Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.
Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas di rumah dan mengikuti perintah ibu mertuanya tanpa pernah mempertimbangkan cara lain untuk membantu keuangan keluarga. Mungkin, dengan sedikit usaha, ia bisa membuat perubahan yang signifikan dalam hidupnya.
Setelah selesai dengan pekerjaan rumah pagi itu, Wulan memutuskan untuk keluar sebentar. Ia mengunjungi sebuah kafe kecil di dekat rumah, tempat di mana ia sering merasa tenang dan dapat melarikan diri dari rutinitas sehari-hari. Di sana, ia duduk di sudut kafe dengan secangkir kopi hangat, sambil membuka laptopnya dan mencari informasi tentang peluang kerja sampingan.
Ia menemukan beberapa iklan pekerjaan yang menawarkan pekerjaan dari rumah, seperti penulisan artikel atau administrasi online. Meskipun Wulan tidak memiliki pengalaman sebelumnya, ia merasa bahwa ini bisa menjadi awal yang baik. Ia mulai menghubungi beberapa pemberi kerja dan mengirimkan lamaran, berharap mendapatkan respon positif.
Ketika Wulan kembali ke rumah, ibu mertuanya sudah menunggu di dapur, menanyakan berbagai pekerjaan yang harus dilakukan hari itu. Wulan hanya menjawab dengan singkat, berusaha untuk tetap fokus pada tujuannya. Ia tidak memberitahukan rencananya kepada ibu mertuanya, karena ia tahu betapa ketatnya pengawasan ibu mertuanya terhadap setiap langkahnya.
Selama beberapa hari berikutnya, Wulan terus berusaha untuk mengatur waktunya dengan baik. Ia mengerjakan pekerjaan rumah dengan cepat, dan setelah itu, ia menghabiskan waktu di depan laptopnya untuk menyelesaikan pekerjaan sampingan yang mulai ia terima. Meskipun terkadang sangat melelahkan, Wulan merasa bahwa ia akhirnya bisa melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.
Di luar rutinitas sehari-harinya, Wulan mulai merasa ada perubahan kecil yang positif dalam dirinya. Setiap kali ia menerima pembayaran dari pekerjaan sampingan, ia menyimpan uang tersebut di tempat yang aman, berencana untuk menggunakannya sebagai cadangan. Setiap bulan, ia bisa menambah jumlah tabungannya sedikit demi sedikit. Meski masih jauh dari cukup untuk mengubah hidupnya secara drastis, Wulan merasa bahwa langkah-langkah kecil ini bisa menjadi awal dari perubahan besar.
Ketika Dimas pulang dari pekerjaannya dan menemukan Wulan yang tampak lebih ceria, ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. "Sayang, sepertinya kamu lebih bahagia akhir-akhir ini. Ada apa?" tanya Dimas dengan nada yang penuh perhatian.
Wulan tersenyum dan menjawab, "Aku merasa lebih baik. Aku hanya mencoba untuk membuat hari-hariku lebih produktif."
Dimas mengangguk, tampak puas dengan jawabannya. Namun, Wulan merasakan ketidaknyamanan kecil di dalam hatinya. Ia tidak ingin mengungkapkan semua perasaannya kepada Dimas, terutama tentang pekerjaan sampingan yang sedang ia lakukan. Ia takut jika Dimas tahu, mungkin dia akan merasa tertekan atau bahkan tidak mendukung langkahnya.
Di tengah rutinitas yang semakin padat, Wulan juga berusaha untuk menjaga kesehatannya. Ia mulai berolahraga ringan di pagi hari, dan kadang-kadang, ia menyempatkan diri untuk membaca buku atau melakukan aktivitas yang ia nikmati. Ini adalah bagian dari usahanya untuk tetap menjaga keseimbangan hidupnya di tengah semua tekanan yang dihadapinya.
Suatu malam, ketika Wulan sedang duduk sendirian di ruang tamu, ia menerima pesan dari salah satu pemberi kerja pekerjaan sampingan. Pesan itu berisi tawaran untuk proyek yang lebih besar dengan bayaran yang lebih tinggi. Wulan merasa senang, tetapi juga cemas. Proyek ini akan membutuhkan waktu dan usaha yang lebih banyak, dan ia harus memastikan bahwa ia bisa mengatur waktunya dengan baik.
Wulan memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Ini adalah kesempatan besar untuk meningkatkan pendapatannya dan mungkin untuk membangun sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas sehari-hari. Dia tahu bahwa jalan yang harus ditempuh tidak akan mudah, tetapi dia merasa siap untuk menghadapi tantangan itu.
Hari-hari berlalu, dan Wulan semakin mahir dalam mengatur waktu antara pekerjaan rumah, pekerjaan sampingan, dan kehidupan sehari-harinya. Ia mulai merasakan hasil dari usahanya—tabungannya meningkat, dan ia merasa lebih percaya diri. Setiap kali ada kemajuan kecil, seperti pembayaran yang diterima atau proyek yang selesai, ia merasa semakin dekat dengan tujuannya.
Namun, Wulan masih harus menghadapi kenyataan bahwa di rumah, situasinya tidak banyak berubah. Ibu mertuanya terus memberikan perintah-perintah yang semakin menambah beban Wulan, dan Ana masih bersikap acuh tak acuh. Walaupun demikian, Wulan berusaha untuk tidak membiarkan hal-hal ini menghentikannya. Ia terus melanjutkan rencananya dengan tekad yang semakin kuat.
Di suatu pagi yang cerah, saat Wulan sedang berbelanja di pasar, ia bertemu dengan seorang wanita yang tampak akrab. Wanita tersebut adalah teman lama dari Wulan, yang kebetulan sedang berkunjung ke kota tersebut. Mereka bertukar kabar dan Wulan menceritakan sedikit tentang kehidupannya sekarang.
Wanita itu terkesan dengan keteguhan Wulan. "Wulan, kamu selalu punya kekuatan luar biasa untuk menghadapi tantangan. Aku yakin kamu akan mencapai apa yang kamu impikan."
Kata-kata itu memberikan dorongan tambahan bagi Wulan. Ia merasa ada orang yang percaya padanya, dan ini memberi semangat baru untuk terus berjuang.
Ketika Wulan kembali ke rumah, ia merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada di depannya. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan banyak hal yang harus diubah. Namun, dengan setiap langkah yang ia ambil, Wulan semakin yakin bahwa ia bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Dengan tekad yang semakin kuat dan harapan yang terus berkembang, Wulan melanjutkan perjalanannya, berharap bahwa suatu hari nanti, semua usaha dan pengorbanannya akan membuahkan hasil. Dan meskipun tantangan masih ada di depan, Wulan merasa lebih siap dari sebelumnya untuk menghadapinya.
Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai me
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi."Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus,
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.Wula
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Rina berlalu dengan cepat. Wulan mulai terlibat lebih intens dalam proyek-proyek Solus Group, meski tetap menjaga rutinitas rumah tangganya dengan cermat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan siap untuk Dimas sebelum berangkat kerja, dan ketika Dimas pulang, Wulan selalu ada di rumah, menyiapkan makan malam dengan rapi.Namun, di balik semua itu, Wulan mulai merasakan tekanan yang lebih besar dari keluarga Dimas, terutama dari ibu mertuanya, Bu Ratna, dan Ana. Keduanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin dan menyindir Wulan di saat Dimas tidak berada di rumah. Meski perlakuan mereka belum sepenuhnya kasar, Wulan bisa merasakan ketidaksukaan yang semakin jelas dari hari ke hari.Suatu sore, ketika Wulan sedang memotong sayuran di dapur, Ana masuk dengan wajah cemberut. Gadis itu langsung mengambil segelas air tanpa menyapa Wulan sama sekali. Sikap dingin itu sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini Ana tampak lebih kesal daripada biasanya."Kak W
Waktu terus berjalan, dan Wulan mulai terbiasa dengan perlakuan dingin yang ia terima dari Bu Ratna dan Ana. Setiap hari seperti permainan di mana ia harus menjaga ketenangannya, memainkan peran sebagai menantu dan istri yang baik di depan keluarga Dimas. Ia masih setia menyembunyikan perasaannya, menutup rapat-rapat rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah kekuatan yang pelan-pelan terbangun dari dalam dirinya.Hari itu, setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan bersama Bu Ratna. Ana sudah pergi lebih awal untuk bertemu teman-temannya, meninggalkan Wulan dan ibu mertuanya dalam keheningan yang tak nyaman. Seperti biasa, Bu Ratna memulai percakapan dengan nada yang dingin namun penuh dengan sindiran halus."Wulan, sudah berapa lama kamu menikah dengan Dimas?" tanya Bu Ratna sambil menyeruput teh hijau di cangkirnya."Tiga tahun, Bu," jawab Wulan dengan tenang. Ia tahu ke mana arah pertanyaan itu, n