Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.
Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai.
"Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"
Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur atau tambah sambal?"
Ana hanya mengangkat bahu dan duduk di meja. "Telurnya jangan terlalu matang, ya. Aku tidak terlalu suka yang keras."
Komentar sederhana itu seharusnya terdengar biasa. Namun, Wulan merasakan ada sesuatu di baliknya. Ada nada dingin, seolah-olah setiap permintaan yang diajukan Ana adalah sebuah kewajiban, bukan permintaan penuh rasa hormat. Wulan menahan napas sejenak, lalu melanjutkan memasak tanpa mengucapkan apa pun. Ia terbiasa dengan komentar seperti itu—komentar kecil yang seolah-olah tidak berarti, tetapi cukup membuat hatinya berdesir.
Setelah sarapan, Dimas muncul dengan senyum lebar di wajahnya. Pagi itu, ia terlihat lebih segar daripada biasanya. "Wulan, hari ini ada rapat penting, tapi setelah itu mungkin aku bisa pulang lebih awal. Kita mungkin bisa makan malam di luar?" tawarnya sambil merapikan dasinya.
Wulan menatap suaminya dengan penuh kasih. Di hadapan Dimas, ia merasa semuanya akan baik-baik saja. "Aku senang sekali kalau bisa makan di luar. Sudah lama kita tidak jalan-jalan berdua," jawab Wulan dengan senyum hangat.
Namun, di tengah obrolan mereka, Wulan menangkap sekilas pandang dari Ana. Mata Ana berkilat sejenak, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam tatapan adik iparnya yang membuat Wulan merasa seakan-akan dia sedang dinilai—seakan apa pun yang dilakukannya salah di mata Ana. Wulan memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan percakapan dengan Dimas.
Setelah beberapa saat, Dimas pun pergi ke kantor. Seperti biasa, ia mencium kening Wulan dengan lembut sebelum berangkat. "Jaga diri baik-baik, ya," katanya. Saat pintu menutup dan suara deru mobil Dimas mulai menjauh, suasana rumah kembali berubah.
Wulan melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja, mencuci piring, dan membereskan dapur. Di belakangnya, Ana berjalan melintasi ruang tamu dengan langkah malas. Ibu mertua Wulan belum turun dari kamar, mungkin masih sibuk dengan hal-hal lain. Sementara itu, Wulan terus bergerak, seperti biasa, menyelesaikan pekerjaannya tanpa suara.
Beberapa jam kemudian, ketika Wulan sedang membersihkan lantai ruang tamu, ia mendengar suara ibu mertuanya turun dari tangga. Ibu Dimas selalu tampil rapi, dengan gaun elegan dan rambut yang ditata sempurna. Wajahnya yang dingin dan tegas mencerminkan kepribadian yang perfeksionis, selalu ingin segala sesuatunya terlihat sempurna, termasuk menantu yang ia pilih untuk anaknya.
"Wulan, bisa kamu panggil tukang kebun untuk merapikan taman belakang? Aku lihat rumputnya mulai tumbuh terlalu panjang. Rumah ini harus tetap rapi, ya. Lagipula, Dimas sudah bekerja keras untuk kita semua," ucapnya dengan nada yang seolah memerintah, tetapi disamarkan dengan perhatian.
Wulan menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menatap ibu mertuanya dengan lembut. "Baik, Bu. Nanti saya hubungi tukang kebun."
Ibu mertua Wulan mendesah kecil, seolah tidak sepenuhnya puas dengan jawaban Wulan. "Dan jangan lupa, kalau bisa, kamu pastikan juga kamar tamu selalu bersih. Kita tidak pernah tahu kapan tamu penting bisa datang, kan?"
Meski permintaan itu terdengar masuk akal, Wulan merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar arahan biasa. Seolah-olah setiap langkahnya dipantau, setiap tugas yang ia lakukan harus selalu sempurna, tanpa celah sedikit pun. Wulan mengangguk dengan sopan, meski di dalam hatinya, ia mulai merasakan kelelahan yang perlahan menumpuk.
"Aku juga mau kamarku dibersihkan nanti, Mbak," Ana menambahkan dari sudut ruangan sambil menatap layar ponselnya. "Tapi tolong jangan terlalu lama, soalnya nanti aku ada rapat Zoom."
Wulan menelan komentar itu tanpa protes. Ia tahu bahwa mengeluh tidak akan membawa perubahan apa pun. Sebagai istri yang baik, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin.
Siang itu, setelah semua tugas rumah selesai, Wulan duduk sejenak di ruang tamu. Hatinya terasa penuh, meski ia tidak bisa menjelaskan apa yang mengganggunya. Ia mencintai Dimas, itu tidak pernah diragukan. Tapi mengapa rasanya begitu berat menjalani hari-hari seperti ini? Mengapa ada perasaan bahwa ia selalu harus membuktikan sesuatu, selalu harus berusaha keras untuk diterima?
Wulan memandang jendela, melihat taman belakang yang kini mulai tertutupi bayangan pepohonan. Sejak menikah, ia sudah menyesuaikan hidupnya dengan ritme keluarga Dimas. Dulu, sebelum menikah, ia adalah seorang wanita mandiri yang mengelola hidupnya dengan caranya sendiri. Namun, sekarang, segalanya terasa berbeda.
Di rumah besar ini, ia merasa kecil. Seolah identitasnya hanya ditentukan oleh bagaimana ia melayani keluarganya, bagaimana ia menjaga rumah ini tetap rapi, dan bagaimana ia memenuhi ekspektasi ibu mertuanya. Tidak ada ruang untuk dirinya sendiri, untuk mimpinya, atau bahkan sekadar waktu untuk berhenti sejenak dan menghirup napas dalam-dalam.
Namun, Wulan berusaha mengabaikan perasaan itu. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi di mata ibu mertuanya dan Ana. Bagi mereka, Wulan harus menjadi istri yang sempurna, menantu yang sempurna, tanpa cela.
Sore itu, Dimas pulang lebih awal seperti yang ia janjikan. Wulan menyambutnya di depan pintu dengan senyum lebar, berusaha menyembunyikan kepenatan yang mulai menyerangnya. "Mas pulang cepat," katanya sambil memeluk Dimas dengan lembut.
"Iya, rapatnya selesai lebih cepat dari yang aku duga. Jadi kita bisa makan malam di luar, ya?" jawab Dimas sambil tersenyum, membalas pelukan istrinya.
Kehadiran Dimas selalu membawa kehangatan bagi Wulan, meski di balik senyum itu, Wulan tahu ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan dari suaminya. Sesuatu yang perlahan-lahan mulai menggerogoti hatinya. Tapi ia tidak pernah ingin membebani Dimas dengan masalah-masalah kecil seperti ini. Wulan tahu betapa kerasnya Dimas bekerja, dan ia ingin menjaga kedamaian rumah tangga mereka.
Malam itu, mereka pergi makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama sebelum menikah. Di sana, di bawah cahaya lilin yang redup, Wulan merasakan sejenak kebahagiaan yang hampir ia lupakan. Bersama Dimas, segalanya terasa lebih mudah. Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa kehidupan nyata tidak selalu seindah malam ini. Ada masalah-masalah yang masih harus ia hadapi, dan semakin hari, masalah itu terasa semakin mendesak.
Namun, untuk malam ini, Wulan memilih untuk menunda kekhawatiran itu. Ia akan menikmati waktu bersama Dimas, berharap bahwa esok hari, semuanya akan terasa lebih baik.
Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan
Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wu
Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.Daftar Pekerjaan Hari Ini:1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.2. Cuci dan setrika semua pakaian.3. Siapkan makan siang dan malam.4. Belanja kebutuhan dapur.Wulan menatap daftar tersebut d
Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas
Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai me
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa
Pagi berikutnya, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan. Ia sudah bangun lebih awal seperti biasa, mempersiapkan sarapan dan menyusun rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya. Namun, pagi ini terasa berbeda. Hatinya berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah kesadaran yang tumbuh perlahan bahwa hidupnya mulai kehilangan keseimbangan.Saat Wulan menyiapkan roti untuk sarapan, Dimas datang dan duduk di meja makan. Senyumnya hangat, seperti biasa. Suaminya ini selalu bisa membuat dunia terasa sedikit lebih ringan, meski hanya sementara. Namun, belakangan, Wulan merasa ada jarak yang tak kasatmata antara mereka. Mungkin karena perasaan-perasaan yang ia pendam selama ini, atau karena beban yang ia pikul sendiri tanpa pernah dibagi."Sayang, kamu terlihat lelah. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Dimas tiba-tiba, suaranya terdengar tulus namun sedikit khawatir.Wulan terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Mungkin cuma ku
Pagi itu, Wulan melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, namun ada kegelisahan yang mulai merayap di dalam hatinya. Meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang, firasat bahwa sesuatu akan segera berubah semakin kuat. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah tetap waspada dan menunggu hasil dari penyelidikan Pak Haris.Ketika Wulan sedang sibuk membersihkan ruang tamu, ponselnya berdering. Ia melihat nama Pak Haris di layar dan segera menjawab telepon itu. Ada sedikit ketegangan dalam suaranya saat ia berkata, "Selamat pagi, Pak Haris. Ada kabar?"“Selamat pagi, Bu Wulan. Saya menemukan sesuatu yang menarik,” jawab Pak Haris dengan nada hati-hati. “Beberapa transaksi yang Ibu minta untuk diperiksa memang mencurigakan. Ada sejumlah besar uang yang mengalir ke rekening perusahaan yang baru didirikan beberapa bulan yang lalu. Nama pemilik perusahaan itu tampaknya tidak terdaftar di manapun, tapi alamatnya mencurigakan.”Jantung Wulan berdegu
Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi ia sudah berada di dapur, menyiapkan sarapan seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bergerak—setiap gerakan terasa lebih mantap, lebih pasti. Ia sudah memutuskan, dan kini saatnya mulai mengambil tindakan.Saat Dimas turun dari kamar, Wulan menyambutnya dengan senyuman hangat. "Sarapan sudah siap, Mas," katanya dengan nada biasa. Dimas, yang masih setengah mengantuk, hanya mengangguk sambil duduk di meja makan.Mereka berbicara tentang hal-hal biasa—tentang rencana kerja Dimas hari itu, tentang anak-anak yang harus dijemput dari sekolah. Wulan mendengarkan dengan seksama, mencatat dalam pikirannya setiap kata yang keluar dari mulut Dimas. Namun, ia tidak mengatakan apa pun yang menunjukkan bahwa ia sudah mengetahui lebih banyak dari yang Dimas kira.Setelah sarapan, Dimas berangkat ke kantor. Wulan mengantar anak-anak ke sekolah, memastikan
Wulan terbangun dengan perasaan resah. Langit masih gelap, dan rumah sepi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan-akan waktu berjalan lambat untuknya. Seluruh malam sebelumnya, pikirannya dipenuhi oleh dokumen-dokumen yang ia temukan. Meskipun ia telah menyimpan flashdisk di tempat yang aman, kekhawatiran terus menghinggapi pikirannya.Pagi itu, Wulan memutuskan untuk tetap tenang. Ia tidak ingin Dimas atau siapa pun di rumah mencurigai apa yang sedang ia lakukan. Seperti biasa, ia menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan mengantar mereka ke sekolah. Di depan orang lain, ia tetap menjadi Wulan yang tenang dan perhatian. Namun, di dalam hatinya, badai sedang berkecamuk.Saat kembali ke rumah, Wulan mengambil napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa ini adalah hari yang penting. Ia harus mulai memikirkan langkah-langkah ke depan, merencanakan dengan cermat setiap tindakan yang akan diambil. Ia sadar bahwa satu kesalahan kecil saja bisa membuat semua rencananya berantakan.
Keesokan harinya, Wulan bangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dibebani oleh informasi yang ia terima dari Pak Arya kemarin. Selama beberapa menit, ia hanya duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela kamar yang mulai diterangi sinar matahari pagi. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang besar sedang menunggunya, sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan.Dengan langkah pelan, Wulan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Meskipun Dimas selalu berangkat lebih awal, hari ini ia memutuskan untuk menemaninya lebih lama, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi.Saat Dimas turun dari kamar dengan penampilan rapi seperti biasanya, Wulan sudah menyiapkan kopi dan roti panggang di meja. Suaminya tampak sedikit terkejut melihat Wulan masih di dapur pada jam seperti ini.“Pagi, Sayang. Tumben kamu belum siap-siap?” tanya Dimas sambil mengambil cangkir kopi dari meja.Wulan tersenyum tipis. “Aku pikir, sesekali menemani
Pagi berikutnya dimulai dengan rutinitas seperti biasa, tetapi hati Wulan dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Setiap tatapan Dimas, setiap kata yang keluar dari mulutnya, kini dipenuhi kecurigaan. Ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, memastikan Dimas tidak menyadari kegalauan yang menghantuinya.Hari itu, Wulan berusaha fokus pada tugas-tugas rumah tangga. Ia sibuk menyiapkan sarapan, memastikan anak-anak siap untuk sekolah, dan mengurus hal-hal kecil lainnya. Namun, pikirannya terus melayang pada pertemuannya dengan Pak Arya kemarin. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak memikirkannya, bayangan tentang transaksi misterius itu tetap menghantuinya.Ketika Dimas berangkat kerja, Wulan merasa ada sesuatu yang berbeda. Dimas tampak lebih tergesa-gesa dari biasanya, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Ketika Wulan memberinya ciuman perpisahan di depan pintu, ia merasakan ketegangan yang tak biasa dalam sikap suaminya."Jangan lupa makan si
Pagi itu, matahari bersinar cerah, tetapi suasana hati Wulan masih gelap. Setelah malam yang panjang penuh dengan kegelisahan, ia bangun dengan pikiran yang terus mengusik. Pesan dari Pak Arya mengenai transaksi besar yang dilakukan oleh Dimas menjadi bayangan yang menghantuinya sepanjang pagi.Wulan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak letih dan kehilangan kilau. Ia menyadari bahwa kegelisahan ini telah mulai mempengaruhi dirinya secara fisik. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, menandakan malam-malam tanpa tidur yang ia lewati. Ia berusaha menyembunyikan kecemasannya di balik senyum yang dipaksakan, tetapi jauh di dalam hatinya, ia merasa dirinya mulai hancur.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Wulan segera melihat layar dan merasa lega ketika melihat bahwa pesan itu berasal dari Pak Arya.“Bu Wulan, saya menemukan sesuatu yang cukup mengkhawatirkan. Tampaknya Pak Dimas telah mengalihkan sejumlah besar uang ke sebuah reken
Keesokan harinya, Wulan merasakan kegelisahan yang terus menggerogoti dirinya. Setiap kali ia menatap Dimas, ada pertanyaan yang tak terjawab berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh suaminya? Perasaan ini begitu mengganggu hingga ia kesulitan untuk beraktivitas seperti biasa.Saat sarapan, Dimas tampak seperti biasa—tenang, penuh perhatian, dan tersenyum hangat. Namun, di balik senyum itu, Wulan kini melihat sesuatu yang ia lewatkan sebelumnya. Sebuah bayang-bayang kecil yang membuatnya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.“Sayang, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit pucat,” Dimas bertanya sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.Wulan tersentak dari lamunannya. Ia segera mengangguk dan berusaha tersenyum. “Iya, aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”“Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk kita,” kata Dimas, l
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan tekad baru. Meskipun hatinya masih dipenuhi kecemasan, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Ia tidak bisa lagi berdiam diri dan berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam hidup Dimas, dan Wulan harus mengetahuinya.Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di meja makan, menatap kosong secangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. Pikirannya terus berkecamuk, mencoba mencari cara untuk mengungkap kebenaran tanpa membuat Dimas curiga. Ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengkonfrontasi Dimas secara langsung, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaannya menguap begitu saja.Wulan teringat pada Nina, sahabatnya yang selalu bisa ia andalkan dalam situasi sulit. Nina mungkin bisa memberikan nasihat atau setidaknya mendengarkan kegelisahannya. Dengan cepat, Wulan meraih ponselnya dan menghubungi Nina."Waalaikumsalam, Wulan," jawab Nina dengan suara riang seperti biasanya. "Ada apa pag
Keesokan harinya, Wulan bangun dengan perasaan yang masih sama—gelisah dan penuh tanda tanya. Pikirannya terus berputar-putar tentang apa yang telah diungkapkan oleh Pak Rudianto kemarin. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia sedang berada di tengah badai yang akan segera pecah, namun ia belum bisa melihat dengan jelas dari arah mana badai itu akan datang.Saat sarapan pagi, Wulan memandangi Dimas yang duduk di seberang meja. Suaminya tampak seperti biasa, tenang dan penuh perhatian, tetapi sekarang Wulan melihatnya dengan kecurigaan yang baru. Setiap gerak-gerik Dimas, setiap kata yang ia ucapkan, semuanya tampak sarat makna, seolah-olah ada lapisan lain yang tersembunyi di balik sikap tenangnya."Sayang, kamu sudah ada rencana untuk hari ini?" tanya Dimas sambil menyuap sarapan.Wulan tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Belum ada yang pasti, mungkin hanya mengurus rumah seperti biasa."Dimas mengangguk. "Kalau begitu, aku mun