21 Aku bergerak cepat menonaktifkan ponsel dan juga laptop dengan tangan gemetar. Lupakan pekerjaan, tunda dulu chat editor. Aku harus menghilang dulu dari bumi. Jika bisa bersembunyi di lubang semut. Malu tiada tara. Bagaimana bisa aku mengirim pesan itu untuk om-om resek itu? Ini kebiasaan burukku yang suka ceroboh. Saking senang novelku akan ada yang meminang, sampai tidak sadar membalas pesan yang salah. Kenapa pula mereka mengirim pesan di saat hampir bersamaan? Aku mematikan lampu kamar dan bersiap loncat ke tempat tidur untuk mengubur diri di bawah selimut, saat suara pintu diketuk, terdengar. Begiu cepat ia bergerak. Mungkin karena nomorku tidak aktif. Kuabaikan suara ketukan dan mulai naik ke atas kasur. Kali ini tidak loncat. Bahkan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara yang mungkin bisa terdengar hingga keluar kamar. Kemudian menutup seluruh tubuh dengan selimut. “Mbak Violet Senja.” Mataku melotot dan mendelik ke arah pintu walaupun di balik selimut tebal yang
22Aku mengembus napas sebelum mengaitkan tangan di lengan pria yang mengulurkan tangannya. Bagaimanapun, kami harus tetap terlihat seperti suami istri sungguhan di depan orang lain. Terlebih keluarganya.Aku yakin keluarga Hanggara akan membahas perihal kejadian di pesta Bastian kemarin. Karena itu memanggail kami untuk menghadiri pertemuan keluarga itu.Bukan aku tidak tahu jika berita kami terus berkembang luas. Bahkan banyak yang menjadikan lelucon di berbagai media sosial.Aku memang berusaha tidak terpengaruh karena apa pun yang mereka beritakan tidak benar. Aku yang paling tahu diriku sendiri.Namun, keluarga ini tentu tidak nyaman dengan pemberitaan itu. Mereka mungkin takut berita ini akan berpengaruh terhadap bisnis keluarga. Dan sebagai seseorang yang kini termasuk bagian keluarga Hanggara yang merupakan salah satu orang terkaya negeri ini, aku harus patuh dan mau terlibat saat keluarga ini berusaha membersihkan nama baik mereka.Aku melenggang memasuki rumah bak kastil ini
23Ketegangan menyelimuti. Suhu ruangan terasa lebih panas, padahaal ruangan luas ini tentu berpenyejuk udara. Semua terdiam, karena tahu tabiat sang ratu rumah ini.Aku melirik kaku ke arah pria di sebelahku yang mengisyaratkan dengan kedipan matanya agar aku tetap diam. Aku balas berkedip tanda mengerti. Kemudian menunduk.“Apa aku bertanya padamu, Novita?” tanya Nenek setelah beberapa lama.Novita diam. Bola matanya terlihat melirik suami dan ibu mertuanya. Mungkin meminta pembelaan. Sayangnya tidak ada seorang pun yang bicara.“Aku sedang bertanya pada cucuku, Bastian,” tegas Nenek lagi dengan tatapan menancapkan kekuasaaanya di rumah itu.Pada akhirnya Novita menunduk walaupun aku tidak melihat penyesalan sama sekali di wajahnya. Ia bahkan menghujankam tatapan tajamnya dulu padaku.“Bastian!” panggil Nenek kali ini dengan suara agak keras. “Apa yang kau pikirkan hingga berbuat tanpa memikirkan akibatnya?”Aku melirik wajah laki-laki yang hampir menikahiku. Sejak tadi ia memang te
24“Sudah, jangan dimasukkan hati. Jangan menjadi lemah karena ucapan orang, padahal kita tidak merasa sama sekali.”Aku mengerjap dan mengalihkan pandangan dari kerlip bintang dan bulan sabit di balik jendela kamar.Ya, seharusnya memang aku tidak memsukkan perkataan Tante Esther ke dalam hati. Toh, aku tidak merasa seperti yang ia tuduhkan. Tapi, kok masih tidak bisa melupakan.“Bersyukur anakku tidak jadi menikahimu,” ucap wanita itu ketika melihatku sendiri selepas acara makan keluarga itu.Om Samudra bicara dengan ibu dan kakaknya entah di mana.“Ternyata kamu kelihatannya saja polos, padahal busuk.”Tentu saja aku terperangah dengan kelanjutan ucapan wanita setengah bule yang hampir menjadi ibu mertuaku. Apa maksud ucapannya?“A-pa maksud, Tante?” Aku bertanya gagap.“Aku tahu kenapa anakku melakukan itu kemarin padamu, itu pasti karena kamu yang menggatal. Kamu masih merayu anakku, kan, di belakang suamimu dan menantuku?”“Astagfirullah.” Aku menggumam istigfar seraya menelan l
25Aku berjalan menuju lemari pakaian karena katanya Nenek sudah menyiapkan baju ganti untukku. Kubuang jauh rasa grogi dan bersikap seperti biasa.Ini pertama kalinya aku satu kamar dengan seorang pria. Tentu saja aku takut dan grogi. Apalagi pria ini juga baru aku kenal beberapa hari menjelang pernikahan. Sama sekali asing bagiku.Kubuka salah satu pintu lemari untuk mencari baju itu. Ternyata aku harus membuka beberapa pintu sebelum menemukan apa yang aku cari. Namun, mata ini rasanya tak henti membelalak saat kudapati pakaian seperti apa yang ada di sana.Aku bergegas menutup kembali pintu itu dengan cepat. Dadaku mendadak berdebar keras. Satu hal lagi kutahu dari mana baju yang kupakai di malam pengantin itu. Pasti Nenek yang memberikannya, karena aku tidak pernah membawa baju seperti itu. Baju yang orang-orang sebut sebagai baju dinas malam.“Kenapa?” Sebuah pertanyaan menyapa. Mungkin karena mendengar pintu lemari ditutup terlalu keras.Aku tidak menjawab. Melainkan segera berl
26Siapa Luna?Ja-di … sebenarnya Om Samudra punya kekasih?Aku menahan panas, juga membuat diri seolah tidur senatural mungkin. Selain sudah terlanjur bersandiwara, mungkin dengan begini aku bisa tahu siapa wanita bernama Luna.Ya, pria sematang dan setampan dia memang tidak masuk akal kenapa belum menikah di usia nyaris 40 tahun tanpa sebab. Jika bukan karena orientasi seks yang menyimpang, pastinya menungggu kekasih lama yang mungkin belum kembali. Atau mungkin tidak direstui?Ya, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Pastilah Om Samudra menunggu kekasihnya kembali, karena itu ia belum menikah. Atau sedang menunggu restu orang tua. Dan pernikahan ini, ia sanggupi hanya karena baktinya kepada ibunya.Itu sebenarnya bukan urusanku. Hanya saja, aku tidak suka jika ia menyentuhku sebagai orang lain. Karena kuyakini perlakukan manisnya padaku selama ini bukan karena menganggapku sebagai Mentari. Mungkin selama ini ia menganggap aku ini Luna-nya yang belum kembali. Agar ia bisa bersi
27“Mau langsung pulang atau mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Om Samudra saat kami dalam perjalanan pulang.“Nanti turunin aku di kafé Cendrawasih saja, Om.” Aku menjawab seraya mengamati layar ponsel.“Kafé Cendrawasih?” Nada suaranya terdengar heran tapi aku tidak melihat wajahnya karena fokus dengan ponsel. Pun ia yang tengah mengemudi.“Iya.”“Kamu mau ngajak ngopi dulu?”“Eh?” Aku menoleh. “Aku ada janji.”“Janji?”“Ya?”“Dengan?”Aku diam. Aku memang ada janji dengan editor yang tempo hari menawari naskahku untuk dibukukan. Dan itu aku rasa bukan urusan Om Samudra. Bukankah sesuai kesepakatan kami tidak akan mengurusi hidup masing-masing? Seperti aku yang tidak akan ikut campur perihal pekerjaan dan juga kehidupan asmaranya. Aku bahkan tidak peduli jika ia menjalin hubungan dengan seseorang baik wanita atau pria di belakangku.“Janji dengan siapa? Kenapa tidak pernah bilang?” Ia menoleh dan menatapku sebentar.“Urusan pekerjaan.”“Pekerjaan? Bukannya pekerjaanmu menulis d
28 “Om, titip Mentari dulu, ya. Saya tidak akan lama.” Aku menatap jauh keluar jendela saat mendengar suara pria itu bicara dengan ayah. Tadi, ia menyusulku turun saat aku keluar dari mobilnya. Kemudian menarik tangan ini agar aku masuk lagi ke dalam kendaraan roda empat itu. “Kamu tunggu di kantor ayahmu saja, ya.” Ia bicara lagi saat mobilnya sudah melaju membelah jalanan. “Aku akan antar kamu ke sana.” Aku tidak menjawab dan memilih melemparkan pandangan keluar jendela. Lihat, betapa ia ingin menyembunyikan diri ini agar tidak terlihat kekasihnya. Padahal, aku bisa saja memaksa ikut pulang, toh aku ini istri sahnya, bukan? Keberadaanku tidak harus disembunyikan. Dunia tahu jika aku istrinya. Tapi ya sudahlah, aku tidak mau berdebat. Biarkan ia dengan perilakunya, lagi-lagi apa pun yang ia lakukan bukan urusanku. “Tari.” Aku mendengar langkahnya mendekat setelah ia bicara dengan ayah. “Nanti aku jemput lagi, ya. Tidak akan lama. Paling satu jaman. Kamu di sini dulu dengan aya
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau