Share

Sekeping Hati yang Bertahan
Sekeping Hati yang Bertahan
Penulis: Le Vant

Bab 1: Awal yang Baru

Pagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.

Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.

Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu mertua dan Ana. Senyum mereka tampak tulus, kata-kata mereka penuh perhatian. Namun, semakin lama, Wulan merasakan ada jarak yang perlahan-lahan tumbuh.

Di dapur, Wulan mulai memasak nasi goreng kesukaan Dimas. Bau harum bawang putih yang digoreng mulai memenuhi ruangan, menciptakan aroma yang hangat dan mengundang. Pikirannya melayang ke percakapan dengan ibunya beberapa hari yang lalu. Ibunya sempat bertanya apakah Wulan bahagia tinggal di rumah mertuanya. Wulan menjawab bahwa ia baik-baik saja, meski dalam hatinya ia tidak sepenuhnya yakin.

Sesekali, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ibu mertua dan Ana sering kali memberikan komentar yang terdengar lembut, tetapi selalu menyiratkan ketidakpuasan. Mereka tidak pernah kasar atau langsung menyinggung perasaan Wulan, tetapi kata-kata mereka kerap membuatnya merasa tidak nyaman. Wulan memilih untuk mengabaikan hal-hal kecil tersebut, meyakinkan dirinya bahwa ia sedang beradaptasi dengan lingkungan baru.

Sementara itu, suara langkah kaki Dimas terdengar dari arah kamar. "Wulan, sudah bangun pagi banget, ya?" tanya Dimas dengan suara serak, baru bangun tidur.

Wulan menoleh dan tersenyum hangat. "Iya, Mas. Aku lagi siapin sarapan. Mas mau kopi atau teh?"

"Kopi aja, Sayang. Kamu memang istri yang paling baik," jawab Dimas sambil memeluk Wulan dari belakang, mencium keningnya dengan lembut. Momen-momen seperti ini membuat Wulan merasa segala keraguan dan kegelisahan hilang sejenak. Dimas selalu mampu membuatnya merasa dihargai dan dicintai, meskipun ada hal-hal yang terkadang membuat hatinya resah.

Ketika keluarga berkumpul di meja makan, suasana tampak hangat. Dimas duduk dengan penuh selera, menikmati nasi goreng buatan Wulan. Ibu mertua dan Ana pun turut makan, meskipun Wulan bisa merasakan sedikit ketidakpuasan dalam sikap mereka.

"Wulan, masakanmu enak. Tapi lain kali mungkin garamnya dikurangi sedikit, ya," ujar ibu mertua Wulan dengan senyum yang tampak tulus. Namun, di balik senyuman itu, Wulan merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.

Ana, adik Dimas yang lebih muda beberapa tahun darinya, hanya memberikan anggukan singkat sambil tetap fokus pada ponselnya. "Iya, Mbak, rasanya lumayan sih. Tapi lebih enak lagi kalau ada lauk tambahan."

Wulan mengangguk kecil, berusaha menelan komentar tersebut tanpa memperlihatkan kekecewaannya. "Iya, Bu, Ana, nanti saya coba perbaiki."

Komentar kecil seperti itu sering terdengar di rumah ini. Meski terdengar biasa, Wulan merasakan adanya jarak antara dirinya dengan keluarga Dimas. Namun, selama Dimas ada di sana, mereka tidak pernah menunjukkan perlakuan yang benar-benar dingin. Di hadapan Dimas, mereka tetap sopan, meski Wulan bisa merasakan bahwa penerimaan mereka terhadapnya belum sepenuhnya tulus.

Dimas tidak menyadari hal ini, atau mungkin memilih untuk tidak memperhatikan. Bagi Dimas, Wulan adalah istri yang sempurna, dan keluarganya selalu tampak mendukung pernikahan mereka. Tetapi bagi Wulan, perlahan-lahan muncul kekhawatiran yang ia simpan rapat-rapat. Ia tidak ingin membebani Dimas dengan keluhannya, apalagi mengganggu kedamaian pernikahan mereka yang masih baru.

Setelah sarapan, Dimas bersiap-siap untuk pergi bekerja. "Hari ini aku ada rapat penting di kantor, jadi mungkin pulang agak malam," katanya sambil mengenakan jas kerjanya.

Wulan membantu merapikan dasinya, lalu menatap suaminya dengan penuh kasih. "Hati-hati di jalan, Mas. Aku tunggu di rumah."

Dimas tersenyum dan mengecup kening Wulan sekali lagi sebelum pergi. Setelah pintu tertutup dan langkah kaki Dimas tak lagi terdengar, suasana rumah pun berubah. Kehangatan yang tadi ada di meja makan lenyap begitu saja.

Wulan menghela napas panjang dan melanjutkan pekerjaannya di dapur. Saat ia mulai mencuci piring, Ana masuk ke dapur dengan sikap acuh tak acuh. "Mbak, nanti tolong juga bersihin kamar tamu, ya. Aku lihat ada debu di sana," katanya tanpa menatap Wulan.

Wulan hanya mengangguk, berusaha tetap tersenyum meski hatinya mulai merasa sesak. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai istri Dimas, tetapi nada perintah dari Ana membuatnya merasa seperti pembantu di rumah ini.

Ibu mertua Wulan, yang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah, tiba-tiba berkata, "Wulan, coba kamu lihat halaman belakang nanti. Rumputnya sudah mulai panjang. Jangan biarkan rumah ini kelihatan berantakan, ya."

Permintaan itu terdengar wajar, tetapi lagi-lagi, Wulan merasakan ada sesuatu di balik cara ibu mertuanya berbicara. Ia tak pernah bisa menghilangkan perasaan bahwa ibu mertuanya sebenarnya tidak benar-benar menyukainya.

Meski begitu, Wulan tetap menjalankan semua perintah tanpa mengeluh. Baginya, ini adalah bagian dari perjuangan dalam pernikahan. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi istri yang baik dan berbakti, dan itu berarti menerima apa pun yang diberikan kepadanya, baik itu pujian maupun kritik.

Sore harinya, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Wulan duduk di taman belakang. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang lelah, memberikan sedikit ketenangan di tengah kepenatannya. Dalam kesendirian, ia sering merenung tentang keputusannya menikah dengan Dimas. Cintanya pada suaminya tidak pernah diragukan, tetapi ia mulai bertanya-tanya apakah kehidupan pernikahan ini akan selalu seperti ini—diwarnai dengan sikap dingin dari keluarganya.

Wulan menatap langit yang perlahan mulai memerah, berharap bahwa waktu akan memperbaiki segalanya. Ia masih memiliki harapan, bahwa suatu hari nanti ibu mertuanya dan Ana akan menerima dirinya sepenuhnya, bukan hanya karena ia adalah istri Dimas, tetapi juga karena mereka melihat kebaikan dalam dirinya.

Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa ia harus bersiap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Karena, meski cinta pada Dimas begitu kuat, ada bagian dari dirinya yang mulai merasakan bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk bertahan di tengah ketidakadilan yang ia alami setiap hari.

Wulan menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Ia akan terus bertahan, setidaknya untuk hari ini. Dan besok, ia akan kembali menghadapi dunia dengan senyuman yang sama—meskipun hatinya mungkin tidak selalu seteguh itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status