“Arghhhh ….” Aku mengacak rambut dengan frustrasi. Lalu meremas kertas di atas meja, membuangnya ke tempat sampah yang bahkan sudah penuh dengan benda serupa. Entah sudah berapa banyak kertas-kertas tak bersalah itu kuremas kasar dan dilempar begitu saja. Rasanya sangat sulit menyusun kalimat untuk poin-poin perjanjian pernikahan itu.
Ya, aku kini tengah menyusun surat perjanjian kontrak dengan laki-laki bernama Samudra Hanggara yang tiba-tiba saja menjadi calon suamiku.
Apa harus hidup selawak ini?
Kemarin calon suamiku masih Bastian pemuda tampan yang dipuja banyak wanita, hari ini tiba-tiba semua berubah. Tiba-tiba saja mempelaiku berganti menjadi laki-laki tua yang menurut ibu dan saudara tiriku makhluk jadi-jadian dari planet lain.
Aku mengusap wajah dengan kasar. Entah kalimat apa lagi yang harus kutulis dalam surat perjanjian itu. Bayangan wujud Samudra yang ‘ajaib’ membuatku tidak bisa fokus, padahal biasanya aku pandai merangkai kata. Dan anehnya aku harus menyusun surat itu sendirian. Bukankah seharusnya kami membuatnya berdua?
“Terserah poin apa pun yang ingin kau masukkan. Aku hanya minta satu syarat tadi karena itu permintaan ibuku.” Itu jawaban makhluk jadi-jadian itu saat aku meminta pendapatnya perihal surat itu.
Saat itu tentu saja aku mencebik. Dia ingin anak dariku katanya. Aku langsung menyetujui syarat itu.
Kenapa?
Tentu saja karena aku yakin laki-laki itu tidak akan bisa melakukannya. Bastian sudah bilang ia tidak menyukai perempuan. Jadi, aku sangat yakin jika ia tidak akan mampu melakukannya. Ia tidak akan pernah menyentuhku selama pernikahan kami.
**
Aku berjalan menyusuri koridor rumah besar milik keluarga Hanggara dengan tangan memeluk berkas di dada. Aku ingin kami, maksdunya aku dan Samudra menandatangani surat perjanjian ini sekarang juga sebelum aku pulang. Hari pernikahan kami hanya tinggal menghitung jam, dan mungkin kami tidak akan bertemu lagi sampai hari itu. Jadi, aku ingin semua clear sebelum hari itu agar tidak ada ganjalan di hati.
Aku berjalan agak mengendap untuk kembali menemui Samudra. Jangan sampai Nenek Widya atau siapa pun tahu jika kami membuat sebuah perjanjian.
Aku hampir mencapai ruangan yang tadi dipakai pertemuan antara aku dan calon suami jadi-jadian itu saat sebuah tepukan mampir di pundak. Lalu disusul tarikan di pergelangan tangan. Aku memekik dan hampir berteriak kaget saat tubuh ini disudutkan di dinding dengan seseorang kini mengungkung tubuh ini. Namun, suaraku tak keluar karena mulut ini sudah dibekap lebih dulu.
Kedua bola mataku membola saat mendapati jika yang melakukan semua ini adalah mantan calon suami yang di mataku sekarang sangat memuakkan. Aku meronta ingin terlepas.
“Jangan berteriak, Mentari. Ini aku,” bisiknya yang perlahan membuka bekapan tangannya saat melihatku tak lagi meronta.
“Mau apa lagi kamu?” desisku dengan napas tersengal. Kulirik salah satu tangannyanya yang memenjarakan tubuh ini di dinding. Sungguh, aku tidak nyaman dengan posisi ini. Tubuhnya berada sangat dekat hingga hampir menempel.
Meski pernah merencanakan pernikahan, aku belum pernah sedekat ini dengan Bastian sebelumnya. Aku sangat menjaga jarak dan tidak mau disentuh sebelum pernikahan, dan ia menghargai itu. Ia belum pernah bersikap tidak sopan seperti saat ini. Itu yang membuat aku begitu respect padanya dulu.
Walaupun kenyataannya ….
“Aku mau kamu memikirkan lagi pernikahan dengan Om Sam, Tari. Kamu tidak benar-benar menerima keputusan Nenek, kan?”
“Apa maksudmu?” Aku mendesis lagi. Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Bastian.
“Tari, sudah kukatakan jika Om Sam itu laki-laki payah, dia tidak akan mampu menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Nanti kamu menderita nikah sama dia. Kamu tidak akan mengenal sama sekali kebahagiaan.”
Mataku memicing. “Jangan sok tahu. Apa kamu yang menentukan kebahagiaanku?” Aku kembali mendesis. Kali ini seraya mendorong dadanya agar tidak terlalu dekat. Untunglah sejak tadi tanganku memeluk map di dada.
“Tentu saja aku tahu. Aku sangat mengenal Om Sam. Dia adik ayahku. Dia tidak akan membuatmu bahagia.”
“Lalu, siapa yang bisa membuatku bahagia? Kamu?” Aku menantang matanya.
“Ya. Hanya aku yang bisa membuatmu bahagia, Tari. Aku tahu kamu sangat mencintaiku. Batalkan pernikahan dengan Om Sam dan menikahlah denganku. Aku berjanji akan membahagiakanmu.”
Aku tersenyum miring. Entah apa yang laki-laki ini pikirkan. Kenapa ia begitu ngotot ingin pernikahan kami tetap berjalan. Aku yakin bukan karena ia mencintaiku. Karena aku tidak menemukan setitik pun binar cinta di matanya untukku. Bahkan mungkin sejak dulu. Aku saja yang bodoh baru menyadarinya sekarang.
“Ayo, Tari. Batalkan pernikahanmu dengan Om Sam dan kita lanjutkan pernikahan kita. Jika kamu yang minta pada Nenek, maka wanita tua itu akan mengabulkannya.”
Mataku melebar mendengar ucapan Bastian. Satu hal yang aku tangkap, jika Bastian tidak sesopan yang aku kira selama ini. Mungkin selama ini mataku dibutakan cinta hingga tidak bisa melihat jelas siapa laki-laki ini. Atau karena ia yang sangat pintar bersandiwara?
“Wanita tua?” gumamku dengan mata memicing. Lalu kembali mendorong dadanya yang mendekat lagi.
“Kau menyebut nenekmu dengan sebutan itu? Apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?”
Bastian terhenyak, tetapi hanya sekejap.
“Ah, sudahlah. Kau ini terlalu banyak bicara, Mentari.” Wajah tampan itu tiba-tiba merengut. Kini bukan hanya sebelah tangannya, tetapi tangan yang satunya juga ikut mendorong dinding hingga tubuh ini benar-benar terpenjara di antara kedua tangannya.
Aku semakin tidak nyaman dan bahkan mulai ketakutan. Posisi kami saat ini akan membuat siapa pun yang melihat berpikiran buruk. Aku berusaha melepaskan diri dengan mendorong lagi dadanya yang rasanya terlalu kuat. Tapi aku harus melakukannya sebelum siapa pun melihat kami.
Kudorong kuat tubuhnya agar menjauh. Kali ini tangan yang memegang map ikut melakukannya, hingga isi map jatuh dan berhamburan di lantai.
Mataku membola karenanya. Surat perjanjian kontrak itu jatuh. Dan entah apa yang akan dipikirkan Bastian jika sampai ia membacanya. Ia pasti akan mentertawakanku dan merasa semakin di atas angin.
Bastian sendiri terlihat heran melihat kertas berjatuhan dari dalam map yang kupegang. Perhatian laki-laki itu teralih. Kedua tangannya terlepas dari dinding. Dan selanjutnya laki-laki itu membungkukkan badan guna meraih salah satu kertas yang paling dekat dengan kakinya.
Jantungku terasa berhenti berdetak.
6“Apa yang kamu lakukan, Bas?”Pertanyaan dari suara bariton membuat aku dan Bastian menoleh hampir bersamaan. Bastian yang hampir membungkuk, mengurungkan niatnya. Dan kesempatan itu kugunakan cepat untuk mengambil semua kertas yang terserak. Memasukkan kembali ke dalam map dengan asal. Setelahnya aku langsung berlari dan mengambil tempat di belakang pria yang barusan bertanya. Samudra.Walaupun masih takut melihat wujud Samudra, tapi aku lebih takut dengan laki-laki seperti Bastian. Aku takut ia nekat menyentuhku secara ia sudah terbiasa melakukannya tanpa merasa berdosa.Bastian mendengkus melihatku berlindung di belakang tubuh Om-nya. Kemudian pergi tanpa berkata-kata.Aku memejam sembari melepaskan napas lega. Kemudian mengekori Samudra yang membuka pintu ruangan di belakang tubuh kami.Untunglah Bastian tidak sempat mengambil dan membaca surat perjanjian kontrak pernikahan ini. Kalau sempat, mau ditaruh di mana wajah kami? Ia pasti akan mengolok kami sepanjang waktu. Menyebarka
Bab 7“Apa kamu sudah merasa lebih baik?” Pertanyaan itu datang dari mulut wanita sepuh yang hari ini didandani sangat cantik hingga terlihat puluhan tahun lebih muda dari usianya.Wanita sepuh yang tidak lain Nenek Widya. Beliau menyodorkan segelas air di dekat mulutku yang megap-megap seperti ikan kehabisan air.Memalukan memang, di detik-detik acara inti pernikahan, aku nyaris pingsan. Terlebih saat pria gagah berkostum pengantin itu menyodorkan lengannya agar aku mengaitkan tangan di sana.Akhirnya panitia harus memapahku ke sini, dan acara ditunda beberapa saat.Kutarik napas panjang berulang-ulang agar oksigen leluasa memenuhi paru-paru. Kemben kain kebaya yang ketat memperburuk saluran pernapasanku.“Kalau kamu sudah baikan, kita lanjutkan acaranya, Tari.” Kali ini ayah yang berbisik lembut di dekat telinga. “Kita sudah terlalu lama mengulur waktu.”Aku tahu tanpa ayah menjelaskan pun sudah membuang banyak waktu. Namun, mau bagaimana lagi? Aku benar-benar shock dengan penampilan
8Aku merasakan mataku perih dan mulut penuh dengan air. Kedua tangan menggapai apa pun yang mungkin bisa menyelamatkan diri ini. Dalam keadaan seperti ini bayangan masa lalu melintas. Di mana Tante Yulia—ibu tiriku sering menenggelamkan kepalaku ke dalam air kolam renang di rumah.Bukan hanya sekali dua kali. Sudah berulang kali hingga tak terhitung. Tante Yulia akan melakukannya jika aku tidak menurut, atau aku terlambat menenuhi perintahnya. Itulah karenanya aku tidak bisa berenang. Aku terlalu takut tenggelam karena rasanya sangat sesak saat kepala berada di dalam air.Tentu saja ayah tak pernah tahu, karena tidak pernah berani melaporkannya. Ancaman ibu tiriku sangat menakutkan untuk anak berusia tujuh tahun kala itu.Tanganku terus berusaha menggapai-gapai. Sementara kakiku sudah terasa kaku. Selain karena aku tidak bisa berenang, gaun pengantin ini membuatku tak leluasa untuk bergerak. Tangan yang menggapai pun seolah menemukan tambatan saat sesuatu berhasil kuraih. Entah apa.
9 “Mafia?” Pria itu menatapku lurus. “Ya. Semua barang di sini buktinya. Bagaimana bisa Om punya ini semua? Bukankah Om tidak bekerja?” Laki-laki itu masih menatapku. Hanya saja seperti kemarin-kemarin, datar tanpa ekspresi. Hingga sangat sulit bagiku menerka apa yang tengah ia pikirkan. “Kamu memeriksa barang-barangku?” “Ya, karena aku curiga.” “Apa yang kamu dapatkan?” Bola mataku bergerak liar. Apa yang aku dapatkan sebenarnya? Bukankah aku hanya membaca sepotong pesan yang tidak jelas? Lalu secepat itu menuduhnya? Aku pun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Pria itu berjalan mendekat sesaat setelah menatapku tanpa kedip. Ekspresinya? Tetap saja datar. Apa ia marah karena aku sudah menyentuh barang-barangnya? Ia terus berjalan mendekat hingga tubuhku yang mentok di meja mengkerut takut. Lalu saat jarak di antara kami semakin terkikis, aku gegas berpindah ke samping meja dengan lutut gemetar. Jantungku bahkan berhenti berdetak beberapa saat sebelum ia menghentikan langkahnya
10Aku melirik pria yang kemarin pagi resmi bergelar suami sebelum duduk di hadapan Ayah dan wanita sepuh yang entah perasaanku saja, wajahnya tak seramah sebelum-sebelumnya. Bahkan sejak aku dan Om Samudra datang, Nenek Widya hanya mengangguk samar dan berkedip lambat tanda mempersilakan aku masuk.Om Samudra menyusul duduk di sampingku. Walaupun masih risih dekat-dekat dengannya, aku tidak mungkin menjauhinya di depan keluarga. Bagaiaman pun di depan orang lain kami suami istri sungguhan. Harus bersikap seperti suami istri pada umumnya.Aku menatap ayah yang wajahnya murung bahkan terlihat sangat pucat. Pasti tidak tidur semalaman memikirkan nasib Novita. Miris memang, ayah sampai sebegitunya membela anak tirinya itu, padahal aku pun sama celaka. Bahkan bisa meregang nyawa jika tidak ada yang menyelamatkan.Apa ayah mengkhawatirkanku yang tenggelam semalam? Apa ayah juga semarah ini pada Novita yang memang sengaja mencelakaiku? Apa ayah juga tidak bisa tidur memikirkanku yang selama
11“Tidak apa-apa, Bu. Mentari hanya belum terbiasa saja. Kami menikah bahkan masih dalam hitungan jam. Semua butuh proses.” Penjelasan Om Samudra memecah keheningan pasca pertanyaan Nenek Widya untukku.Aku menelan ludah. Menatap nanar pria itu dengan hati yang menghangat. Entah untuk ke berapa kalinya ia membelaku di hadapan orang tua. Dan satu hal kuyakini, jika ia sebaik itu, aku yakin mau mengabulkan permintaanku.Aku tahu Novita memang salah. Akan tetapi ini untuk kebaikan ayah. Bukankah ayahku mertuanya juga?“O … hmmm, Mas.” Hampir saja aku memanggilnya Om lagi. Kutatap pria yang juga menatapku dengan harapan tinggi ia akan berbaik hati memenuhi permintaanku.“Bolehkan aku meminta Mas mencabut laporan itu?” Dengan segenap permohonan aku meminta.Pria itu menatapku dalam diam. Ekspresinya? Sama seperti biasa. Datar seperti jalan tol. Aku menunggu dengan sabar.“Tari, Samudra melakukan itu semua karena kamu. Karena wanita itu sudah mencelakakan kamu. Dan Nenek rasa itu pantas un
12“Dasar anak tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Calon penghuni neraka!” Sumpah serapah Tante Yulia langsung berhamburan begitu melihatku memapah Ayah turun dari mobil. Wanita yang awalnya mondar-mandir di teras itu langsung menyongsong kami dengan wajah merah padam dan ingin langsung menyerang.Ia bahkan tidak peduli ayah yang terlihat lemah hingga harus kupapah. Wanita itu hampir saja meraih rambutku saat seseorang berlari berputar dari pintu samping kemudi dan langsung berdiri di sampingku.Gerakkan Tante Yulia tertahan. Matanya yang merah menyala menatapku dan pria di sampingku silih berganti. Dadanya bergerak cepat. Mungkin menahan amarah yang tidak bisa terluapkan.“Berani anda menyentuh Mentari seujung rambut pun, saya tidak segan melaporkan anda sekalian, Nyonya.” Kalimat itu terucap datar dan pelan, tetapi sukses membuat Tante Yulia meradang hebat. Terlebih saat pria di sampingku melanjutkan.“Anda dan putri tercinta anda bisa sekalian reuni di penjara.”Tante Yulia memea
13“Blacklist, dan sebarkan ke semua cyrcle agar tidak ada yang menerima.”Samar-samar kudengar kalimat itu berasal dari sebuah ruangan yang aku yakin kamar pribadi Om Samudra.“Jika ada yang masih berani membantu, cepat beritahu aku. Lenyapkan saja sekalian!”Mataku membola sempurna. Kedua tangan menutup mulut yang nyaris memekik kaget.Lenyapkan? Apa maksdunya?Kutahan napas, dan berusaha menormalkan detak jantung yang tetiba meloncat-loncat. Untuk kedua kalinya kudengar kalimat itu. Oh, tidak. Waktu itu aku hanya membaca seepotong pesan yang aku yakin dari anak buah Om Samudra karena ia memanggil bos. Sekarang aku bahkan mendengar langsung dari mulut pria itu walaupun hanya menguping.Kuusap dada perlahan sebelum berniat pergi dari depan kamar pria itu. Aku harus pergi sebelum ia menyadari jika aku menguping pembicaraannya di telepon. Sebenarnya bukan sengaja menguping jika aku akhirnya mendengar. Aku sedang mencarinya untuk menanyakan perihal laptop yang tergeletak di meja dekat a