“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”
Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.
“Bas–oh ....”
Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.
Brak!
Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.
Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.
Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.
Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
“Ta-Tari? K-kenapa kamu tidak bilang mau ke sini?” Lelaki berusia sekitar 25 tahun dengan tubuh polos itu bertanya dengan gagap.
Tidak bilang katanya? Bukankah ia sendiri yang minta dibawakan pudding buah buatanku?
“I-ini … tidak seperti yang kamu pikirkan, Tari. Aku bisa jelaskan semuanya,” lanjut lelaki itu. Wajahnya pucat. Beberapa kali ia menelan ludah, terlihat dari gerakan jakunnya. Ia ingin mendekat, tetapi mungkin malu tubuhnya tak berpenutup.
Aku yang masih belum percaya dengan penglihatan ini, mematung sempurna. Lidahku kelu hingga tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Kuedarkan pandangan pada lelaki dan wanita yang sangat kukenali itu. Juga pakaian yang terserak tak beraturan di lantai. Rasa nyeri tetiba menjalari hati mendapati kenyataan ini.
“Kalian–” Suaraku tercekat di kerongkongan. Sesuatu yang kukenal dengan gemuruh tengah terjadi di dalam dada pasca beberapa saat terpaku dalam kekagetan dan ketidakpercayaan.
Gemuruh itu terekspresikan dengan gerakan dada yang naik-turun dengan cepat, hingga terasa ingin meledak.
“Jadi begini perbuatan kalian di belakangku!?” Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari mulutku setelah kukuatkan hati. “Sudah berapa kali kalian melakukannya?”
“Tari, ayolah, Sayang. Aku sudah bilang ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu hanya salah paham.” Lelaki yang masih menutupi tubuhnya dengan bantal sofa, berusaha mendekat. Ucapannya tidak lagi gagap. Bahkan wajahnya dipasang memelas.
“Apanya yang salah paham? Kamu kira aku buta?” Suaraku meninggi dengan sendirinya. Terang saja, tangan lelaki yang baru saja dipakai menjamah tubuh perempuan itu berusaha meraih tanganku. Kutepis dengan kasar hingga pudding buah yang kubawa ikut terjatuh dan berhamburan di lantai.
Bastian menatap makanan kesukaannya yang sudah terserak mengotori lantai kamarnya. Kemudian mengalihkan pandangan ke wajahku. Tatapan tajam kudapati di sana. Secepat itu mimik wajahnya berubah. Padahal sebelumnya raut memelas penuh penyesalan yang ia suguhkan.
“Kamu—”
“Pernikahan kita batal!” potongku akhirnya dengan tegas dan tanpa keraguan. Aku seolah wanita tegar yang tidak terpengaruh sama sekali dengan kenyataan menjijikan itu. Padahal kuucapkan kalimat itu dengan hati hancur dan mata mendadak panas. Sesuatu mendesak ingin keluar seiring gemuruh dalam dada yang berubah menjadi sayatan sembilu. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan dua orang menjijikkan ini.
Bastian terlihat menggelengkan kepala. Wajahnya kembali memelas.
“Tari, jangan sembarangan bicara. Ayolah, apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya sedang khilaf.”
Khilaf katanya? Cuih, menjijikkan!
“Pernikahan kita akan tetap berlangsung apa pun yang terjadi. Ingatlah, persiapannya sudah hampir selesai, kan? Ingat juga bagaimana perasaan nenekku dan ayahmu jika kita batal menikah.”
Aku memejamkan mata sebentar. Rasa sakit dan marah semakin bergumul dalam dada. Terbayang wajah ayah dan Nenek Widya jika pernikahan ini batal, tapi aku sudah tidak sudi lagi melanjutkan pernikahan dengan laki-laki yang ternyata sudah menikmati tubuh wanita lain. Terlebih wanita itu orang dekatku.
“Ayahku dan nenekmu pasti mengerti keputusanku. Aku tetap membatalkan pernikahan ini, Bastian Hanggara!” Suaraku kali ini menggelegar memenuhi ruangan itu. Kutatap tajam wajah tampan yang biasanya kupuja, tetapi kali ini sangat menjijikkan. Wajah tampan yang seketika berubah merah padam.
“Apa kau tidak memikirkan perasaan semua orang, Mentari Baskara? Seenak jidatmu membatalkan pernikahan. Apa kau tahu berapa banyak keluargaku sudah menggelontorkan uang untuk persiapan pernikahan ini?”
Memikirkan perasaan semua orang katanya?
“Seharusnya kau yang memikirkan perasaan semua orang sebelum berbuat hal menjijikkan dengan sundal itu!” teriakku akhirnya tidak bisa menahan diri. Gemuruh dalam dada tak bisa lagi dikendalikan. Tubuhku gemetar menahan segala rasa yang sulit kudeskripsikan.
Calon suami sempurna yang kupuja karena ia sangat sopan memperlakukanku, ternyata tak lebih binatang yang suka menikmati sesuatu yang tidak halal.
“Mentari, tutup mulutmu! Sudah kubilang ini hanya sebuah kekhilafan. Dan jangan memanggil Novita dengan sebutan buruk!” Bastian balas memakiku.
“Lalu, sebutan apa yang pantas untuk perempuan yang menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki yang bukan muhrim, hah?” Aku membalas. “Pada laki-laki yang seharusnya menikahi kakaknya sendiri?”
“Sudah, cukup! Ini hanya salah paham.” Bastian menghela napas. Lalu mengibaskan tangan. “Kamu terlalu berlebihan, Mentari. Hal seperti ini saja dibesar-besarkan!”
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan
Bab 3“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras.
Bab 4“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada d
Bab 5“Arghhhh ….” Aku mengacak rambut dengan frustrasi. Lalu meremas kertas di atas meja, membuangnya ke tempat sampah yang bahkan sudah penuh dengan benda serupa. Entah sudah berapa banyak kertas-kertas tak bersalah itu kuremas kasar dan dilempar begitu saja. Rasanya sangat sulit menyusun kalimat untuk poin-poin perjanjian pernikahan itu.Ya, aku kini tengah menyusun surat perjanjian kontrak dengan laki-laki bernama Samudra Hanggara yang tiba-tiba saja menjadi calon suamiku.Apa harus hidup selawak ini?Kemarin calon suamiku masih Bastian pemuda tampan yang dipuja banyak wanita, hari ini tiba-tiba semua berubah. Tiba-tiba saja mempelaiku berganti menjadi laki-laki tua yang menurut ibu dan saudara tiriku makhluk jadi-jadian dari planet lain.Aku mengusap wajah dengan kasar. Entah kalimat apa lagi yang harus kutulis dalam surat perjanjian itu. Bayangan wujud Samudra yang ‘ajaib’ membuatku tidak bisa fokus, padahal biasanya aku pandai merangkai kata. Dan anehnya aku harus menyusun sura
6“Apa yang kamu lakukan, Bas?”Pertanyaan dari suara bariton membuat aku dan Bastian menoleh hampir bersamaan. Bastian yang hampir membungkuk, mengurungkan niatnya. Dan kesempatan itu kugunakan cepat untuk mengambil semua kertas yang terserak. Memasukkan kembali ke dalam map dengan asal. Setelahnya aku langsung berlari dan mengambil tempat di belakang pria yang barusan bertanya. Samudra.Walaupun masih takut melihat wujud Samudra, tapi aku lebih takut dengan laki-laki seperti Bastian. Aku takut ia nekat menyentuhku secara ia sudah terbiasa melakukannya tanpa merasa berdosa.Bastian mendengkus melihatku berlindung di belakang tubuh Om-nya. Kemudian pergi tanpa berkata-kata.Aku memejam sembari melepaskan napas lega. Kemudian mengekori Samudra yang membuka pintu ruangan di belakang tubuh kami.Untunglah Bastian tidak sempat mengambil dan membaca surat perjanjian kontrak pernikahan ini. Kalau sempat, mau ditaruh di mana wajah kami? Ia pasti akan mengolok kami sepanjang waktu. Menyebarka
Bab 7“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” Pertanyaan itu datang dari mulut wanita sepuh yang hari ini didandani sangat cantik hingga terlihat puluhan tahun lebih muda dari usianya.Wanita sepuh yang tidak lain Nenek Widya. Beliau menyodorkan segelas air di dekat mulutku yang megap-megap seperti ikan kehabisan air.Memalukan memang, di detik-detik acara inti pernikahan, aku nyaris pingsan. Terlebih saat pria gagah berkostum pengantin itu menyodorkan lengannya agar aku mengaitkan tangan di sana.Akhirnya panitia harus memapahku ke sini, dan acara ditunda beberapa saat.Kutarik napas panjang berulang-ulang agar oksigen leluasa memenuhi paru-paru. Kemben kain kebaya yang ketat memperburuk saluran pernapasanku.“Kalau kamu sudah baikan, kita lanjutkan acaranya, Tari.” Kali ini ayah yang berbisik lembut di dekat telinga. “Kita sudah terlalu lama mengulur waktu.”Aku tahu tanpa ayah menjelaskan pun sudah membuang banyak waktu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku benar-benar shock dengan penampilan
8Aku merasakan mataku perih dan mulut penuh dengan air. Kedua tangan menggapai apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan diri ini. Dalam keadaan seperti ini bayangan masa lalu melintas. Di mana Tante Yulia—ibu tiriku sering menenggelamkan kepalaku ke dalam air kolam renang di rumah.Bukan hanya sekali dua kali. Sudah berulang kali hingga tak terhitung. Tante Yulia akan melakukannya jika aku tidak menurut, atau aku terlambat menenuhi perintahnya. Itulah karenanya aku tidak bisa berenang. Aku terlalu takut tenggelam karena rasanya sangat sesak saat kepala berada di dalam air.Tentu saja ayah tak pernah tahu, karena tidak pernah berani melaporkannya. Ancaman ibu tiriku sangat menakutkan untuk anak berusia tujuh tahun kala itu.Tanganku terus berusaha menggapai-gapai. Sementara kakiku sudah terasa kaku. Selain karena aku tidak bisa berenang, gaun pengantin ini membuatku tak leluasa untuk bergerak. Tangan yang menggapai pun seolah menemukan tambatan saat sesuatu berhasil kuraih. Entah apa.
9 “Mafia?” Pria itu menatapku lurus. “Ya. Semua barang di sini buktinya. Bagaimana bisa Om punya ini semua? Bukankah Om tidak bekerja?” Laki-laki itu masih menatapku. Hanya saja seperti kemarin-kemarin, datar tanpa ekspresi. Hingga sangat sulit bagiku menerka apa yang tengah ia pikirkan. “Kamu memeriksa barang-barangku?” “Ya, karena aku curiga.” “Apa yang kamu dapatkan?” Bola mataku bergerak liar. Apa yang aku dapatkan sebenarnya? Bukankah aku hanya membaca sepotong pesan yang tidak jelas? Lalu secepat itu menuduhnya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Pria itu berjalan mendekat sesaat setelah menatapku tanpa kedip. Ekspresinya? Tetap saja datar. Apa ia marah karena aku sudah menyentuh barang-barangnya? Ia terus berjalan mendekat hingga tubuhku yang mentok di meja mengkerut takut. Lalu saat jarak di antara kami semakin terkikis, aku gegas berpindah ke samping meja dengan lutut gemetar. Jantungku bahkan berhenti berdetak beberapa saat sebelum ia menghentikan langkahnya
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau