23Ketegangan menyelimuti. Suhu ruangan terasa lebih panas, padahaal ruangan luas ini tentu berpenyejuk udara. Semua terdiam, karena tahu tabiat sang ratu rumah ini.Aku melirik kaku ke arah pria di sebelahku yang mengisyaratkan dengan kedipan matanya agar aku tetap diam. Aku balas berkedip tanda mengerti. Kemudian menunduk.“Apa aku bertanya padamu, Novita?” tanya Nenek setelah beberapa lama.Novita diam. Bola matanya terlihat melirik suami dan ibu mertuanya. Mungkin meminta pembelaan. Sayangnya tidak ada seorang pun yang bicara.“Aku sedang bertanya pada cucuku, Bastian,” tegas Nenek lagi dengan tatapan menancapkan kekuasaaanya di rumah itu.Pada akhirnya Novita menunduk walaupun aku tidak melihat penyesalan sama sekali di wajahnya. Ia bahkan menghujankam tatapan tajamnya dulu padaku.“Bastian!” panggil Nenek kali ini dengan suara agak keras. “Apa yang kau pikirkan hingga berbuat tanpa memikirkan akibatnya?”Aku melirik wajah laki-laki yang hampir menikahiku. Sejak tadi ia memang te
24“Sudah, jangan dimasukkan hati. Jangan menjadi lemah karena ucapan orang, padahal kita tidak merasa sama sekali.”Aku mengerjap dan mengalihkan pandangan dari kerlip bintang dan bulan sabit di balik jendela kamar.Ya, seharusnya memang aku tidak memsukkan perkataan Tante Esther ke dalam hati. Toh, aku tidak merasa seperti yang ia tuduhkan. Tapi, kok masih tidak bisa melupakan.“Bersyukur anakku tidak jadi menikahimu,” ucap wanita itu ketika melihatku sendiri selepas acara makan keluarga itu.Om Samudra bicara dengan ibu dan kakaknya entah di mana.“Ternyata kamu kelihatannya saja polos, padahal busuk.”Tentu saja aku terperangah dengan kelanjutan ucapan wanita setengah bule yang hampir menjadi ibu mertuaku. Apa maksud ucapannya?“A-pa maksud, Tante?” Aku bertanya gagap.“Aku tahu kenapa anakku melakukan itu kemarin padamu, itu pasti karena kamu yang menggatal. Kamu masih merayu anakku, kan, di belakang suamimu dan menantuku?”“Astagfirullah.” Aku menggumam istigfar seraya menelan l
25Aku berjalan menuju lemari pakaian karena katanya Nenek sudah menyiapkan baju ganti untukku. Kubuang jauh rasa grogi dan bersikap seperti biasa.Ini pertama kalinya aku satu kamar dengan seorang pria. Tentu saja aku takut dan grogi. Apalagi pria ini juga baru aku kenal beberapa hari menjelang pernikahan. Sama sekali asing bagiku.Kubuka salah satu pintu lemari untuk mencari baju itu. Ternyata aku harus membuka beberapa pintu sebelum menemukan apa yang aku cari. Namun, mata ini rasanya tak henti membelalak saat kudapati pakaian seperti apa yang ada di sana.Aku bergegas menutup kembali pintu itu dengan cepat. Dadaku mendadak berdebar keras. Satu hal lagi kutahu dari mana baju yang kupakai di malam pengantin itu. Pasti Nenek yang memberikannya, karena aku tidak pernah membawa baju seperti itu. Baju yang orang-orang sebut sebagai baju dinas malam.“Kenapa?” Sebuah pertanyaan menyapa. Mungkin karena mendengar pintu lemari ditutup terlalu keras.Aku tidak menjawab. Melainkan segera berl
26Siapa Luna?Ja-di … sebenarnya Om Samudra punya kekasih?Aku menahan panas, juga membuat diri seolah tidur senatural mungkin. Selain sudah terlanjur bersandiwara, mungkin dengan begini aku bisa tahu siapa wanita bernama Luna.Ya, pria sematang dan setampan dia memang tidak masuk akal kenapa belum menikah di usia nyaris 40 tahun tanpa sebab. Jika bukan karena orientasi seks yang menyimpang, pastinya menungggu kekasih lama yang mungkin belum kembali. Atau mungkin tidak direstui?Ya, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Pastilah Om Samudra menunggu kekasihnya kembali, karena itu ia belum menikah. Atau sedang menunggu restu orang tua. Dan pernikahan ini, ia sanggupi hanya karena baktinya kepada ibunya.Itu sebenarnya bukan urusanku. Hanya saja, aku tidak suka jika ia menyentuhku sebagai orang lain. Karena kuyakini perlakukan manisnya padaku selama ini bukan karena menganggapku sebagai Mentari. Mungkin selama ini ia menganggap aku ini Luna-nya yang belum kembali. Agar ia bisa bersi
27“Mau langsung pulang atau mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Om Samudra saat kami dalam perjalanan pulang.“Nanti turunin aku di kafé Cendrawasih saja, Om.” Aku menjawab seraya mengamati layar ponsel.“Kafé Cendrawasih?” Nada suaranya terdengar heran tapi aku tidak melihat wajahnya karena fokus dengan ponsel. Pun ia yang tengah mengemudi.“Iya.”“Kamu mau ngajak ngopi dulu?”“Eh?” Aku menoleh. “Aku ada janji.”“Janji?”“Ya?”“Dengan?”Aku diam. Aku memang ada janji dengan editor yang tempo hari menawari naskahku untuk dibukukan. Dan itu aku rasa bukan urusan Om Samudra. Bukankah sesuai kesepakatan kami tidak akan mengurusi hidup masing-masing? Seperti aku yang tidak akan ikut campur perihal pekerjaan dan juga kehidupan asmaranya. Aku bahkan tidak peduli jika ia menjalin hubungan dengan seseorang baik wanita atau pria di belakangku.“Janji dengan siapa? Kenapa tidak pernah bilang?” Ia menoleh dan menatapku sebentar.“Urusan pekerjaan.”“Pekerjaan? Bukannya pekerjaanmu menulis d
28 “Om, titip Mentari dulu, ya. Saya tidak akan lama.” Aku menatap jauh keluar jendela saat mendengar suara pria itu bicara dengan ayah. Tadi, ia menyusulku turun saat aku keluar dari mobilnya. Kemudian menarik tangan ini agar aku masuk lagi ke dalam kendaraan roda empat itu. “Kamu tunggu di kantor ayahmu saja, ya.” Ia bicara lagi saat mobilnya sudah melaju membelah jalanan. “Aku akan antar kamu ke sana.” Aku tidak menjawab dan memilih melemparkan pandangan keluar jendela. Lihat, betapa ia ingin menyembunyikan diri ini agar tidak terlihat kekasihnya. Padahal, aku bisa saja memaksa ikut pulang, toh aku ini istri sahnya, bukan? Keberadaanku tidak harus disembunyikan. Dunia tahu jika aku istrinya. Tapi ya sudahlah, aku tidak mau berdebat. Biarkan ia dengan perilakunya, lagi-lagi apa pun yang ia lakukan bukan urusanku. “Tari.” Aku mendengar langkahnya mendekat setelah ia bicara dengan ayah. “Nanti aku jemput lagi, ya. Tidak akan lama. Paling satu jaman. Kamu di sini dulu dengan aya
29“Mau ikut pulang sama Ayah, atau bagaimana?”Aku bergeming. Tidak tahu harus menjawab apa. Ikut ayah? Sepertinya menyenangkan, aku rindu kamarku sendiri. Tempat ternyaman selama 22 tahun hidupku. Di sana aku lebih banyak menghabiskan waktu. Namun, jika aku pulang bersama ayah, itu artinya harus bertemu dengan Tante Yulia.Apa yang akan dikatakan wanita itu melihatku pulang bersama ayah? Pasti ia akan mengatakan yang tidak-tidak tentang pernikahanku. Bukan tidak mungkin berspekulasi buruk yang ujung-ujungnya akan mentertawakanku habis-habisan.Pulang sendiri ke apartemen pria itu?Tidak mungkin. Bukankah ia tidak mau aku menampakkan diri di sana selama tamunya belum pergi? Aku yakin saat ini tamunya belum pergi, karena itulah ia ingkar janji.“Tari, mau ikut pulang sama ayah?” Ayah mengulang pertanyaan karena aku masih diam.Aku menggeleng lemah. “Aku pulang naik taxi saja, Yah. Ayah pulang saja istirahat. Pasti capek.” Aku tersenyum untuk menutupi kegundahan hati.Setelahnya kami b
30PoV Samudra“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan coba beberapa saat lagi.”“Shit!” Aku mengumpat resah. Entah untuk ke berapa kalinya panggilanku hanya dijawab operator. Entah ke mana dia.Kuusap kasar wajah, sebelum melajukan mobil menuju perusahaan bapak mertuaku.Aku tahu ini sudah sangat terlambat. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya di sana. Padahal tadi aku berjanji hanya pergi sebentar dan akan segera menjemputnya kembali. Ini bukan hanya terlambat, tapi sangat terlambat.Apa ia marah dan sengaja mematikan telepon?Ya Tuhan … maafkan aku Mentari, aku tidak sengaja.Jalanan yang macet karena jam sibuk para pekerja pulang kantor, membuatku semakin terlambat sampai ke kantor Pak Bumi Baskara. Sialnya, aku sudah tak mendapatinya di sana.Menurut petugas keamanan, Pak Bumi sudah pulang sekitar pukul 16.30 tadi. Dan setelah kutanyakan, anak perempuannya juga ikut keluar bersamanya.Apa Mentari ikut pulang bersama ayahnya? Kenapa ia tidak menghubungiku dulu? Apa