Share

Bab 3: Senyum yang Terasa Pahit

Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.

Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.

Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan lembut.

Dimas menghampiri Wulan dan mencium keningnya dengan lembut, seperti kebiasaan yang sudah mereka bangun sejak awal pernikahan. "Jaga diri baik-baik, ya," ucapnya sebelum melangkah keluar pintu.

Begitu pintu tertutup, suasana rumah kembali berubah. Suara langkah ibu mertua Wulan yang perlahan menuruni tangga membuat suasana terasa lebih berat. Wulan sudah terbiasa dengan perubahan ini. Setiap kali Dimas pergi, kehangatan rumah ini perlahan-lahan memudar, digantikan oleh rasa dingin yang halus namun menyakitkan.

"Ibu," sapa Wulan sopan, memandang wanita yang kini berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan yang sulit diartikan.

Tanpa menjawab sapaan Wulan, ibu mertuanya berjalan menuju meja makan, menatap sarapan yang sudah siap di atas meja. "Hari ini, aku minta kamu pergi ke pasar dan membeli beberapa bahan. Aku ingin kita memasak makanan spesial untuk beberapa tamu nanti malam," ucap ibu mertua Wulan sambil menarik kursi dan duduk dengan anggun.

Wulan sedikit terkejut. "Tamu? Siapa yang akan datang, Bu?"

"Ibu Dimas dan teman-temannya," jawab ibu mertuanya dengan nada datar. "Mereka akan datang sore nanti. Jadi pastikan semuanya siap. Rumah ini harus terlihat sempurna."

Wulan mengangguk patuh. "Baik, Bu. Saya akan pergi ke pasar setelah ini."

Meski perintah itu terdengar wajar, Wulan tahu bahwa apa pun yang ia lakukan nanti harus sempurna di mata ibu mertuanya. Tak ada ruang untuk kesalahan, sekecil apa pun itu. Di rumah ini, Wulan selalu merasa bahwa setiap langkah yang diambilnya selalu dinilai, dan selalu ada harapan tinggi yang harus ia penuhi. Beban itu semakin lama semakin terasa menekan, membuat Wulan sering merasa tak berdaya.

Setelah membereskan meja sarapan dan memastikan semuanya rapi, Wulan bersiap-siap untuk pergi ke pasar. Ana, yang baru bangun dan masih dengan mata yang sedikit bengkak, melewati Wulan di ruang tamu. "Aku titip beli es krim, ya, Mbak. Pastikan beli yang aku suka," katanya tanpa memandang Wulan.

Wulan hanya mengangguk. "Iya, Ana. Nanti aku beli."

Ana melanjutkan langkahnya menuju sofa, menyalakan televisi, dan tenggelam dalam dunia hiburannya. Wulan menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari rumah, berjalan menuju pasar dengan langkah yang lebih berat dari biasanya.

Saat berjalan di antara kerumunan orang di pasar, Wulan merasa sejenak bebas dari tekanan yang menghantui rumah mertuanya. Di sini, di antara hiruk-pikuk kehidupan pasar, ia bisa merasakan diri sendiri. Namun, bahkan di sini, pikirannya tak bisa lepas dari kewajiban-kewajiban yang menantinya di rumah.

"Ini akan jadi hari yang panjang," gumamnya pada diri sendiri.

Sore itu, setelah semua persiapan selesai dan rumah terlihat rapi, Wulan menunggu kedatangan tamu. Pintu depan berderit ketika ibu mertua Wulan membuka pintu untuk menyambut para tamu—sekelompok wanita paruh baya yang terlihat anggun dengan pakaian mereka yang mahal dan tas tangan bermerek. Wulan segera menghampiri, membantu membawa tas mereka ke ruang tamu dan menyiapkan minuman.

“Wulan, cepat siapkan minumannya,” bisik ibu mertua Wulan dengan nada yang nyaris tak terdengar namun penuh perintah.

Wulan segera bergegas ke dapur dan kembali dengan nampan berisi teh panas. Ia menyajikannya dengan senyum sopan, meski ia bisa merasakan pandangan tajam dari para tamu yang sedang menilai setiap gerakannya.

"Wah, ini istri Dimas?" salah satu dari mereka bertanya dengan nada yang terdengar terkejut. "Cantik juga, ya. Tapi, sayang sekali, hidupnya sekarang hanya di rumah."

Ucapan itu, meski terdengar sebagai pujian, terasa seperti tamparan bagi Wulan. Mereka tidak tahu siapa dia sebenarnya, betapa banyak yang telah ia capai sebelum menikah dengan Dimas. Namun, Wulan memilih untuk tetap tersenyum dan tidak membalas. Ia tahu, tidak ada gunanya menjelaskan hidupnya yang lain kepada mereka. Lagi pula, saat ini, ia adalah seorang istri—itu saja yang mereka lihat.

"Ya, Wulan sangat rajin di rumah," jawab ibu mertua Wulan dengan nada bangga yang sedikit dipaksakan. "Dia selalu memastikan rumah ini bersih dan teratur."

Wulan menunduk, berusaha menahan perasaan campur aduk yang tiba-tiba menguasainya. Ia merasakan desakan di dadanya, ingin berteriak, ingin memberitahu mereka bahwa ia lebih dari sekadar menantu yang pandai membersihkan rumah. Namun, lagi-lagi, ia memilih diam.

Setelah para tamu pergi, Wulan merasa kelelahan, bukan karena pekerjaannya, tetapi karena tekanan emosional yang harus ia hadapi sepanjang hari. Ia duduk di ruang tamu yang kini kembali sepi, memandangi meja yang masih dipenuhi dengan sisa-sisa minuman.

Ana yang sejak tadi tak terlihat, muncul dari belakang dengan wajah datar. "Kamu terlihat capek, Mbak," katanya tanpa banyak emosi. "Mungkin kamu harus lebih santai."

Ada ironi dalam ucapan Ana, seolah-olah ia berbicara bukan untuk memberi saran, melainkan untuk mengingatkan Wulan bahwa dirinya ada di posisi yang lebih tinggi—bahwa Wulan, sebagai menantu, tidak boleh terlihat lelah. Ana kemudian berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.

Wulan terdiam. Tubuhnya mungkin lelah, tetapi hatinya lebih lelah lagi. Di dalam rumah ini, ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah permainan yang aturannya tidak pernah benar-benar ia pahami. Semua orang tampak berusaha mengujinya, menilainya, dan berharap ia melakukan segala sesuatunya dengan sempurna.

Ketika Dimas pulang malam itu, ia menemukan Wulan sedang membersihkan ruang tamu. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya lembut.

Wulan mengangguk. "Iya, Mas. Hanya sedikit lelah. Tadi ibu menerima tamu, jadi aku sibuk menyiapkan semuanya."

Dimas tersenyum dan memeluk Wulan dengan lembut. "Kamu pasti capek. Nggak usah terlalu memaksakan diri, ya."

Wulan mengangguk, meski dalam hatinya ia ingin berteriak. Ada begitu banyak yang ingin ia ceritakan kepada Dimas—tentang betapa berat beban yang ia rasakan setiap hari, tentang perasaan terperangkap dalam harapan yang tak pernah ia inginkan. Namun, Wulan tetap diam. Ia tidak ingin membebani suaminya dengan masalah-masalah yang menurutnya kecil. Ia mencintai Dimas, dan baginya, menjaga kedamaian rumah tangga adalah yang terpenting.

Malam itu, ketika mereka tidur berdua, Wulan merasa damai di samping Dimas. Namun, jauh di dalam hatinya, perasaan bahwa ada sesuatu yang salah tak bisa ia hilangkan. Sebuah perasaan yang terus tumbuh, perlahan-lahan, menunggu saatnya untuk meledak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status