Share

Bab 2: Di Balik Senyum dan Kata

Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.

Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai.

"Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"

Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur atau tambah sambal?"

Ana hanya mengangkat bahu dan duduk di meja. "Telurnya jangan terlalu matang, ya. Aku tidak terlalu suka yang keras."

Komentar sederhana itu seharusnya terdengar biasa. Namun, Wulan merasakan ada sesuatu di baliknya. Ada nada dingin, seolah-olah setiap permintaan yang diajukan Ana adalah sebuah kewajiban, bukan permintaan penuh rasa hormat. Wulan menahan napas sejenak, lalu melanjutkan memasak tanpa mengucapkan apa pun. Ia terbiasa dengan komentar seperti itu—komentar kecil yang seolah-olah tidak berarti, tetapi cukup membuat hatinya berdesir.

Setelah sarapan, Dimas muncul dengan senyum lebar di wajahnya. Pagi itu, ia terlihat lebih segar daripada biasanya. "Wulan, hari ini ada rapat penting, tapi setelah itu mungkin aku bisa pulang lebih awal. Kita mungkin bisa makan malam di luar?" tawarnya sambil merapikan dasinya.

Wulan menatap suaminya dengan penuh kasih. Di hadapan Dimas, ia merasa semuanya akan baik-baik saja. "Aku senang sekali kalau bisa makan di luar. Sudah lama kita tidak jalan-jalan berdua," jawab Wulan dengan senyum hangat.

Namun, di tengah obrolan mereka, Wulan menangkap sekilas pandang dari Ana. Mata Ana berkilat sejenak, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam tatapan adik iparnya yang membuat Wulan merasa seakan-akan dia sedang dinilai—seakan apa pun yang dilakukannya salah di mata Ana. Wulan memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan percakapan dengan Dimas.

Setelah beberapa saat, Dimas pun pergi ke kantor. Seperti biasa, ia mencium kening Wulan dengan lembut sebelum berangkat. "Jaga diri baik-baik, ya," katanya. Saat pintu menutup dan suara deru mobil Dimas mulai menjauh, suasana rumah kembali berubah.

Wulan melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja, mencuci piring, dan membereskan dapur. Di belakangnya, Ana berjalan melintasi ruang tamu dengan langkah malas. Ibu mertua Wulan belum turun dari kamar, mungkin masih sibuk dengan hal-hal lain. Sementara itu, Wulan terus bergerak, seperti biasa, menyelesaikan pekerjaannya tanpa suara.

Beberapa jam kemudian, ketika Wulan sedang membersihkan lantai ruang tamu, ia mendengar suara ibu mertuanya turun dari tangga. Ibu Dimas selalu tampil rapi, dengan gaun elegan dan rambut yang ditata sempurna. Wajahnya yang dingin dan tegas mencerminkan kepribadian yang perfeksionis, selalu ingin segala sesuatunya terlihat sempurna, termasuk menantu yang ia pilih untuk anaknya.

"Wulan, bisa kamu panggil tukang kebun untuk merapikan taman belakang? Aku lihat rumputnya mulai tumbuh terlalu panjang. Rumah ini harus tetap rapi, ya. Lagipula, Dimas sudah bekerja keras untuk kita semua," ucapnya dengan nada yang seolah memerintah, tetapi disamarkan dengan perhatian.

Wulan menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menatap ibu mertuanya dengan lembut. "Baik, Bu. Nanti saya hubungi tukang kebun."

Ibu mertua Wulan mendesah kecil, seolah tidak sepenuhnya puas dengan jawaban Wulan. "Dan jangan lupa, kalau bisa, kamu pastikan juga kamar tamu selalu bersih. Kita tidak pernah tahu kapan tamu penting bisa datang, kan?"

Meski permintaan itu terdengar masuk akal, Wulan merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar arahan biasa. Seolah-olah setiap langkahnya dipantau, setiap tugas yang ia lakukan harus selalu sempurna, tanpa celah sedikit pun. Wulan mengangguk dengan sopan, meski di dalam hatinya, ia mulai merasakan kelelahan yang perlahan menumpuk.

"Aku juga mau kamarku dibersihkan nanti, Mbak," Ana menambahkan dari sudut ruangan sambil menatap layar ponselnya. "Tapi tolong jangan terlalu lama, soalnya nanti aku ada rapat Zoom."

Wulan menelan komentar itu tanpa protes. Ia tahu bahwa mengeluh tidak akan membawa perubahan apa pun. Sebagai istri yang baik, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin.

Siang itu, setelah semua tugas rumah selesai, Wulan duduk sejenak di ruang tamu. Hatinya terasa penuh, meski ia tidak bisa menjelaskan apa yang mengganggunya. Ia mencintai Dimas, itu tidak pernah diragukan. Tapi mengapa rasanya begitu berat menjalani hari-hari seperti ini? Mengapa ada perasaan bahwa ia selalu harus membuktikan sesuatu, selalu harus berusaha keras untuk diterima?

Wulan memandang jendela, melihat taman belakang yang kini mulai tertutupi bayangan pepohonan. Sejak menikah, ia sudah menyesuaikan hidupnya dengan ritme keluarga Dimas. Dulu, sebelum menikah, ia adalah seorang wanita mandiri yang mengelola hidupnya dengan caranya sendiri. Namun, sekarang, segalanya terasa berbeda.

Di rumah besar ini, ia merasa kecil. Seolah identitasnya hanya ditentukan oleh bagaimana ia melayani keluarganya, bagaimana ia menjaga rumah ini tetap rapi, dan bagaimana ia memenuhi ekspektasi ibu mertuanya. Tidak ada ruang untuk dirinya sendiri, untuk mimpinya, atau bahkan sekadar waktu untuk berhenti sejenak dan menghirup napas dalam-dalam.

Namun, Wulan berusaha mengabaikan perasaan itu. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi di mata ibu mertuanya dan Ana. Bagi mereka, Wulan harus menjadi istri yang sempurna, menantu yang sempurna, tanpa cela.

Sore itu, Dimas pulang lebih awal seperti yang ia janjikan. Wulan menyambutnya di depan pintu dengan senyum lebar, berusaha menyembunyikan kepenatan yang mulai menyerangnya. "Mas pulang cepat," katanya sambil memeluk Dimas dengan lembut.

"Iya, rapatnya selesai lebih cepat dari yang aku duga. Jadi kita bisa makan malam di luar, ya?" jawab Dimas sambil tersenyum, membalas pelukan istrinya.

Kehadiran Dimas selalu membawa kehangatan bagi Wulan, meski di balik senyum itu, Wulan tahu ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan dari suaminya. Sesuatu yang perlahan-lahan mulai menggerogoti hatinya. Tapi ia tidak pernah ingin membebani Dimas dengan masalah-masalah kecil seperti ini. Wulan tahu betapa kerasnya Dimas bekerja, dan ia ingin menjaga kedamaian rumah tangga mereka.

Malam itu, mereka pergi makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama sebelum menikah. Di sana, di bawah cahaya lilin yang redup, Wulan merasakan sejenak kebahagiaan yang hampir ia lupakan. Bersama Dimas, segalanya terasa lebih mudah. Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa kehidupan nyata tidak selalu seindah malam ini. Ada masalah-masalah yang masih harus ia hadapi, dan semakin hari, masalah itu terasa semakin mendesak.

Namun, untuk malam ini, Wulan memilih untuk menunda kekhawatiran itu. Ia akan menikmati waktu bersama Dimas, berharap bahwa esok hari, semuanya akan terasa lebih baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status