Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.
Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.
Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan lembut.
Dimas menghampiri Wulan dan mencium keningnya dengan lembut, seperti kebiasaan yang sudah mereka bangun sejak awal pernikahan. "Jaga diri baik-baik, ya," ucapnya sebelum melangkah keluar pintu.
Begitu pintu tertutup, suasana rumah kembali berubah. Suara langkah ibu mertua Wulan yang perlahan menuruni tangga membuat suasana terasa lebih berat. Wulan sudah terbiasa dengan perubahan ini. Setiap kali Dimas pergi, kehangatan rumah ini perlahan-lahan memudar, digantikan oleh rasa dingin yang halus namun menyakitkan.
"Ibu," sapa Wulan sopan, memandang wanita yang kini berdiri di ambang pintu dapur dengan tatapan yang sulit diartikan.
Tanpa menjawab sapaan Wulan, ibu mertuanya berjalan menuju meja makan, menatap sarapan yang sudah siap di atas meja. "Hari ini, aku minta kamu pergi ke pasar dan membeli beberapa bahan. Aku ingin kita memasak makanan spesial untuk beberapa tamu nanti malam," ucap ibu mertua Wulan sambil menarik kursi dan duduk dengan anggun.
Wulan sedikit terkejut. "Tamu? Siapa yang akan datang, Bu?"
"Ibu Dimas dan teman-temannya," jawab ibu mertuanya dengan nada datar. "Mereka akan datang sore nanti. Jadi pastikan semuanya siap. Rumah ini harus terlihat sempurna."
Wulan mengangguk patuh. "Baik, Bu. Saya akan pergi ke pasar setelah ini."
Meski perintah itu terdengar wajar, Wulan tahu bahwa apa pun yang ia lakukan nanti harus sempurna di mata ibu mertuanya. Tak ada ruang untuk kesalahan, sekecil apa pun itu. Di rumah ini, Wulan selalu merasa bahwa setiap langkah yang diambilnya selalu dinilai, dan selalu ada harapan tinggi yang harus ia penuhi. Beban itu semakin lama semakin terasa menekan, membuat Wulan sering merasa tak berdaya.
Setelah membereskan meja sarapan dan memastikan semuanya rapi, Wulan bersiap-siap untuk pergi ke pasar. Ana, yang baru bangun dan masih dengan mata yang sedikit bengkak, melewati Wulan di ruang tamu. "Aku titip beli es krim, ya, Mbak. Pastikan beli yang aku suka," katanya tanpa memandang Wulan.
Wulan hanya mengangguk. "Iya, Ana. Nanti aku beli."
Ana melanjutkan langkahnya menuju sofa, menyalakan televisi, dan tenggelam dalam dunia hiburannya. Wulan menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari rumah, berjalan menuju pasar dengan langkah yang lebih berat dari biasanya.
Saat berjalan di antara kerumunan orang di pasar, Wulan merasa sejenak bebas dari tekanan yang menghantui rumah mertuanya. Di sini, di antara hiruk-pikuk kehidupan pasar, ia bisa merasakan diri sendiri. Namun, bahkan di sini, pikirannya tak bisa lepas dari kewajiban-kewajiban yang menantinya di rumah.
"Ini akan jadi hari yang panjang," gumamnya pada diri sendiri.
Sore itu, setelah semua persiapan selesai dan rumah terlihat rapi, Wulan menunggu kedatangan tamu. Pintu depan berderit ketika ibu mertua Wulan membuka pintu untuk menyambut para tamu—sekelompok wanita paruh baya yang terlihat anggun dengan pakaian mereka yang mahal dan tas tangan bermerek. Wulan segera menghampiri, membantu membawa tas mereka ke ruang tamu dan menyiapkan minuman.
“Wulan, cepat siapkan minumannya,” bisik ibu mertua Wulan dengan nada yang nyaris tak terdengar namun penuh perintah.
Wulan segera bergegas ke dapur dan kembali dengan nampan berisi teh panas. Ia menyajikannya dengan senyum sopan, meski ia bisa merasakan pandangan tajam dari para tamu yang sedang menilai setiap gerakannya.
"Wah, ini istri Dimas?" salah satu dari mereka bertanya dengan nada yang terdengar terkejut. "Cantik juga, ya. Tapi, sayang sekali, hidupnya sekarang hanya di rumah."
Ucapan itu, meski terdengar sebagai pujian, terasa seperti tamparan bagi Wulan. Mereka tidak tahu siapa dia sebenarnya, betapa banyak yang telah ia capai sebelum menikah dengan Dimas. Namun, Wulan memilih untuk tetap tersenyum dan tidak membalas. Ia tahu, tidak ada gunanya menjelaskan hidupnya yang lain kepada mereka. Lagi pula, saat ini, ia adalah seorang istri—itu saja yang mereka lihat.
"Ya, Wulan sangat rajin di rumah," jawab ibu mertua Wulan dengan nada bangga yang sedikit dipaksakan. "Dia selalu memastikan rumah ini bersih dan teratur."
Wulan menunduk, berusaha menahan perasaan campur aduk yang tiba-tiba menguasainya. Ia merasakan desakan di dadanya, ingin berteriak, ingin memberitahu mereka bahwa ia lebih dari sekadar menantu yang pandai membersihkan rumah. Namun, lagi-lagi, ia memilih diam.
Setelah para tamu pergi, Wulan merasa kelelahan, bukan karena pekerjaannya, tetapi karena tekanan emosional yang harus ia hadapi sepanjang hari. Ia duduk di ruang tamu yang kini kembali sepi, memandangi meja yang masih dipenuhi dengan sisa-sisa minuman.
Ana yang sejak tadi tak terlihat, muncul dari belakang dengan wajah datar. "Kamu terlihat capek, Mbak," katanya tanpa banyak emosi. "Mungkin kamu harus lebih santai."
Ada ironi dalam ucapan Ana, seolah-olah ia berbicara bukan untuk memberi saran, melainkan untuk mengingatkan Wulan bahwa dirinya ada di posisi yang lebih tinggi—bahwa Wulan, sebagai menantu, tidak boleh terlihat lelah. Ana kemudian berjalan pergi tanpa menunggu jawaban.
Wulan terdiam. Tubuhnya mungkin lelah, tetapi hatinya lebih lelah lagi. Di dalam rumah ini, ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah permainan yang aturannya tidak pernah benar-benar ia pahami. Semua orang tampak berusaha mengujinya, menilainya, dan berharap ia melakukan segala sesuatunya dengan sempurna.
Ketika Dimas pulang malam itu, ia menemukan Wulan sedang membersihkan ruang tamu. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya lembut.
Wulan mengangguk. "Iya, Mas. Hanya sedikit lelah. Tadi ibu menerima tamu, jadi aku sibuk menyiapkan semuanya."
Dimas tersenyum dan memeluk Wulan dengan lembut. "Kamu pasti capek. Nggak usah terlalu memaksakan diri, ya."
Wulan mengangguk, meski dalam hatinya ia ingin berteriak. Ada begitu banyak yang ingin ia ceritakan kepada Dimas—tentang betapa berat beban yang ia rasakan setiap hari, tentang perasaan terperangkap dalam harapan yang tak pernah ia inginkan. Namun, Wulan tetap diam. Ia tidak ingin membebani suaminya dengan masalah-masalah yang menurutnya kecil. Ia mencintai Dimas, dan baginya, menjaga kedamaian rumah tangga adalah yang terpenting.
Malam itu, ketika mereka tidur berdua, Wulan merasa damai di samping Dimas. Namun, jauh di dalam hatinya, perasaan bahwa ada sesuatu yang salah tak bisa ia hilangkan. Sebuah perasaan yang terus tumbuh, perlahan-lahan, menunggu saatnya untuk meledak.
Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wu
Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.Daftar Pekerjaan Hari Ini:1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.2. Cuci dan setrika semua pakaian.3. Siapkan makan siang dan malam.4. Belanja kebutuhan dapur.Wulan menatap daftar tersebut d
Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas
Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai me
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku
Pagi itu, Wulan terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ada semacam kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun beban yang ia pikul belum berkurang. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi Wulan sudah berdiri di depan jendela kamarnya, memandang ke arah langit yang mulai berwarna oranye lembut. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hari ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang penting.Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas belum bangun, begitu pula ibu mertuanya dan Ana. Kesunyian pagi memberikan Wulan waktu untuk berpikir. Ia merenungkan kehidupannya selama ini—cinta yang ia miliki untuk Dimas, pengorbanan yang ia lakukan, dan perlakuan dingin yang terus ia terima dari keluarga suaminya.Saat Wulan menata piring di meja makan, Dimas muncul dengan senyum mengembang. "Pagi, Sayang," sapanya sambil mendekati Wulan dan memberikan ciuman singkat di pipi."Pagi, Mas. Sarapannya sudah siap," jawab Wulan dengan senyum yang tulus,