Share

Bab 5: Bayangan di Balik Tirai

Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.

Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.

Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.

Daftar Pekerjaan Hari Ini:

1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.

2. Cuci dan setrika semua pakaian.

3. Siapkan makan siang dan malam.

4. Belanja kebutuhan dapur.

Wulan menatap daftar tersebut dengan perasaan campur aduk. Daftar pekerjaan ini terasa seperti beban tambahan, tetapi ia tahu bahwa ia harus menyelesaikannya. Ia memulai tugas-tugasnya dengan langkah yang berat, memastikan semuanya dilakukan dengan sempurna.

Sementara itu, Ana muncul di dapur, masih dengan rambut acak-acakan dan mata yang mengantuk. "Mbak, aku butuh kamu untuk ambilkan paket dari pos, ya? Dan juga, belikan aku beberapa kosmetik yang baru keluar," ucap Ana dengan nada yang seperti biasanya—entah memerintah atau meminta.

Wulan menahan napas dan mengangguk. "Iya, Ana. Nanti aku ambilkan."

Ana tidak menunggu jawaban lebih lanjut dan langsung menuju ruang tamu, meninggalkan Wulan yang kembali melanjutkan pekerjaannya. Dengan hati-hati, Wulan menyelesaikan semua tugas di daftar, meski seringkali merasa seperti berada di bawah pengawasan yang ketat.

Hari itu terasa semakin lama, seolah waktu berjalan sangat lambat. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, Wulan menuju ke luar untuk membeli kebutuhan dapur dan memenuhi permintaan Ana. Di pasar, Wulan merasa sedikit lebih lega, bebas sejenak dari ketegangan di rumah. Namun, rasa tenang itu hanya bersifat sementara.

Di pasar, Wulan berusaha menenangkan dirinya dengan mengamati keramaian, mencoba merasakan kehangatan matahari yang lembut. Ia memilih bahan-bahan dengan hati-hati, berusaha untuk tidak memikirkan semua yang menunggunya di rumah. Namun, setiap kali ia teringat betapa sulitnya situasi di rumah, kelegaan itu cepat memudar.

Ketika ia kembali ke rumah, beban yang harus dihadapi kembali terasa. Ana sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan, sementara ibu mertuanya duduk di dapur, memeriksa bahan-bahan yang telah Wulan beli.

"Bagaimana dengan belanjaanku?" tanya Ana tanpa melihat Wulan.

Wulan mengeluarkan belanjaan dan meletakkannya di meja dapur. "Semua sudah aku beli. Ini beberapa kosmetik yang kamu minta," ujarnya sambil menyerahkan beberapa kotak kosmetik yang telah Ana pesan.

Ana memeriksa barang-barangnya dengan cepat dan kemudian melanjutkan aktivitasnya. Sementara itu, ibu mertua Wulan memberikan perintah tambahan untuk menyiapkan makan malam lebih awal karena akan ada beberapa tamu yang datang.

Wulan mengangguk dan segera mulai menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam. Ketika semuanya hampir siap, ibu mertuanya memanggil Wulan ke ruang tamu.

"Wulan, aku ingin kamu memastikan bahwa semuanya siap sebelum para tamu datang. Mereka akan tiba dalam satu jam," ucap ibu mertuanya dengan nada tegas. "Jangan ada yang kurang."

Wulan mengangguk dan kembali ke dapur, berusaha untuk tetap fokus dan tidak membiarkan stres menguasai dirinya. Namun, hatinya terasa semakin berat. Setiap kali ia merasa sudah melakukan segalanya dengan benar, selalu ada sesuatu yang terasa kurang atau tidak sesuai dengan harapan ibu mertuanya.

Malam tiba, dan rumah kembali dipenuhi dengan tamu-tamu ibu mertua Wulan. Suara tawa dan percakapan ramai menggema di seluruh rumah. Wulan melayani para tamu dengan ramah, berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi ekspektasi mereka, meski hatinya terasa hampa.

Di tengah keramaian itu, Wulan merasa seperti berada di luar lingkaran. Para tamu berbicara tentang topik-topik yang tidak familiar baginya—tentang bisnis, investasi, dan kehidupan sosial yang jauh dari dunia yang ia kenal. Ia merasa seperti berada di luar tempat yang seharusnya ia miliki, terasing dalam lingkungan yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupannya.

Ketika kesempatan akhirnya datang untuk beristirahat sejenak, Wulan duduk di sudut ruangan, menikmati secangkir teh yang disiapkannya sendiri. Ia mencoba untuk tenang, tetapi pikirannya terus berputar—mengenai masa depan, mengenai apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki keadaan, dan mengenai seberapa lama ia bisa terus bertahan seperti ini.

Tiba-tiba, Ana muncul di sampingnya, memandang Wulan dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu tidak ikut berbicara dengan para tamu? Bukankah itu seharusnya menjadi tugasmu juga sebagai istri Dimas?" tanyanya dengan nada sinis.

Wulan terkejut, tetapi mencoba untuk tetap tenang. "Aku hanya ingin memberikan mereka ruang untuk menikmati malam ini. Lagipula, aku lebih suka duduk sejenak dan beristirahat."

Ana mengangkat bahu. "Baiklah, terserah kamu."

Setelah Ana pergi, Wulan memandangi keramaian dari sudutnya. Ia merasa sendirian di tengah-tengah hiruk-pikuk itu, merasa terasing dalam dunia yang tidak sepenuhnya ia pahami. Perasaan ini semakin menekan hatinya, membuatnya merasa semakin terasing dan tidak berdaya.

Malam itu, setelah para tamu pergi, Wulan membersihkan sisa-sisa pesta dengan perasaan lelah dan kosong. Ia merasa seolah-olah telah menghabiskan seluruh tenaganya hanya untuk memastikan bahwa semua orang di sekelilingnya merasa nyaman dan puas. Namun, ketika semuanya selesai dan rumah kembali tenang, Wulan duduk di dapur, menatap tumpukan piring dan gelas kotor yang harus ia bersihkan.

Ada rasa hampa dan keputusasaan yang melanda dirinya. Ia tahu bahwa jika ia terus seperti ini, ia akan semakin tertekan. Wulan mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain, tentang bagaimana caranya untuk mengubah hidupnya dan memperbaiki keadaan. Namun, ia juga menyadari bahwa untuk mencapai itu, ia harus lebih dari sekadar bertahan.

Dengan perasaan yang berat dan penuh keputusasaan, Wulan akhirnya menutup mata dan memejamkan dirinya di kursi dapur. Ia berdoa dalam hatinya, berharap agar ada cahaya yang bisa membimbingnya keluar dari kegelapan yang melingkupi hidupnya saat ini.

Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang hampir sama, tetapi di dalam diri Wulan, ada perasaan yang semakin berkembang—sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu, untuk membuktikan bahwa ia tidak hanya sekadar istri yang patuh. Dengan penuh tekad, Wulan mulai merencanakan langkah-langkah kecil untuk mengubah hidupnya, sambil terus bertahan dalam tekanan yang ada.

Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah begitu saja. Keinginan untuk memperbaiki keadaan dan menemukan jalan keluar dari situasi ini semakin membara dalam dirinya. Dan meskipun ia belum tahu bagaimana caranya, Wulan mulai merasakan secercah harapan di ujung terowongan yang gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status