Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.
Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai.
"Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"
Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur atau tambah sambal?"
Ana hanya mengangkat bahu dan duduk di meja. "Telurnya jangan terlalu matang, ya. Aku tidak terlalu suka yang keras."
Komentar sederhana itu seharusnya terdengar biasa. Namun, Wulan merasakan ada sesuatu di baliknya. Ada nada dingin, seolah-olah setiap permintaan yang diajukan Ana adalah sebuah kewajiban, bukan permintaan penuh rasa hormat. Wulan menahan napas sejenak, lalu melanjutkan memasak tanpa mengucapkan apa pun. Ia terbiasa dengan komentar seperti itu—komentar kecil yang seolah-olah tidak berarti, tetapi cukup membuat hatinya berdesir.
Setelah sarapan, Dimas muncul dengan senyum lebar di wajahnya. Pagi itu, ia terlihat lebih segar daripada biasanya. "Wulan, hari ini ada rapat penting, tapi setelah itu mungkin aku bisa pulang lebih awal. Kita mungkin bisa makan malam di luar?" tawarnya sambil merapikan dasinya.
Wulan menatap suaminya dengan penuh kasih. Di hadapan Dimas, ia merasa semuanya akan baik-baik saja. "Aku senang sekali kalau bisa makan di luar. Sudah lama kita tidak jalan-jalan berdua," jawab Wulan dengan senyum hangat.
Namun, di tengah obrolan mereka, Wulan menangkap sekilas pandang dari Ana. Mata Ana berkilat sejenak, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam tatapan adik iparnya yang membuat Wulan merasa seakan-akan dia sedang dinilai—seakan apa pun yang dilakukannya salah di mata Ana. Wulan memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan percakapan dengan Dimas.
Setelah beberapa saat, Dimas pun pergi ke kantor. Seperti biasa, ia mencium kening Wulan dengan lembut sebelum berangkat. "Jaga diri baik-baik, ya," katanya. Saat pintu menutup dan suara deru mobil Dimas mulai menjauh, suasana rumah kembali berubah.
Wulan melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja, mencuci piring, dan membereskan dapur. Di belakangnya, Ana berjalan melintasi ruang tamu dengan langkah malas. Ibu mertua Wulan belum turun dari kamar, mungkin masih sibuk dengan hal-hal lain. Sementara itu, Wulan terus bergerak, seperti biasa, menyelesaikan pekerjaannya tanpa suara.
Beberapa jam kemudian, ketika Wulan sedang membersihkan lantai ruang tamu, ia mendengar suara ibu mertuanya turun dari tangga. Ibu Dimas selalu tampil rapi, dengan gaun elegan dan rambut yang ditata sempurna. Wajahnya yang dingin dan tegas mencerminkan kepribadian yang perfeksionis, selalu ingin segala sesuatunya terlihat sempurna, termasuk menantu yang ia pilih untuk anaknya.
"Wulan, bisa kamu panggil tukang kebun untuk merapikan taman belakang? Aku lihat rumputnya mulai tumbuh terlalu panjang. Rumah ini harus tetap rapi, ya. Lagipula, Dimas sudah bekerja keras untuk kita semua," ucapnya dengan nada yang seolah memerintah, tetapi disamarkan dengan perhatian.
Wulan menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menatap ibu mertuanya dengan lembut. "Baik, Bu. Nanti saya hubungi tukang kebun."
Ibu mertua Wulan mendesah kecil, seolah tidak sepenuhnya puas dengan jawaban Wulan. "Dan jangan lupa, kalau bisa, kamu pastikan juga kamar tamu selalu bersih. Kita tidak pernah tahu kapan tamu penting bisa datang, kan?"
Meski permintaan itu terdengar masuk akal, Wulan merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar arahan biasa. Seolah-olah setiap langkahnya dipantau, setiap tugas yang ia lakukan harus selalu sempurna, tanpa celah sedikit pun. Wulan mengangguk dengan sopan, meski di dalam hatinya, ia mulai merasakan kelelahan yang perlahan menumpuk.
"Aku juga mau kamarku dibersihkan nanti, Mbak," Ana menambahkan dari sudut ruangan sambil menatap layar ponselnya. "Tapi tolong jangan terlalu lama, soalnya nanti aku ada rapat Zoom."
Wulan menelan komentar itu tanpa protes. Ia tahu bahwa mengeluh tidak akan membawa perubahan apa pun. Sebagai istri yang baik, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin.
Siang itu, setelah semua tugas rumah selesai, Wulan duduk sejenak di ruang tamu. Hatinya terasa penuh, meski ia tidak bisa menjelaskan apa yang mengganggunya. Ia mencintai Dimas, itu tidak pernah diragukan. Tapi mengapa rasanya begitu berat menjalani hari-hari seperti ini? Mengapa ada perasaan bahwa ia selalu harus membuktikan sesuatu, selalu harus berusaha keras untuk diterima?
Wulan memandang jendela, melihat taman belakang yang kini mulai tertutupi bayangan pepohonan. Sejak menikah, ia sudah menyesuaikan hidupnya dengan ritme keluarga Dimas. Dulu, sebelum menikah, ia adalah seorang wanita mandiri yang mengelola hidupnya dengan caranya sendiri. Namun, sekarang, segalanya terasa berbeda.
Di rumah besar ini, ia merasa kecil. Seolah identitasnya hanya ditentukan oleh bagaimana ia melayani keluarganya, bagaimana ia menjaga rumah ini tetap rapi, dan bagaimana ia memenuhi ekspektasi ibu mertuanya. Tidak ada ruang untuk dirinya sendiri, untuk mimpinya, atau bahkan sekadar waktu untuk berhenti sejenak dan menghirup napas dalam-dalam.
Namun, Wulan berusaha mengabaikan perasaan itu. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi di mata ibu mertuanya dan Ana. Bagi mereka, Wulan harus menjadi istri yang sempurna, menantu yang sempurna, tanpa cela.
Sore itu, Dimas pulang lebih awal seperti yang ia janjikan. Wulan menyambutnya di depan pintu dengan senyum lebar, berusaha menyembunyikan kepenatan yang mulai menyerangnya. "Mas pulang cepat," katanya sambil memeluk Dimas dengan lembut.
"Iya, rapatnya selesai lebih cepat dari yang aku duga. Jadi kita bisa makan malam di luar, ya?" jawab Dimas sambil tersenyum, membalas pelukan istrinya.
Kehadiran Dimas selalu membawa kehangatan bagi Wulan, meski di balik senyum itu, Wulan tahu ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan dari suaminya. Sesuatu yang perlahan-lahan mulai menggerogoti hatinya. Tapi ia tidak pernah ingin membebani Dimas dengan masalah-masalah kecil seperti ini. Wulan tahu betapa kerasnya Dimas bekerja, dan ia ingin menjaga kedamaian rumah tangga mereka.
Malam itu, mereka pergi makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama sebelum menikah. Di sana, di bawah cahaya lilin yang redup, Wulan merasakan sejenak kebahagiaan yang hampir ia lupakan. Bersama Dimas, segalanya terasa lebih mudah. Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa kehidupan nyata tidak selalu seindah malam ini. Ada masalah-masalah yang masih harus ia hadapi, dan semakin hari, masalah itu terasa semakin mendesak.
Namun, untuk malam ini, Wulan memilih untuk menunda kekhawatiran itu. Ia akan menikmati waktu bersama Dimas, berharap bahwa esok hari, semuanya akan terasa lebih baik.
Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan
Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wu
Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.Daftar Pekerjaan Hari Ini:1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.2. Cuci dan setrika semua pakaian.3. Siapkan makan siang dan malam.4. Belanja kebutuhan dapur.Wulan menatap daftar tersebut d
Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas
Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai me
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku