Share

SUAMI PENGGANTIKU (BUKAN) PRIA PAYAH
SUAMI PENGGANTIKU (BUKAN) PRIA PAYAH
Penulis: Rosemala

TERTANGKAP BASAH

Bab 1

“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”

Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.

“Bas–oh ....”

Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.

Brak!

Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.

Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.

Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.

Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.

“Ta-Tari? K-kenapa kamu tidak bilang mau ke sini?” Lelaki berusia sekitar 25 tahun dengan tubuh polos itu bertanya dengan gagap.

Tidak bilang katanya? Bukankah ia sendiri yang minta dibawakan pudding buah buatanku?

“I-ini … tidak seperti yang kamu pikirkan, Tari. Aku bisa jelaskan semuanya,” lanjut lelaki itu. Wajahnya pucat. Beberapa kali ia menelan ludah, terlihat dari gerakan jakunnya. Ia ingin mendekat, tetapi mungkin malu tubuhnya tak berpenutup.

Aku yang masih belum percaya dengan penglihatan ini, mematung sempurna. Lidahku kelu hingga tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Kuedarkan pandangan pada lelaki dan wanita yang sangat kukenali itu. Juga pakaian yang terserak tak beraturan di lantai. Rasa nyeri tetiba menjalari hati mendapati kenyataan ini.

“Kalian–” Suaraku tercekat di kerongkongan. Sesuatu yang kukenal dengan gemuruh tengah terjadi di dalam dada pasca beberapa saat terpaku dalam kekagetan dan ketidakpercayaan.

Gemuruh itu terekspresikan dengan gerakan dada yang naik-turun dengan cepat, hingga terasa ingin meledak.

“Jadi begini perbuatan kalian di belakangku!?” Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari mulutku setelah kukuatkan hati. “Sudah berapa kali kalian melakukannya?”

“Tari, ayolah, Sayang. Aku sudah bilang ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu hanya salah paham.” Lelaki yang masih menutupi tubuhnya dengan bantal sofa, berusaha mendekat. Ucapannya tidak lagi gagap. Bahkan wajahnya dipasang memelas.

“Apanya yang salah paham? Kamu kira aku buta?” Suaraku meninggi dengan sendirinya. Terang saja, tangan lelaki yang baru saja dipakai menjamah tubuh perempuan itu berusaha meraih tanganku. Kutepis dengan kasar hingga pudding buah yang kubawa ikut terjatuh dan berhamburan di lantai.

Bastian menatap makanan kesukaannya yang sudah terserak mengotori lantai kamarnya. Kemudian mengalihkan pandangan ke wajahku. Tatapan tajam kudapati di sana. Secepat itu mimik wajahnya berubah. Padahal sebelumnya raut memelas penuh penyesalan yang ia suguhkan.

“Kamu—”

“Pernikahan kita batal!” potongku akhirnya dengan tegas dan tanpa keraguan. Aku seolah wanita tegar yang tidak terpengaruh sama sekali dengan kenyataan menjijikan itu. Padahal kuucapkan kalimat itu dengan hati hancur dan mata mendadak panas. Sesuatu mendesak ingin keluar seiring gemuruh dalam dada yang berubah menjadi sayatan sembilu. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan dua orang menjijikkan ini.

Bastian terlihat menggelengkan kepala. Wajahnya kembali memelas.

“Tari, jangan sembarangan bicara. Ayolah, apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya sedang khilaf.”

Khilaf katanya? Cuih, menjijikkan!

“Pernikahan kita akan tetap berlangsung apa pun yang terjadi. Ingatlah, persiapannya sudah hampir selesai, kan? Ingat juga bagaimana perasaan nenekku dan ayahmu jika kita batal menikah.”

Aku memejamkan mata sebentar. Rasa sakit dan marah semakin bergumul dalam dada. Terbayang wajah ayah dan Nenek Widya jika pernikahan ini batal, tapi aku sudah tidak sudi lagi melanjutkan pernikahan dengan laki-laki yang ternyata sudah menikmati tubuh wanita lain. Terlebih wanita itu orang dekatku.

“Ayahku dan nenekmu pasti mengerti keputusanku. Aku tetap membatalkan pernikahan ini, Bastian Hanggara!” Suaraku kali ini menggelegar memenuhi ruangan itu. Kutatap tajam wajah tampan yang biasanya kupuja, tetapi kali ini sangat menjijikkan. Wajah tampan yang seketika berubah merah padam.

“Apa kau tidak memikirkan perasaan semua orang, Mentari Baskara? Seenak jidatmu membatalkan pernikahan. Apa kau tahu berapa banyak keluargaku sudah menggelontorkan uang untuk persiapan pernikahan ini?”

Memikirkan perasaan semua orang katanya?

“Seharusnya kau yang memikirkan perasaan semua orang sebelum berbuat hal menjijikkan dengan sundal itu!” teriakku akhirnya tidak bisa menahan diri. Gemuruh dalam dada tak bisa lagi dikendalikan. Tubuhku gemetar menahan segala rasa yang sulit kudeskripsikan.

Calon suami sempurna yang kupuja karena ia sangat sopan memperlakukanku, ternyata tak lebih binatang yang suka menikmati sesuatu yang tidak halal.

“Mentari, tutup mulutmu! Sudah kubilang ini hanya sebuah kekhilafan. Dan jangan memanggil Novita dengan sebutan buruk!” Bastian balas memakiku.

“Lalu, sebutan apa yang pantas untuk perempuan yang menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki yang bukan muhrim, hah?” Aku membalas. “Pada laki-laki yang seharusnya menikahi kakaknya sendiri?”

“Sudah, cukup! Ini hanya salah paham.” Bastian menghela napas. Lalu mengibaskan tangan. “Kamu terlalu berlebihan, Mentari. Hal seperti ini saja dibesar-besarkan!”

Komen (38)
goodnovel comment avatar
Hails Hespero
G*la lu ya Bas. Gw tamp*l. Kesel pisan...
goodnovel comment avatar
Opa Beny
bagus ceritanya ...
goodnovel comment avatar
Zarra Sofea
kereennn. lanjut bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status