diam, berharap suatu hari cinta Dimas akan cukup untuk menyelamatkan segalanya.
Namun, di balik kesabaran itu, Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus begini selamanya. Ada batas di mana kesabaran akan habis, dan ketika itu terjadi, Wulan tahu bahwa ia akan mengambil tindakan.
Saat itu belum tiba, tapi Wulan mulai memikirkan kemungkinannya. Tindakan apa yang harus ia ambil? Bagaimana cara ia mempertahankan dirinya tanpa harus menghancurkan apa yang sudah ia bangun bersama Dimas? Pertanyaan itu terus menghantuinya, namun jawabannya belum datang.
Di tengah kegelapan malam, Wulan hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, segalanya akan menjadi lebih baik. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, ia mulai meragukan apakah cinta benar-benar bisa menjadi jawaban untuk semua ini.
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi."Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus,
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.Wula
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Rina berlalu dengan cepat. Wulan mulai terlibat lebih intens dalam proyek-proyek Solus Group, meski tetap menjaga rutinitas rumah tangganya dengan cermat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan siap untuk Dimas sebelum berangkat kerja, dan ketika Dimas pulang, Wulan selalu ada di rumah, menyiapkan makan malam dengan rapi.Namun, di balik semua itu, Wulan mulai merasakan tekanan yang lebih besar dari keluarga Dimas, terutama dari ibu mertuanya, Bu Ratna, dan Ana. Keduanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin dan menyindir Wulan di saat Dimas tidak berada di rumah. Meski perlakuan mereka belum sepenuhnya kasar, Wulan bisa merasakan ketidaksukaan yang semakin jelas dari hari ke hari.Suatu sore, ketika Wulan sedang memotong sayuran di dapur, Ana masuk dengan wajah cemberut. Gadis itu langsung mengambil segelas air tanpa menyapa Wulan sama sekali. Sikap dingin itu sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini Ana tampak lebih kesal daripada biasanya."Kak W
Waktu terus berjalan, dan Wulan mulai terbiasa dengan perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Setiap hari seperti permainan di mana ia harus menjaga ketenangannya, memainkan peran sebagai menantu dan istri yang baik di depan keluarga Dimas. Ia masih setia menyembunyikan perasaannya, menutup rapat-rapat rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah kekuatan yang pelan-pelan terbangun dari dalam dirinya.Hari itu, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan bersama Bu Ratna. Ana sudah pergi lebih awal untuk bertemu teman-temannya, meninggalkan Wulan dan ibu mertuanya dalam keheningan yang tak nyaman. Seperti biasa, Bu Ratna memulai percakapan dengan nada yang dingin namun penuh dengan sindiran halus."Wulan, sudah berapa lama kamu menikah dengan Dimas?" tanya Bu Ratna sambil menyeruput teh hijau di cangkirnya."Tiga tahun, Bu," jawab Wulan dengan tenang. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu, n
Pagi itu, seperti biasa, Wulan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi Dimas dan keluarganya. Ia berdiri di dapur, menyeduh kopi dan memanggang roti, sementara pikirannya melayang-layang. Ketenangan pagi selalu menjadi waktu bagi Wulan untuk merenung, meskipun hari-harinya semakin berat dengan perlakuan keluarga Dimas. Di hadapan Dimas, semuanya terlihat baik-baik saja, namun ketika suaminya pergi bekerja, semuanya berubah.Setelah menyiapkan semuanya, Wulan memanggil Dimas dan Bu Ratna yang sudah duduk di meja makan. Ana, seperti biasa, belum bangun. Sarapan kali ini berlangsung dalam keheningan yang canggung. Bu Ratna tidak banyak bicara, hanya sesekali menanyakan hal-hal yang remeh, namun tatapannya sering kali terasa menilai. Seolah-olah setiap tindakan Wulan tidak pernah benar di matanya.Dimas, yang tidak menyadari ketegangan halus di antara Wulan dan ibunya, mencoba mencairkan suasana. "Sayang, aku mungkin pulang agak malam hari ini. Ada meeting mendadak dengan klien da
Hari-hari terus berlalu, dan bagi Wulan, waktu seolah bergerak dalam irama yang lambat namun penuh tekanan. Setiap pagi, ia menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga, memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk Dimas dan keluarganya. Di hadapan Dimas, ia tetap wanita yang tabah, tersenyum lembut dan penuh kasih sayang. Tapi ketika Dimas pergi bekerja, kenyataan yang sesungguhnya datang seperti bayangan gelap yang menghantui hidupnya.Pada suatu siang, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di ruang tamu bersama Bu Ratna dan Ana. Suasana di rumah begitu sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar, menghitung setiap detik dalam keheningan yang menegangkan. Bu Ratna menyesap teh sambil menatap keluar jendela, sementara Ana sibuk dengan ponselnya, jarang menatap Wulan."Kamu nggak ada rencana untuk jalan-jalan, Wulan?" tanya Ana tiba-tiba, nadanya terdengar ringan, tapi ada sindiran halus yang tersembunyi. "Mungkin bisa ajak teman-teman kamu atau siapa gitu. Biar nggak cuma di rum