Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.
Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.
Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.
Daftar Pekerjaan Hari Ini:
1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.
2. Cuci dan setrika semua pakaian. 3. Siapkan makan siang dan malam. 4. Belanja kebutuhan dapur.Wulan menatap daftar tersebut dengan perasaan campur aduk. Daftar pekerjaan ini terasa seperti beban tambahan, tetapi ia tahu bahwa ia harus menyelesaikannya. Ia memulai tugas-tugasnya dengan langkah yang berat, memastikan semuanya dilakukan dengan sempurna.
Sementara itu, Ana muncul di dapur, masih dengan rambut acak-acakan dan mata yang mengantuk. "Mbak, aku butuh kamu untuk ambilkan paket dari pos, ya? Dan juga, belikan aku beberapa kosmetik yang baru keluar," ucap Ana dengan nada yang seperti biasanya—entah memerintah atau meminta.
Wulan menahan napas dan mengangguk. "Iya, Ana. Nanti aku ambilkan."
Ana tidak menunggu jawaban lebih lanjut dan langsung menuju ruang tamu, meninggalkan Wulan yang kembali melanjutkan pekerjaannya. Dengan hati-hati, Wulan menyelesaikan semua tugas di daftar, meski seringkali merasa seperti berada di bawah pengawasan yang ketat.
Hari itu terasa semakin lama, seolah waktu berjalan sangat lambat. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, Wulan menuju ke luar untuk membeli kebutuhan dapur dan memenuhi permintaan Ana. Di pasar, Wulan merasa sedikit lebih lega, bebas sejenak dari ketegangan di rumah. Namun, rasa tenang itu hanya bersifat sementara.
Di pasar, Wulan berusaha menenangkan dirinya dengan mengamati keramaian, mencoba merasakan kehangatan matahari yang lembut. Ia memilih bahan-bahan dengan hati-hati, berusaha untuk tidak memikirkan semua yang menunggunya di rumah. Namun, setiap kali ia teringat betapa sulitnya situasi di rumah, kelegaan itu cepat memudar.
Ketika ia kembali ke rumah, beban yang harus dihadapi kembali terasa. Ana sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangan, sementara ibu mertuanya duduk di dapur, memeriksa bahan-bahan yang telah Wulan beli.
"Bagaimana dengan belanjaanku?" tanya Ana tanpa melihat Wulan.
Wulan mengeluarkan belanjaan dan meletakkannya di meja dapur. "Semua sudah aku beli. Ini beberapa kosmetik yang kamu minta," ujarnya sambil menyerahkan beberapa kotak kosmetik yang telah Ana pesan.
Ana memeriksa barang-barangnya dengan cepat dan kemudian melanjutkan aktivitasnya. Sementara itu, ibu mertua Wulan memberikan perintah tambahan untuk menyiapkan makan malam lebih awal karena akan ada beberapa tamu yang datang.
Wulan mengangguk dan segera mulai menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam. Ketika semuanya hampir siap, ibu mertuanya memanggil Wulan ke ruang tamu.
"Wulan, aku ingin kamu memastikan bahwa semuanya siap sebelum para tamu datang. Mereka akan tiba dalam satu jam," ucap ibu mertuanya dengan nada tegas. "Jangan ada yang kurang."
Wulan mengangguk dan kembali ke dapur, berusaha untuk tetap fokus dan tidak membiarkan stres menguasai dirinya. Namun, hatinya terasa semakin berat. Setiap kali ia merasa sudah melakukan segalanya dengan benar, selalu ada sesuatu yang terasa kurang atau tidak sesuai dengan harapan ibu mertuanya.
Malam tiba, dan rumah kembali dipenuhi dengan tamu-tamu ibu mertua Wulan. Suara tawa dan percakapan ramai menggema di seluruh rumah. Wulan melayani para tamu dengan ramah, berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi ekspektasi mereka, meski hatinya terasa hampa.
Di tengah keramaian itu, Wulan merasa seperti berada di luar lingkaran. Para tamu berbicara tentang topik-topik yang tidak familiar baginya—tentang bisnis, investasi, dan kehidupan sosial yang jauh dari dunia yang ia kenal. Ia merasa seperti berada di luar tempat yang seharusnya ia miliki, terasing dalam lingkungan yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupannya.
Ketika kesempatan akhirnya datang untuk beristirahat sejenak, Wulan duduk di sudut ruangan, menikmati secangkir teh yang disiapkannya sendiri. Ia mencoba untuk tenang, tetapi pikirannya terus berputar—mengenai masa depan, mengenai apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki keadaan, dan mengenai seberapa lama ia bisa terus bertahan seperti ini.
Tiba-tiba, Ana muncul di sampingnya, memandang Wulan dengan tatapan kosong. "Kenapa kamu tidak ikut berbicara dengan para tamu? Bukankah itu seharusnya menjadi tugasmu juga sebagai istri Dimas?" tanyanya dengan nada sinis.
Wulan terkejut, tetapi mencoba untuk tetap tenang. "Aku hanya ingin memberikan mereka ruang untuk menikmati malam ini. Lagipula, aku lebih suka duduk sejenak dan beristirahat."
Ana mengangkat bahu. "Baiklah, terserah kamu."
Setelah Ana pergi, Wulan memandangi keramaian dari sudutnya. Ia merasa sendirian di tengah-tengah hiruk-pikuk itu, merasa terasing dalam dunia yang tidak sepenuhnya ia pahami. Perasaan ini semakin menekan hatinya, membuatnya merasa semakin terasing dan tidak berdaya.
Malam itu, setelah para tamu pergi, Wulan membersihkan sisa-sisa pesta dengan perasaan lelah dan kosong. Ia merasa seolah-olah telah menghabiskan seluruh tenaganya hanya untuk memastikan bahwa semua orang di sekelilingnya merasa nyaman dan puas. Namun, ketika semuanya selesai dan rumah kembali tenang, Wulan duduk di dapur, menatap tumpukan piring dan gelas kotor yang harus ia bersihkan.
Ada rasa hampa dan keputusasaan yang melanda dirinya. Ia tahu bahwa jika ia terus seperti ini, ia akan semakin tertekan. Wulan mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain, tentang bagaimana caranya untuk mengubah hidupnya dan memperbaiki keadaan. Namun, ia juga menyadari bahwa untuk mencapai itu, ia harus lebih dari sekadar bertahan.
Dengan perasaan yang berat dan penuh keputusasaan, Wulan akhirnya menutup mata dan memejamkan dirinya di kursi dapur. Ia berdoa dalam hatinya, berharap agar ada cahaya yang bisa membimbingnya keluar dari kegelapan yang melingkupi hidupnya saat ini.
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang hampir sama, tetapi di dalam diri Wulan, ada perasaan yang semakin berkembang—sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu, untuk membuktikan bahwa ia tidak hanya sekadar istri yang patuh. Dengan penuh tekad, Wulan mulai merencanakan langkah-langkah kecil untuk mengubah hidupnya, sambil terus bertahan dalam tekanan yang ada.
Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah begitu saja. Keinginan untuk memperbaiki keadaan dan menemukan jalan keluar dari situasi ini semakin membara dalam dirinya. Dan meskipun ia belum tahu bagaimana caranya, Wulan mulai merasakan secercah harapan di ujung terowongan yang gelap.
Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas
Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai me
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi."Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus,
Keesokan harinya, Wulan terbangun lebih awal dari biasanya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, tetapi juga rasa semangat yang membara. Pagi ini adalah hari di mana ia akan kembali terlibat dalam perusahaannya, Solus Group, setelah sekian lama hanya menjadi penonton dari balik layar. Meski ia telah mempercayakan manajemen perusahaan kepada tim yang kompeten, tidak ada yang bisa menandingi perasaan saat langsung berada di medan operasi.Setelah memastikan sarapan telah siap di meja, Wulan mengenakan pakaian yang lebih formal dibanding biasanya. Sebuah blus elegan berwarna krem dan rok pensil hitam yang memperlihatkan sosoknya yang anggun namun kuat. Ia tidak ingin terlalu mencolok, namun tetap menunjukkan profesionalisme yang selama ini ia sembunyikan dari keluarga Dimas.Saat Wulan sedang merapikan rambutnya di depan cermin, Dimas muncul dari kamar mandi dengan senyum. "Kamu terlihat cantik sekali hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" tanyanya sambil memandang Wulan penuh kekaguman.Wula
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Rina berlalu dengan cepat. Wulan mulai terlibat lebih intens dalam proyek-proyek Solus Group, meski tetap menjaga rutinitas rumah tangganya dengan cermat. Setiap pagi, ia memastikan sarapan siap untuk Dimas sebelum berangkat kerja, dan ketika Dimas pulang, Wulan selalu ada di rumah, menyiapkan makan malam dengan rapi.Namun, di balik semua itu, Wulan mulai merasakan tekanan yang lebih besar dari keluarga Dimas, terutama dari ibu mertuanya, Bu Ratna, dan Ana. Keduanya mulai menunjukkan sikap yang lebih dingin dan menyindir Wulan di saat Dimas tidak berada di rumah. Meski perlakuan mereka belum sepenuhnya kasar, Wulan bisa merasakan ketidaksukaan yang semakin jelas dari hari ke hari.Suatu sore, ketika Wulan sedang memotong sayuran di dapur, Ana masuk dengan wajah cemberut. Gadis itu langsung mengambil segelas air tanpa menyapa Wulan sama sekali. Sikap dingin itu sudah menjadi hal biasa, tapi kali ini Ana tampak lebih kesal daripada biasanya."Kak W