14Suasana ruang makan terasa hening. Tidak ada suara yang terdengar selain denting sendok dan garpu yang sesekali beradu dengan piring. Padahal di sini aku dan pria yang bergelar suami tengah makan.Sejak penolakanku tempo hari, kami jarang berinteraksi. Om Samudra sibuk dengan dunianya yang entah apa. Jarang berkeliaran di dalam rumah. Sesekali juga pergi ke luar. Aku tidak pernah bertanya ke mana pria itu pergi atau apa yang dilakukannya karena itu akan melanggar perjanjian yang kubuat sendiri.Untunglah aku pun sibuk dengan dunia sendiri. Seharian menulis setelah membereskan pekerjaan rumah layaknya seorang istri. Meski tidak tertera dalam perjanjian, aku usahakan menghandel pekerjaan rumah. Padahal Om Samudra biasa memesan jasa cleaning servis online untuk membersihkan rumahnya, tetapi rasanya membosankan jika hanya duduk seharian.Karenanya di hari kedua tinggal di sana, aku menyampaikan kepada pria itu agar tidak lagi memesan cleaning service online. Aku berjanji akan mengerja
15“Om mau apa?” pekikku seraya meronta ingin diturunkan. Bagaimana ia begitu lancang langsung menggendongku tanpa izin?Ya Tuhan, amankan jantungku. Jangan sampai ia tahu kalau jantungku melompat-lompat seolah sedang aerobik.Dia tidak menjawab, dengan santainya mengeratkan bopongan. Terus membawaku entah ke mana.“Om Sam, kamu mau apa?” Lagi aku memekik. Kali ini meronta lebih kuat. “Apa kamu tidak menyimakku tadi?”Ia masih tidaka peduli. Terus membawa tubuhku.“Aku bilang tadi, kalau aku sedang haid!” Lagi aku memekik. Kali ini lebih keras.Hening.Langkah kakinya terhenti. Tidak ada suara yang terdengar kecuali detak jantungku yang menggebu bahkan mungkin menabrak-nabrak dadanya saking kencang berdetak.Kami terlibat saling tatap intens dalam jangka waktu lumayan lama. Dan tentu saja dalam jarak yang lumayan dekat karena aku berada di dadanya. Ia terlihat kaget, terlebih aku. Bahkan bukan hanya kaget, tapi campuran takut, malu dan entah apalagi.Kami masih terlibat saling tatap,
16 Aku berjalan menuju kamar pribadi Om Samudra setelah selesai membersihkan diri. Dengan riang, aku melenggok menuju ruangan yang lumayan jauh dari kamarku. Tak sabar mengajak Nenek Widya makan bersama mencicipi hasil masakanku. Meski hanya masakan sederhana yang mungkin belum pernah dicicipi wanita sepuh itu, aku bangga menunjukannya karena ini buatanku. Semoga Nenek suka. Mumpung ibu mertua berkunjung kan, tidak ada salahnya aku menjamu. Karenanya selagi Nenek Widya bicara dengan anaknya, di kamar pribadinya. Kugunakan waktu untuk mengolah beberapa masakan. “Lalu, mau sampai kapan kamu seperti ini, Sam?” Kakiku mendadak berhenti melangkah beberapa jengkal dari kamar yang pintunya terbuka sedikit. Itu suara Nenek Widya. Meski tidak terlalu keras, tetapi telingaku dapat menangkapnya. “Sudah waktunya Hanggara Enterprise mendapat sentuhan tangan kamu. Apalagi sekarang kamu sudah berkeluarga. Sudah waktunya menunjukkan pada dunia jika putra bungsuku juga mampu.” Suara Nenek meningg
17 “Arghhhhh ….” Entah untuk ke berapa kalinya aku berteriak dan mengacak rambut dengan frustrasi. Bahkan aku yakin jika wajah dan rambut ini sudah kusut masai. Andai ada yang melihat, sudah barang tentu tuduhan wanita gila tersemat padaku. Aku tidak peduli. Aku sedang sangat malu saat ini. Bahkan mungkin sudah sangat akut. Bagaimana tidak? Nenek Widya menjelaskan jika malam itu Om Samudra …. “Arghhh ….” Kembali aku mengacak rambut. Kemudian menyembunyikan kepala di bawah bantal. Berharap dengan begini rasa maluku akan terhapus. Mungkin kalian menganggap aku lebay, tapi jika kalian di posisisku apa juga tidak malu? Selama ini aku selalu jual mahal di depan pria yang ternyata sudah melihat dan pastinya memegang-megang tubuh ini dalam keadaan polos. Tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan saat aku tidak sadar itu. Terbayang kan, betapa ia bebas memandangiku tanpa busana. Lalu juga menyentuhku? Secara Nenek mengatakan anaknya itu mengurusiku seorang diri. Satu hal membuatku sangat
18 Aku mematut diri di depan cermin. Membolak-balik tubuh ke kanan dan kiri, depan, belakang. Cantik. Nenek Widya benar, gaun yang dibelikan Om Samudra sangat indah. Menandakan jika orang yang memilihnya, memiliki selera tinggi akan fashion. Ukurannya juga sangat pas di tubuhku. Pundakku meluruh mengingat bagaimana ia bisa pas memilih ukuran gaun ini. Terang saja, ia sudah melihatku dalam keadaan polos. Aku menutup wajah saat membayangkan jika ia mengukur panjang pinggang dan dadaku dengan tangannya. Bukan berburuk sangka. Bisa saja ia mengukur dengan jengkal tangannya, kan? Toh, ia bebas melakukan apa pun karena aku tidak sadar, dan kami hanya berdua saja di kamar hotel itu. “Nona, Tuan Samudra sudah menunggu.” Aku membuka telapak tangan yang menutupi wajah, kemudian menoleh ke arah seorang wanita yang barusan mendandaniku. Lalu mengangguk. Namun, wanita tersebut malah berjalan mendekat dan memindai wajah ini. “Nona, saya koreksi dulu make upnya sebentar,” ujarnya seraya mengam
19“Kejadian unik terjadi di sebuah pesta pernikahan cucu salah satu orang terkaya negeri ini. Pengantin pria tiba-tiba saja memeluk seorang tamu undangan yang hadir di sana. Usut punya usut, ternyata tamu wanita adalah mantan calon istri sang pengantin pria yang tidak jadi ia nikahi.Seharusnya mereka menikah beberapa hari lalu. Tapi posisi pengantin pria mendadak digantikan oleh pamannya sendiri.Belum diketahui sebab pergantian posisi itu. Tapi disinyalir pihak keluarga laki-laki memutuskan menikahkan dulu pamannya yang sudah cukup berumur. Mereka tidak mau paman pengantin pria dilangkahi oleh keponakannya. Padahal pengantin pria ini terlihat masih mencintai mantan calon istrinya yang kini sudah menjadi istri pamannya. Terbukti saat hadir di pernikahannya, pengantin pria seolah enggan melepas—”Klik.Layar datar di hadapanku mendadak berubah menjadi gelap hingga berita itu tak lagi kulihat. Aku mengerjap dan mengembuskan napas kasar. Entah apa yang ada di kepala Bastian hingga memb
20Aku masih mematung. Kaki merasa sudah tak lagi memijak bumi. Aliran darah berhenti mengalir karena jantung terasa tak berdetak. Terlebih setelah itu….“Pelangi tanpa Hujan.”Pria itu menyebutkan judul novelku.Ke-napa? Bagaimana ia tahu? Bahkan satu bait puisi dalam salah satu bab itu bisa ia bacakan dengan lancar.Ke-kenapa bisa? Aku terus membatin.“Percayalah, Pelangi, meski keburukan seluruh dunia kau ambil dan kau dekap untuk dirimu sendiri, di mataku kau tetaplah yang ter—”“Stop, Om!” Aku berbalik dan mengangkat tangan. Kupindai wajah itu untuk mencari tahu kenapa ia bisa tahu begitu banyak akan novelku. Sayangnya, bahkan setelah kutatap lama pun mata itu untuk mendalami hatinya, tak ada yang kudapatkan selain tatapan datar yang tidak pernah bisa kutafsirkan.Aku membuang pandangan saat ia malah sengaja mendekatkan wajahnya. Kulipat tangan di dada. Bagaimana aku bisa membaca pikirannya kalau aku malah salah tingkah bersitatap dengannnya dalam waktu yang lama?“Dari mana Om t
21 Aku bergerak cepat menonaktifkan ponsel dan juga laptop dengan tangan gemetar. Lupakan pekerjaan, tunda dulu chat editor. Aku harus menghilang dulu dari bumi. Jika bisa bersembunyi di lubang semut. Malu tiada tara. Bagaimana bisa aku mengirim pesan itu untuk om-om resek itu? Ini kebiasaan burukku yang suka ceroboh. Saking senang novelku akan ada yang meminang, sampai tidak sadar membalas pesan yang salah. Kenapa pula mereka mengirim pesan di saat hampir bersamaan? Aku mematikan lampu kamar dan bersiap loncat ke tempat tidur untuk mengubur diri di bawah selimut, saat suara pintu diketuk, terdengar. Begiu cepat ia bergerak. Mungkin karena nomorku tidak aktif. Kuabaikan suara ketukan dan mulai naik ke atas kasur. Kali ini tidak loncat. Bahkan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara yang mungkin bisa terdengar hingga keluar kamar. Kemudian menutup seluruh tubuh dengan selimut. “Mbak Violet Senja.” Mataku melotot dan mendelik ke arah pintu walaupun di balik selimut tebal yang
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau