Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.
Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.
Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu mertua dan Ana. Senyum mereka tampak tulus, kata-kata mereka penuh perhatian. Namun, semakin lama, Wulan merasakan ada jarak yang perlahan-lahan tumbuh.
Di dapur, Wulan mulai memasak nasi goreng kesukaan Dimas. Bau harum bawang putih yang digoreng mulai memenuhi ruangan, menciptakan aroma yang hangat dan mengundang. Pikirannya melayang ke percakapan dengan ibunya beberapa hari yang lalu. Ibunya sempat bertanya apakah Wulan bahagia tinggal di rumah mertuanya. Wulan menjawab bahwa ia baik-baik saja, meski dalam hatinya ia tidak sepenuhnya yakin.
Sesekali, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ibu mertua dan Ana sering kali memberikan komentar yang terdengar lembut, tetapi selalu menyiratkan ketidakpuasan. Mereka tidak pernah kasar atau langsung menyinggung perasaan Wulan, tetapi kata-kata mereka kerap membuatnya merasa tidak nyaman. Wulan memilih untuk mengabaikan hal-hal kecil tersebut, meyakinkan dirinya bahwa ia sedang beradaptasi dengan lingkungan baru.
Sementara itu, suara langkah kaki Dimas terdengar dari arah kamar. "Wulan, sudah bangun pagi banget, ya?" tanya Dimas dengan suara serak, baru bangun tidur.
Wulan menoleh dan tersenyum hangat. "Iya, Mas. Aku lagi siapin sarapan. Mas mau kopi atau teh?"
"Kopi aja, Sayang. Kamu memang istri yang paling baik," jawab Dimas sambil memeluk Wulan dari belakang, mencium keningnya dengan lembut. Momen-momen seperti ini membuat Wulan merasa segala keraguan dan kegelisahan hilang sejenak. Dimas selalu mampu membuatnya merasa dihargai dan dicintai, meskipun ada hal-hal yang terkadang membuat hatinya resah.
Ketika keluarga berkumpul di meja makan, suasana tampak hangat. Dimas duduk dengan penuh selera, menikmati nasi goreng buatan Wulan. Ibu mertua dan Ana pun turut makan, meskipun Wulan bisa merasakan sedikit ketidakpuasan dalam sikap mereka.
"Wulan, masakanmu enak. Tapi lain kali mungkin garamnya dikurangi sedikit, ya," ujar ibu mertua Wulan dengan senyum yang tampak tulus. Namun, di balik senyuman itu, Wulan merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.
Ana, adik Dimas yang lebih muda beberapa tahun darinya, hanya memberikan anggukan singkat sambil tetap fokus pada ponselnya. "Iya, Mbak, rasanya lumayan sih. Tapi lebih enak lagi kalau ada lauk tambahan."
Wulan mengangguk kecil, berusaha menelan komentar tersebut tanpa memperlihatkan kekecewaannya. "Iya, Bu, Ana, nanti saya coba perbaiki."
Komentar kecil seperti itu sering terdengar di rumah ini. Meski terdengar biasa, Wulan merasakan adanya jarak antara dirinya dengan keluarga Dimas. Namun, selama Dimas ada di sana, mereka tidak pernah menunjukkan perlakuan yang benar-benar dingin. Di hadapan Dimas, mereka tetap sopan, meski Wulan bisa merasakan bahwa penerimaan mereka terhadapnya belum sepenuhnya tulus.
Dimas tidak menyadari hal ini, atau mungkin memilih untuk tidak memperhatikan. Bagi Dimas, Wulan adalah istri yang sempurna, dan keluarganya selalu tampak mendukung pernikahan mereka. Tetapi bagi Wulan, perlahan-lahan muncul kekhawatiran yang ia simpan rapat-rapat. Ia tidak ingin membebani Dimas dengan keluhannya, apalagi mengganggu kedamaian pernikahan mereka yang masih baru.
Setelah sarapan, Dimas bersiap-siap untuk pergi bekerja. "Hari ini aku ada rapat penting di kantor, jadi mungkin pulang agak malam," katanya sambil mengenakan jas kerjanya.
Wulan membantu merapikan dasinya, lalu menatap suaminya dengan penuh kasih. "Hati-hati di jalan, Mas. Aku tunggu di rumah."
Dimas tersenyum dan mengecup kening Wulan sekali lagi sebelum pergi. Setelah pintu tertutup dan langkah kaki Dimas tak lagi terdengar, suasana rumah pun berubah. Kehangatan yang tadi ada di meja makan lenyap begitu saja.
Wulan menghela napas panjang dan melanjutkan pekerjaannya di dapur. Saat ia mulai mencuci piring, Ana masuk ke dapur dengan sikap acuh tak acuh. "Mbak, nanti tolong juga bersihin kamar tamu, ya. Aku lihat ada debu di sana," katanya tanpa menatap Wulan.
Wulan hanya mengangguk, berusaha tetap tersenyum meski hatinya mulai merasa sesak. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai istri Dimas, tetapi nada perintah dari Ana membuatnya merasa seperti pembantu di rumah ini.
Ibu mertua Wulan, yang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah, tiba-tiba berkata, "Wulan, coba kamu lihat halaman belakang nanti. Rumputnya sudah mulai panjang. Jangan biarkan rumah ini kelihatan berantakan, ya."
Permintaan itu terdengar wajar, tetapi lagi-lagi, Wulan merasakan ada sesuatu di balik cara ibu mertuanya berbicara. Ia tak pernah bisa menghilangkan perasaan bahwa ibu mertuanya sebenarnya tidak benar-benar menyukainya.
Meski begitu, Wulan tetap menjalankan semua perintah tanpa mengeluh. Baginya, ini adalah bagian dari perjuangan dalam pernikahan. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi istri yang baik dan berbakti, dan itu berarti menerima apa pun yang diberikan kepadanya, baik itu pujian maupun kritik.
Sore harinya, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Wulan duduk di taman belakang. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang lelah, memberikan sedikit ketenangan di tengah kepenatannya. Dalam kesendirian, ia sering merenung tentang keputusannya menikah dengan Dimas. Cintanya pada suaminya tidak pernah diragukan, tetapi ia mulai bertanya-tanya apakah kehidupan pernikahan ini akan selalu seperti ini—diwarnai dengan sikap dingin dari keluarganya.
Wulan menatap langit yang perlahan mulai memerah, berharap bahwa waktu akan memperbaiki segalanya. Ia masih memiliki harapan, bahwa suatu hari nanti ibu mertuanya dan Ana akan menerima dirinya sepenuhnya, bukan hanya karena ia adalah istri Dimas, tetapi juga karena mereka melihat kebaikan dalam dirinya.
Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa ia harus bersiap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Karena, meski cinta pada Dimas begitu kuat, ada bagian dari dirinya yang mulai merasakan bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk bertahan di tengah ketidakadilan yang ia alami setiap hari.
Wulan menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Ia akan terus bertahan, setidaknya untuk hari ini. Dan besok, ia akan kembali menghadapi dunia dengan senyuman yang sama—meskipun hatinya mungkin tidak selalu seteguh itu.
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai."Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur
Pagi berikutnya, rutinitas yang biasa pun dimulai kembali. Matahari yang baru saja terbit menyinari dapur kecil, sementara Wulan sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Aroma nasi goreng menyebar di udara, tetapi di dalam hatinya, Wulan merasa hampa. Setiap gerakan tangannya seperti dipandu oleh kebiasaan, tanpa emosi, tanpa tujuan yang jelas. Ia mulai merasa seperti robot, hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan orang lain, tetapi tak ada yang benar-benar peduli padanya.Dimas, seperti biasa, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Kali ini, ia tampak sedikit terburu-buru. "Sayang, aku mungkin akan pulang lebih malam hari ini. Ada pertemuan penting di kantor yang harus aku hadiri," katanya sambil merapikan dasi dan mengenakan sepatu.Wulan tersenyum, meski hatinya sedikit mencelos. Ia tahu betapa sibuknya Dimas belakangan ini, tetapi kesibukan itu membuat waktu mereka bersama semakin berkurang. "Baik, Mas. Aku akan siapkan makan malam nanti kalau Mas sudah pulang," jawab Wulan
Pagi kembali datang, dan seperti biasa, Wulan sudah bangun lebih awal dari semua penghuni rumah. Rutinitasnya tak pernah berubah—menyiapkan sarapan, merapikan rumah, memastikan segalanya berjalan lancar sebelum Dimas berangkat kerja. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kelelahan emosional yang kian menumpuk semakin terasa. Namun, di hadapan Dimas, ia masih berusaha menyembunyikan semua itu dengan senyuman yang selalu tampak tulus.Ketika Dimas masuk ke dapur, Wulan sudah selesai menyiapkan sarapan. "Selamat pagi, Sayang," ucapnya sambil duduk di meja makan. Ia tersenyum lebar, tampak puas dengan sarapan yang disajikan Wulan—nasi uduk lengkap dengan lauk-pauk favoritnya.Wulan hanya tersenyum kecil sambil menuangkan kopi. "Selamat pagi, Mas. Sarapannya semoga cocok di lidah."Dimas menikmati makanannya tanpa banyak kata, sementara Wulan berdiri di sudut dapur, memperhatikan suaminya dengan penuh kasih. Meski di dalam hatinya ada perasaan perih yang tak dapat ia ungkapkan, Wu
Wulan terjaga lebih awal dari biasanya pada pagi hari berikutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap matahari yang baru saja mulai menyinari kamar melalui tirai jendela yang tipis. Malam itu, tidurnya tidak nyenyak; pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran dan perasaan tertekan yang semakin berat.Dimas sudah pergi ke kantor, dan suasana rumah kini kembali sepi. Wulan tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan, seperti hari-hari sebelumnya. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, mencoba untuk tidak membangunkan ibu mertua dan Ana yang masih tertidur.Setelah mandi dan berpakaian, Wulan turun ke dapur untuk memulai rutinitas hariannya. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas yang ditinggalkan ibu mertuanya, berisi daftar pekerjaan yang harus dilakukan hari itu.Daftar Pekerjaan Hari Ini:1. Bersihkan kamar mandi dan toilet.2. Cuci dan setrika semua pakaian.3. Siapkan makan siang dan malam.4. Belanja kebutuhan dapur.Wulan menatap daftar tersebut d
Hari-hari setelah pesta malam itu tampaknya berlalu dengan cepat, dan rutinitas Wulan kembali seperti biasanya. Namun, di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah. Dia merasakan dorongan baru untuk memperbaiki keadaan yang semakin menguasai pikirannya. Selama ini, Wulan telah menahan diri dari mengungkapkan rasa sakitnya dan mencoba untuk terus tersenyum, tetapi kini, ada tekad baru dalam dirinya—sebuah keinginan untuk mengubah nasibnya.Pagi itu, Wulan bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya. Setelah menyiapkan sarapan untuk ibu mertuanya dan Ana, ia mulai mengerjakan daftar pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bekerja. Wulan merasa lebih fokus, lebih tekun, dan lebih bersemangat.Ketika ia sedang membersihkan kamar mandi, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Bagaimana jika ia mulai mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan? Selama ini, ia hanya bertugas
Pagi hari selalu dimulai dengan rutinitas yang sama di rumah keluarga Dimas. Wulan, seperti biasanya, bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Ibu mertuanya dan Ana, yang kini sering memberikan komentar acuh tak acuh, tetap menjaga sikap hangat mereka ketika Dimas berada di rumah. Mereka seolah mengatur segala perkataan dan perilaku agar tampak seimbang di depan Dimas.Dimas, yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, tidak pernah menyadari bahwa perlakuan keluarganya terhadap Wulan berubah drastis ketika ia tidak ada. Setiap pagi, Dimas selalu terlihat memeluk Wulan sebelum pergi bekerja, memberikan ciuman di keningnya, dan sesekali memuji betapa beruntungnya ia memiliki istri seperti Wulan.Namun, begitu Dimas melangkah keluar pintu, suasana rumah berubah. Wulan tahu betul bahwa kasih sayang yang Dimas tunjukkan padanya tidak sama dengan yang ia terima dari keluarganya. Setelah pintu tertutup dan suara mobil Dimas mulai me
Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya."Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya."Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya."Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.“Ya, Ana,” jawab
Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini."Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa